Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Firda Fitriani Nurfadhilah

Peta Aliran Sastra: Dari Romantisisme hingga Realisme

Sastra | 2025-12-31 17:33:18

Sastra tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh, bergerak, dan berubah seiring denyut zaman yang melingkupinya. Karena itu, memahami aliran-aliran dalam sastra sejatinya sama dengan membaca cara manusia memandang hidup, alam semesta, dan dirinya sendiri pada periode tertentu. Setiap aliran sastra bukan sekadar gaya menulis, melainkan cerminan pandangan hidup yang berakar pada pemikiran filosofis, sosial, dan budaya yang berkembang pada masanya.

Dalam sejarah kesenian, termasuk sastra, terdapat dua kutub besar yang kerap menjadi dasar lahirnya berbagai aliran, yakni idealisme dan materialisme. Idealisme menempatkan gagasan, cita-cita, dan dunia rohani sebagai pusat kehidupan. Aliran ini berangkat dari pemikiran filsuf besar seperti Socrates dan Plato, yang memandang kenyataan sejati tidak selalu identik dengan apa yang tampak secara fisik. Dalam sastra, idealisme melahirkan berbagai aliran seperti romantisme, simbolisme, ekspresionisme, mistisisme, dan surealisme, yaitu aliran-aliran yang memberi ruang luas bagi perasaan, imajinasi, dan pengalaman batin manusia.

Romantisme, misalnya, menekankan ungkapan perasaan sebagai dasar penciptaan karya. Bahasa yang indah dan emosional digunakan agar pembaca ikut tersentuh dan larut dalam dunia batin pengarang. Meski sering dikaitkan dengan kisah cinta, romantisme sejatinya berbicara lebih luas tentang pergulatan emosi manusia. Sementara itu, simbolisme hadir sebagai strategi estetik sekaligus kultural, terutama ketika kebebasan berbicara dibatasi. Melalui tokoh-tokoh binatang, tumbuhan, atau benda mati, pengarang menyelipkan kritik dan pandangan hidup secara tersirat, sebagaimana tampak dalam fabel dan peribahasa.

Ekspresionisme dan mistisisme membawa sastra semakin masuk ke wilayah batin yang lebih dalam. Ekspresionisme menampilkan luapan jiwa yang keras dan meledak-ledak, tanpa harus terikat pada realitas objektif. Chairil Anwar kerap disebut sebagai sosok yang mewakili semangat ini dalam sastra Indonesia. Di sisi lain, mistisisme memandang sastra sebagai jalan pencarian spiritual, upaya menyatukan diri dengan Tuhan sebagai sumber segala kehidupan. Surealisme pun turut memperkaya corak idealisme dengan menggali alam bawah sadar dan dunia mimpi, dipengaruhi kuat oleh pemikiran psikoanalisis Sigmund Freud.

Berlawanan dengan idealisme, materialisme memandang dunia sebagai hasil kerja materi dan gerak. Dalam sastra, pandangan ini melahirkan aliran realisme dan naturalisme. Realisme berusaha menampilkan kehidupan apa adanya, tanpa hiasan emosi atau intervensi subjektif pengarang. Gustave Flaubert menjadi tokoh penting aliran ini dengan penekanannya pada objektivitas. Realisme percaya bahwa keindahan justru terletak pada kenyataan itu sendiri.

Namun, kenyataan tidak selalu dipahami secara datar. Impresionisme hadir dengan menekankan kesan subjektif pengarang terhadap realitas. Karya-karya impresif tidak sekadar menggambarkan apa yang dilihat, tetapi bagaimana sesuatu dirasakan. Dalam konteks Indonesia, aliran ini berkembang pada masa-masa ketika kebebasan berekspresi terbatas, sehingga gagasan disampaikan secara halus dan simbolik oleh sastrawan seperti Sanusi Pane, Abdul Hadi W.M., dan W.S. Rendra.

Naturalisme kemudian melangkah lebih jauh dengan menampilkan sisi gelap kehidupan manusia secara blak-blakan. Manusia digambarkan sebagai makhluk yang tunduk pada dorongan naluriah dan lingkungan sosialnya. Emil Zola dikenal sebagai tokoh utama aliran ini, sementara di Indonesia kecenderungan naturalistik tampak dalam karya Armijn Pane, Motinggo Busye, hingga Ayu Utami. Dari naturalisme, lahir pula determinisme yang meyakini bahwa nasib manusia sepenuhnya ditentukan oleh faktor biologis dan lingkungan, bukan oleh kehendak ilahi.

Meski demikian, penting untuk disadari bahwa aliran sastra tidak dapat “dicap” secara mutlak pada seorang pengarang. Seorang sastrawan kerap berdiri di persimpangan berbagai aliran, sebagaimana Sutan Takdir Alisjahbana yang dikenal sebagai romantis sekaligus idealis. Justru di situlah kekayaan sastra: ia lentur, cair, dan terus bernegosiasi dengan zamannya.

Pada akhirnya, aliran-aliran sastra membantu kita memahami bahwa sastra bukan hanya soal estetika, melainkan juga soal cara manusia memaknai kehidupan. Dengan membaca sastra dan aliran-alirannya, kita sejatinya sedang membaca sejarah pemikiran manusia, sebuah perjalanan panjang antara kenyataan dan cita-cita, antara materi dan makna.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image