Apresiasi terhadap Karya Wisran Hadi: Pementasan Drama Matrilini oleh Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas
Sastra | 2025-07-12 16:45:29
Festival Nasional Wisran Hadi II dilaksanakan di Medan Nan Balinduang, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, pada tanggal 4 hingga 8 Juli 2025. Kegiatan ini merupakan agenda tahunan yang diselenggarakan oleh Jurusan Sastra Indonesia sebagai ajang publikasi praktik mata kuliah Kajian Drama.
Pemilihan naskah-naskah karya Wisran Hadi sebagai bahan pementasan merupakan bentuk penghargaan terhadap karya sastra yang telah ditinggalkan oleh sastrawan besar Minangkabau. Melalui festival ini, mahasiswa diberi ruang untuk menginterpretasikan dan menafsirkan karya-karya Wisran Hadi dalam bentuk pertunjukan teater, sekaligus memperluas apresiasi. Beberapa naskah karya Wisran Hadi yang dipentaskan dalam festival ini antara lain Nilonali, Nurani, Penjual Bendera, Malin Deman, Matrilini, Nyonya-Nyonya, Ro, Orang-Orang Bawah Tanah, Teater Elektronik, dan Tuanku Yayai.
Salah satu penampilan yang menarik adalah penampilan dengan naskah Matrilini yang disutradarai oleh Faathir Tora Nugraha. Drama Matrilini karya Wisran Hadi mengangkat konflik dalam keluarga matrilineal Minangkabau. Tzokoh utama dalam drama ini adalah Datuk, seorang mamak dalam keluarga yang memegang peran sentral dalam menentukan nasib kemenakannya, Matrilini. Matrilini adalah anak perempuan yang akan dinikahkan dengan seorang saudagar kaya bernama Merah Silu. Namun, pernikahan tersebut menghadapi banyak kendala karena katanya Merah Silu yang terlalu sibuk dan berada di luar negeri.
Pada babak pertama diawali dengan suasana pelaminan yang megah dengan balutan warna merah dan emas, Matrilini duduk bersama ibunya, Rahayu, menanti kedatangan mempelai pria. Waktu terus berlalu, namun Merah Silu tidak kunjung datang. Keresahan mulai terasa hingga terdengar kabar bahwa Merah Silu tengah berada di luar negeri. Di tengah kekacauan itu, Matrilini terus-menerus muntah, dan diketahui bahwa ia sedang mengandung. Kehamilan itu bukan hasil hubungan dengan Merah Silu, melainkan dengan seorang sopir bernama Bujang.
Meski fakta tersebut terungkap, Datuk tetap bersikukuh agar pernikahan dengan Merah Silu harus dilangsungkan demi menjaga harga diri. Ia bahkan rela menggadaikan rumah dan menjual harta pusaka demi ambisinya. Walaupun Merah Silu menghilang, namun datuk tetap menganggapnya sebagai menantu ideal karena kekayaannya. Obsesi Datuk terhadap adat, yang seharusnya menjunjung marwah dan kehormatan, justru menjelma menjadi pembenaran atas tindakan yang menyimpang dari nilai-nilai adat itu sendiri. Sementara itu, Rahayu sebagai ibu kandung Lini tidak dapat berbuat banyak dan tetap tunduk pada keputusan Datuk.
Tokoh dalam naskah Matrilini terdiri dari Datuk, Matrilini, Rahayu, Bujang, Ibu Lurah, dan Tuan. Di antara para tokoh tersebut, Rahayu dan Datuk menampilkan akting yang patut diapresiasi. Keduanya mampu menghidupkan karakter masing-masing dengan detail ekspresi wajah yang kuat dan vokal yang lantang serta penuh penjiwaan. Namun demikian, masih terdapat beberapa pemeran yang terlihat kurang mendalami peran sehingga penyampaian dialog terdengar seperti sekadar membaca naskah, bukan hasil dari proses pendalaman karakter secara utuh.
Secara teknis, pertunjukan ini menunjukkan eksekusi yang rapi. pentuPergantian antar babak dalam pertunjukan ini berlangsung dengan cukup mengesankan. Para pemeran menunjukkan keluwesan dan ketangkasan dalam proses transisi, meskipun kostum dan properti yang digunakan terbilang banyak dan beragam. Hal ini menunjukkan kesiapan dan koordinasi yang baik di antara para pelakon. Selain itu, properti yang digunakan dalam drama ini tampak dirancang dengan baik dan dapat mendukung penggambaran latar secara efektif. Terdapat satu aspek teknis yang masih dapat ditingkatkan, yaitu pencahayaan. Meskipun jumlah lampu yang digunakan cukup banyak, pencahayaan yang dihadirkan terkadang kurang selaras dengan kebutuhan adegan. Hal ini sedikit mengurangi kesan dramatik dalam beberapa momen penting.
Salah satu adegan yang paling membekas dalam pementasan ini adalah interaksi antara tokoh Datuk dan Bujang. Hubungan dinamis antara kedua karakter tersebut berhasil menciptakan suasana yang ringan dan menghibur. Gelak tawa penonton pun tak terhindarkan berkat pembawaan dialog yang luwes dan respons emosional yang tepat. Meski dibalut dalam nuansa komedi, para pelakon tetap menjaga konsentrasi dan kedisiplinan dalam membawakan peran sehingga tidak keluar dari konteks cerita yang sedang dibangun.
Selain itu, di adegan lain muncul sebuah kutipan dialog yang begitu dalam. Dalam momen ketika Datuk tetap bersikukuh menikahkan Matrilini dengan Merah Silu, ia menyatakan, “Namanya orang adat, lebih baik menipu adat daripada menipu diri sendiri.” Pernyataan tersebut mencerminkan bagaimana Datuk membenarkan tindakannya atas nama adat, meskipun justru bertentangan dengan nilai-nilai adat itu sendiri. Kutipan ini menyentil realitas masyarakat masa kini yang kerap menggunakan adat sebagai tameng untuk menutupi kepentingan pribadi atau pembenaran terhadap perilaku yang tidak etis.
Melalui pementasan Matrilini, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas berhasil membawakan karya Wisran Hadi dengan baik. Pementasan ini terasa hidup dan menarik, dengan akting yang meyakinkan serta alur cerita yang disampaikan dengan jelas. Usaha dan kerja keras tim terlihat dalam setiap adegan yang ditampilkan. Karya ini membuktikan bahwa dengan kreativitas dan kerja sama tim yang solid, mahasiswa dapat menyuguhkan pertunjukan yang layak diapresiasi dan dikenang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
