Jika AI Menggantikan Manusia, Haruskah Ia Menanggung Pajak?
Kebijakan | 2025-07-14 17:26:55
Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) kini bukan sekadar alat bantu biasa. Teknologi ini telah merambah ke hampir semua lini kehidupan, mulai dari sektor industri, layanan publik, hingga ekonomi kreatif. AI mampu menyelesaikan tugas-tugas yang sebelumnya menuntut kecerdasan dan tenaga manusia dengan cara yang lebih cepat dan efisien. Penerapannya pun semakin luas, seperti dalam layanan pelanggan, pengolahan data besar, hingga produksi seni dan tulisan.
Namun, di balik kemajuan ini, muncul tantangan besar yang patut dicermati, yaitu keberlanjutan penerimaan pajak. Selama ini, sistem perpajakan negara sangat bergantung pada aktivitas manusia sebagai wajib pajak, terutama dari penghasilan kerja. Namun, bayangkan sebuah masa depan di mana pekerjaan manusia digantikan oleh AI. Dalam kondisi seperti itu, dari mana negara akan menarik pajak? Mampukah kita tetap membiayai sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur, jika penghasilan manusia yang selama ini menjadi tumpuan penerimaan pajak terus menyusut?
Pertanyaan ini bukan sekadar hipotesis, melainkan refleksi penting yang harus dijawab bersama. Pajak bukan hanya sumber pemasukan negara, tetapi juga alat untuk menjaga keadilan sosial dan distribusi ekonomi yang merata. Melalui sistem perpajakan yang adil, mereka yang lebih mampu dapat berkontribusi lebih besar agar negara mampu melindungi kelompok rentan. Namun, jika sistem ini tidak segera menyesuaikan diri dengan realitas baru seperti pergeseran dari tenaga kerja manusia ke otomatisasi, maka ketimpangan bisa semakin melebar, baik secara sosial maupun fiskal.
Ancaman dan Peluang AI bagi Fiskal
Menurut Goldman Sachs, sekitar 300 juta pekerjaan global berisiko digantikan oleh AI pada tahun 2030. Di Indonesia, prediksi menunjukkan sekitar 22 persen tenaga kerja atau sekitar 26,7 juta pekerja bisa terdampak otomatisasi. Sektor yang paling terpapar adalah informasi dan komunikasi, jasa keuangan, dan jasa perusahaan.
Pergeseran ini bukan hanya soal lapangan kerja, tetapi juga soal keberlangsungan sistem fiskal. Jika jutaan orang kehilangan pekerjaan atau penghasilannya menurun akibat otomatisasi, maka sumber penerimaan pajak negara dari penghasilan dan konsumsi juga akan menurun. Hal ini memperlihatkan bagaimana perubahan teknologi bisa memengaruhi struktur ekonomi secara sistemik, termasuk melemahkan kemampuan negara dalam membiayai layanan publik.
Laporan UBS yang dikutip oleh Reuters menunjukkan bahwa revolusi AI benar-benar mengubah cara manusia bekerja dalam tempo yang sangat cepat. ChatGPT, mencapai 100 juta pengguna hanya dalam dua bulan sejak peluncurannya, jauh lebih cepat dibandingkan TikTok yang memerlukan sembilan bulan untuk mencapai angka pengguna yang sama. Ketika teknologi menggantikan tenaga kerja manusia dalam skala besar, negara harus bersiap menghadapi ancaman berkurangnya basis pajak yang selama ini bergantung pada aktivitas ekonomi manusia.
Di sisi lain, AI juga bisa membuka peluang ekonomi yang sangat besar. Riset Kearney memperkirakan bahwa jika teknologi ini diterapkan secara optimal di seluruh sektor, ekonomi Indonesia berpotensi tumbuh hingga Rp5.371 triliun. Angka ini menunjukkan bahwa AI bisa menjadi kekuatan baru yang dapat dimanfaatkan untuk memperluas basis penerimaan pajak dan memperkuat fondasi fiskal negara. Namun, pertumbuhan ini tidak akan otomatis memperkuat penerimaan negara jika sistem perpajakan kita tidak ikut beradaptasi. Artinya, negara perlu mulai memikirkan ulang dari mana pajak akan dipungut di masa depan.
Kreator Berbasis AI Cuan tetapi Pajaknya Kemana?
Perkembangan AI juga memunculkan ekosistem baru di dunia ekonomi kreatif. Para kreator konten, mulai dari pelajar, pekerja lepas, hingga profesional, kini memanfaatkan AI seperti ChatGPT, Midjourney, dan alat bantu AI lainnya untuk menghasilkan karya dan penghasilan. Di Indonesia, penggunaan AI di kalangan generasi muda sangat besar. Data SimilarWeb 2024 menempatkan Indonesia sebagai salah satu lima besar pengguna ChatGPT dunia. Selain itu, konten berbasis AI di platform YouTube Asia Tenggara meningkat dua kali lipat sepanjang 2023.
