Wajibnya Memiliki BPJS, Menyulitkan Rakyat
Agama | 2022-03-08 08:09:33Oleh: Ummu Asma', Ibu Rumah Tangga
Di tahun 2022 ini, pemerintah menerbitkan aturan baru. Seperti dilansir dari Tribunnewsbogor.com berlaku mulai Maret 2022, warga Indonesia wajib memiliki Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial atau BPJS Kesehataan agar bisa mengurus berbagai keperluan. Seperti mengurus Surat Izin Mengemudi ( SIM), mengurus Surat Tanda Nomor Kendaraan ( STNK), Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), hendak berangkat ibadah haji, dan jual beli tanah. Kewajiban itu tercantum dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. (Tribunnewsbogor.com, 20/02)
Kebijakan pemerintah ini alih-alih memberi jaminan layanan Kesehatan justru membebani rakyat dengan kewajiban asuransi dan menyulitkan pemenuhan kemaslahatan lain. Bahkan menunjukan otoritasnya dalam memaksakan aturan terhadap rakyatnya. Karena kebijakan mengenai wajibnya masyarakat menjadi peserta BPJS aktif dirasa tidak ada korelasi dengan pembuatan SIM, STNK, SKCK, Jual beli tanah, bahkan menunaikan ibadah haji.
Dalam sistem kapitalisme saat ini, negara hanya memandang rakyat dalam hubungan untung-rugi, bukan memaksimalkan perannya sebagai pengurus (riayah) rakyatnya. Sehingga sering muncul kebijakan-kebijakan yang justru memberatkan rakyat. Di satu sisi masyarakat diwajibkan memiliki SIM dan STNK untuk mengendarai kendaraan bermotor, dan jika tidak memilikinya maka akan dikenakan tilang atau sanksi. Tapi di sisi lain, rakyat dipersulit untuk memperoleh SIM dan STNK tersebut dengan adanya kebijakan baru ini. Karena mau tidak mau rakyat harus membayar iuran BPJS tiap bulannya agar bisa menjadi peserta BPJS aktif, dan iuran yang dibayarpun tidaklah sedikit. Tidak semua orang mampu untuk membayar iuran tersebut. Apalagi di tengah-tengah terhimpitnya kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti sekarang.
Belum lagi dengan status hukum BPJS dalam pandangan Islam. Karena BPJS ini berbasis asuransi, dimana asuransi dalam Islam itu haram hukumnya. Karena terdapat beberapa aktivitas batil disana, ketidakjelasan akad antara peserta dengan penyelenggara asuransi, uang yang sudah dikeluarkan oleh peserta yang tidak menggunakan fasilitas kesehatan pun entah kemana, serta menghilangkan sikap bertawakkal dengan benar kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Padahal tawakkal adalah jalan keluar sebenarnya dari segala kesulitan dan kekhawatiran masa depan yang suram. Status keharaman ini pun menjadi dilema bagi kaum muslim yang ingin menunaikan ibadah haji. Di satu sisi ingin menunaikan kewajiban, tapi di sisi lain harus melakukan keharaman.
Jaminan kesehatan dalam pandangan islam adalah kewajiban negara untuk memenuhinya, tanpa menghimpun dana dari rakyat sebagai peserta jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan terbaik diberikan pada seluruh rakyat, tanpa syarat. Selain itu, dalam sistem pemerintahan Islam, kekuasaan digunakan semata-mata untuk menegakan syariat, sehingga tidak akan muncul kebijakan yang bertentangan dengan syariat dan menyengsarakan rakyat.
Maka dari itu, sudah sepantasnya umat Islam memilih aturan dari Penciptanya untuk diterapkan dalam kehidupan di dunia ini agar tidak melahirkan kesengsaraan, kesulitan, dan kegundahan. Karena aturan yang dibuat oleh Allah adalah untuk kemaslahatan makhluk-Nya dan memberikan ketentraman karena sesuai dengan fitrah manusia. Aturan Islam, satu-satunya yang bisa mewujudkan kesejahteraan tersebut. Wallahu'alam Bishshawwab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.