Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sevenita Oktaviani Sipahutar

Apakah Standar Kualifikasi Kerja Kini Melanggar Etika Keadilan Sosial?

Kolom | 2025-07-10 16:56:32
Ilustrasi lowongan kerja (sumber: https://www.lowonganrembang.com)

Dalam dunia yang semakin menuntut profesionalisme dan efisiensi, standar kualifikasi sering kali dianggap sebagai alat untuk menjamin kualitas, kompetensi, dan kredibilitas individu dalam berbagai bidang. Namun, dalam praktiknya, standar ini tidak jarang menciptakan ketimpangan akses dan memperkuat diskriminasi sistemik membawa kita pada pertanyaan penting: Apakah standar kualifikasi saat ini justru melanggar etika keadilan sosial?

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran Indonesia mencapai 7,28 juta orang per Februari 2025.Perlu disadari bahwa tidak semua orang memiliki kesempatan yang setara untuk memenuhi standar kualifikasi yang ditetapkan. Misalnya, syarat pendidikan tinggi atau sertifikasi profesional tertentu seringkali lebih mudah diakses oleh mereka yang berasal dari kelas sosial ekonomi atas. Di sisi lain, individu yang sama kompetennya tetapi berasal dari latar belakang ekonomi lemah mungkin tidak memiliki akses terhadap pendidikan atau pelatihan yang dibutuhkan.Akibatnya,standar yang seharusnya menjamin kualitas justru menjadi alat eksklusivitas.

Kualifikasi Kerja dan Peluang: Mencari Titik Temu yang Adil

Dalam praktik rekrutmen kerja saat ini, seringkali kita menemukan standar kualifikasi yang terkesan berlebihan dan tidak realistis, terutama dalam hal batas usia, pengalaman kerja minimal, dan persyaratan administratif lainnya. Misalnya, banyak lowongan pekerjaan yang menetapkan batas usia sangat ketat seperti maksimal 21-25 tahun , meskipun pekerjaan tersebut tidak memiliki alasan teknis yang kuat untuk batasan tersebut. Hal ini jelas menjadi hambatan bagi banyak profesional berbakat yang sebenarnya masih memiliki kemampuan, pengalaman, dan semangat yang tinggi untuk berkontribusi.

Tidak hanya itu saja ribuan para fresh graduate yang setiap tahun meyandang gelar sarja tetapi karena faktor pengalaman kerja sering kali menghadapi tantangan besar ketika memasuki dunia kerja. Salah satu kendala utama adalah standar kualifikasi yang diterapkan oleh banyak perusahaan pengalaman kerja minimal satu sampai dua tahun yang jelas sulit dipenuhi oleh lulusan baru yang belum sempat mengumpulkan pengalaman profesional. Kondisi ini membuat banyak fresh graduate merasa terpinggirkan, padahal hal itu bisa membawa semangat,pengetahuan terbaru,dan potensi besar untuk berkembang.

Ketimpangan Akses Terhadap Pendidikan dan Pelatihan

Standar kualifikasi sering didasarkan pada jenjang pendidikan formal, sertifikasi, dan pengalaman kerja. Namun, tidak semua individu memiliki akses yang setara terhadap hal-hal tersebut. Orang yang berasal dari keluarga miskin, daerah terpencil, atau komunitas terpinggirkan sering kali tidak memiliki kesempatan yang sama untuk meraih pendidikan tinggi atau mengikuti pelatihan profesional. Dalam hal ini, standar kualifikasi menjadi tidak inklusif dan secara tidak langsung mendiskriminasi mereka yang secara struktural kurang beruntung.

Jika hal ini terus dijalankan tanpa mempertimbangkan latar belakang sosial-ekonomi, maka ia telah melanggar prinsip dasar keadilan sosial, yaitu memberikan perlakuan yang setara dan proporsional sesuai dengan kondisi masing-masing individu. Etika keadilan sosial menuntut agar setiap orang memiliki peluang yang sama untuk berkembang,bukan hanya mereka yang mampu secara finansial atau memiliki jaringan sosial yang kuat.

Perlu disadari memang ada sejumlah orang yang berhasil menembus berbagai keterbatasan ekonomi dan sosial, dan meraih posisi yang baik di dunia kerja meskipun tidak memiliki akses yang ideal sejak awal. Kisah mereka menginspirasi dan membuktikan bahwa kerja keras dan ketekunan tetap memiliki tempat dalam perjalanan hidup seseorang. Namun, penting untuk disadari bahwa pencapaian tersebut bukanlah gambaran umum dari sistem yang ada, melainkan cerminan dari tekad luar biasa dalam situasi yang penuh tantangan.

Bukan Menurunkan Standar,Tapi Menyesuaikannya dengan Realitas

Dalam dunia kerja modern, standar kualifikasi kerap kali menjadi penentu utama siapa yang layak dan tidak layak mendapatkan kesempatan. Namun, semakin ke sini, kita mulai menyadari bahwa standar yang terlalu kaku—baik dari sisi usia, pengalaman, hingga latar belakang pendidikan—justru sering kali tidak mencerminkan kenyataan di lapangan. Banyak talenta muda yang kompeten tertahan karena kurangnya pengalaman formal. Banyak pula individu yang ingin beralih karier, tapi terhalang oleh kriteria teknis yang tidak memberi ruang belajar. Maka, yang dibutuhkan bukanlah menurunkan standar, melainkan menyesuaikannya dengan realitas hari ini.

Penulis dalam hal ini ber-opini bahwa Menyesuaikan standar bukan berarti asal menerima siapapun, melainkan memberikan ruang bagi lebih banyak orang untuk membuktikan bahwa mereka mampu tumbuh, belajar, dan bekerja dengan kualitas yang diharapkan.Dunia kerja bukan hanya tempat bagi yang “siap jadi” tapi juga harus menjadi ruang bagi mereka yang “siap belajar”.Saat kita terlalu fokus pada kelengkapan persyaratan, kita mungkin melewatkan potensi yang sesungguhnya potensi yang bisa berkembang jika diberi kesempatan.

Realitas saat ini menunjukkan bahwa kemampuan belajar cepat, beradaptasi, dan bekerja sama dalam tim sudah menjadi keterampilan yang tidak kalah penting dibandingkan sekadar jumlah tahun pengalaman dan Bukan berarti standar harus dihapus yang Pada akhirnya, dunia kerja yang sehat bukanlah dunia yang hanya dihuni oleh yang sempurna dari awal, tapi oleh mereka yang terus bertumbuh. Dan untuk itu, kita semua baik institusi, pelaku industri, hingga pencari kerja perlu mengubah cara pandang.Bukan dengan menurunkan kualitas, tapi dengan memahami bahwa standar yang baik adalah standar yang mampu melihat potensi dalam keberagaman.Karena keadilan bukan menyamaratakan semua orang, tapi memberi ruang bagi setiap orang untuk berkembang sesuai dengan jalurnya masing-masing.

Tulisan ini hasil kolaborasi Sevenita Oktaviani Sipahutar Mahasiswi Universitas Katolik Santo Thomas Dan Helena Sihotang, S.E., M.M. Dosen Fakultas ekonomi dan bisnis.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image