Matinya Nurani di Kursi Emansipasi dalam Drama Nurani Karya Wisran Hadi
Sastra | 2025-07-14 09:40:38
Pangkat dan pencapaian pasangan bukanlah sebuah indikasi bahwa seseorang juga memiliki kedudukan yang serupa seperti pasangannya. Namun, saat ini sudah menjadi fenomena biasa di masyarakat ketika seseorang mendapatkan sebuah gelar maka pasangannya juga mendapatkan gelar sejajar dengannya. Seperti seorang laki-laki yang sudah naik haji hingga mendapatkan gelar “Pak Haji” maka pasangannya juga mendapatkan gelar “Bu Haji” padahal belum pernah naik haji sebelumnya. Inilah sebuah fenomena yang disinggung dalam drama Nurani karya Wisran Hadi. Drama adalah suatu jenis karya sastra yang diciptakan untuk menggambarkan kehidupan dan watak manusia melalui acting dan dialog, yang kemudian dipentaskan (Surastina, 2020: 116).Sedangkan Nurani dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai perasaan hati yang murni dari lubuk hati yang paling dalam. Nurani adalah kekuatan yang mengilhami kebaikan dan mendorong seseorang melakukan sebuah kebaikan. Seseorang akan merasakan kepuasan saat telah memenuhi panggilan nuraninya. Dalam drama ini “Nurani” bukan hanya sebuah judul, tapi simbol yang menggambarkan kegelisahan sosial tentang arah perjuangan kebebasan perempuan. Nurani juga merupakan nama seorang tokoh yang menjaga sebuah kursi bernama “Kursi Emansipasi”, kursi yang katanya hanya boleh diduduki oleh laki-laki. Nurani digambarkan sebagai sosok penjaga yang lembut dan teguh, mempertahankan prinsip bahwa tidak semua hal bisa dicapai hanya dengan keinginan, apalagi dengan memaksakan kehendak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Emansipasi merupakan pembebasan dari perbudakan, persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria). Dalam penampilan Drama Nurani, terdapat tiga tokoh perempuan yang sangat memuja emansipasi. Ketiga perempuan itu adalah Ibu Kepala, istri seorang Kepala. Ibu Dosen, istri seorang dosen, dan Ibu Haji, istri seorang Haji. Mereka adalah tokoh yang menginginkan kursi emansipasi yang dijaga oleh Nurani. Sebagai istri dari orang-orang penting, mereka merasa pantas untuk mendapatkan hak yang sama seperti suami-suami mereka. Namun, cara yang mereka tempuh justru memperlihatkan bagaimana emansipasi bisa salah arah. Mereka menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan kursi tersebut, dimulai dari membujuk Nurani hingga menggunakan jalan kekerasan. Nurani menolak membiarkan mereka duduk di kursi karena ia tahu niat mereka bukanlah untuk memperjuangkan kebaikan, melainkan demi kebebasan absolut yang melanggar kodrat dan nilai yang ada. Ketika usaha mereka tidak membuahkan hasil, mereka kemudian bekerja sama mengikat Nurani dan membiarkannya tidak berdaya hingga mati. Pada akhirnya, kekerasan menjadi alat untuk merebut sesuatu yang tidak seharusnya dipaksakan. Setelah Nurani mati, kursi tersebut akhirnya bisa mereka duduki. Namun, bukan kebebasan atau kemuliaan yang mereka dapat, melainkan kehampaan. Mereka telah membungkam suara yang jujur, menukar nurani dengan kekuasaan. Ini menunjukkan bahwa emansipasi tanpa nurani adalah kehancuran. Pada akhir cerita, Ibu Haji dan Ibu Dosen mencoba membangunkan kembali Nurani, berharap masih ada yang bisa diselamatkan. Tapi Nurani telah mati. Mati oleh tangan mereka sendiri. Drama ini bukanlah penolakan terhadap gerakan emansipasi. Justru merupakan kritik terhadap emansipasi yang kehilangan arah dan dikendarai oleh hawa nafsu. Sebab emansipasi sejati bukan tentang menyamai laki-laki dalam berbagai aspek, tetapi tentang memperjuangkan keadilan dengan tetap berpegang pada nilai, etika, dan nurani. Sebagaimana disampaikan dalam drama tersebut, wanita memiliki fitrah dan batasan yang seharusnya dijaga demi kebaikan perempuan itu sendiri. Ketika batasan itu dilanggar atas nama “kebebasan”, maka yang terjadi bukanlah kemajuan, melainkan kemunduran batin dan sosial.
Drama ini menjadi refleksi keras, khususnya dalam memaknai peran perempuan dalam masyarakat saat ini. Kursi emansipasi seharusnya tidak mengorbankan hati nurani. Jika sebuah perjuangan harus meninggalkan nilai, maka ia bukan lagi perjuangan, melainkan perebutan kekuasaan yang hampa makna. Sudah saatnya kita bertanya, apakah langkah-langkah yang kita tempuh untuk memperjuangkan hak sudah sejalan dengan nurani? Atau nurani itu sudah mati, perlahan-lahan oleh diri sendiri? Karena ketika nurani mati, maka kemanusiaan ikut terkubur bersama ambisi.
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.