Ekonomi kreator digital ini sebenarnya bisa menjadi sumber pajak yang besar. Menurut Ariawan Rahmat, dari IEF Research Institute, potensi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari layanan AI berbayar bisa mencapai puluhan miliar rupiah setiap bulan. Contohnya, jika ada satu juta pengguna yang membayar layanan AI dengan rata-rata USD 20 setiap bulan, maka potensi transaksi mencapai USD 20 juta atau sekitar Rp300 miliar, yang berarti potensi PPN sekitar Rp36 miliar setiap bulan. Sayangnya, belum semua platform AI terdaftar sebagai pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), yaitu platform digital yang diwajibkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memungut dan menyetorkan PPN atas transaksi digital di Indonesia. Akibatnya, potensi penerimaan negara dari sektor ini belum tergarap secara optimal.
Selain itu, penghasilan dari kreator konten berbasis AI juga belum sepenuhnya tercatat dan terpantau oleh sistem perpajakan. Padahal, setiap pendapatan dari karya digital seharusnya dikenai Pajak Penghasilan (PPh). Tanpa sistem pelaporan yang rapi dan pengawasan yang kuat, potensi penerimaan negara dari sektor ini bisa bocor begitu saja. Hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah untuk membenahi regulasi dan infrastruktur perpajakan agar sesuai dengan ekosistem digital yang terus berkembang.
Jika regulasi tetap lambat beradaptasi, negara berisiko kehilangan sumber penerimaan baru yang sebenarnya sangat potensial. Maka dari itu, selain mengantisipasi penurunan pajak dari sektor tenaga kerja akibat otomatisasi, pemerintah juga perlu cermat menangkap peluang pajak dari ekonomi digital yang tengah tumbuh pesat di era AI ini.
Belajar dari Korea Selatan
Seiring meningkatnya penggunaan AI dalam industri, banyak negara mulai meninjau kembali struktur perpajakannya. Ketika perusahaan menggantikan tenaga kerja manusia dengan teknologi, penerimaan pajak dari penghasilan pekerja bisa menurun, sementara sistem pajak belum tentu siap menghadapi pergeseran ini. Dampak otomatisasi terhadap pajak ini, jika dibiarkan tanpa kebijakan penyesuaian, dapat menggerus pendapatan negara dan memperlebar ketimpangan ekonomi.
Korea Selatan menjadi salah satu negara yang mengambil langkah konkret. Mereka tidak memajaki robot secara langsung, tetapi menerapkan kebijakan yang dikenal sebagai robot tax dengan cara mengurangi insentif pajak bagi perusahaan yang menggantikan manusia dengan teknologi otomatisasi dan AI. Dengan kata lain, perusahaan yang terlalu cepat mengganti pekerja dengan mesin tidak lagi mendapat potongan pajak seperti sebelumnya. Dana yang terkumpul dari kebijakan ini kemudian digunakan untuk pelatihan ulang tenaga kerja agar tetap relevan di pasar kerja yang terus berubah.
Pendekatan ini menekankan bahwa teknologi tidak harus dianggap sebagai musuh, melainkan sebuah perubahan yang harus dikelola secara adil dan bertanggung jawab. Kebijakan fiskal di sini tidak sekadar menggenjot penerimaan pajak, tetapi juga menjaga keseimbangan sosial dan daya saing tenaga kerja.
Regulasi untuk Masa Depan Digital
AI adalah gelombang teknologi yang tidak terelakkan, dan sudah mulai membentuk ulang lanskap ekonomi serta pasar tenaga kerja. Namun, kemajuan ini harus diimbangi dengan kebijakan dan regulasi yang adaptif, responsif, dan inklusif. Pemerintah perlu hadir sebagai fasilitator inovasi dan pengarah yang memastikan bahwa pemanfaatan AI tidak mengorbankan kepentingan publik, keadilan sosial, maupun stabilitas fiskal.
Salah satu langkah krusial adalah memperluas cakupan pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), serta memperkuat sistem pelaporan dan pemungutan pajak digital. Dengan begitu, potensi penerimaan negara dari layanan AI dapat dimaksimalkan. Di sisi lain, program pelatihan ulang dan peningkatan keterampilan harus disediakan secara masif untuk memastikan tenaga kerja Indonesia tidak tertinggal dalam transformasi ini.
Perlindungan data dan transparansi dalam sistem perpajakan digital juga harus dijaga agar kepercayaan publik terhadap negara tetap utuh. Jika semua ini dijalankan dengan serius dan berkelanjutan, maka AI bukanlah ancaman, melainkan peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
