Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muh Ihsan

Ketika AI Masuk Dunia Medis: Inovasi Besar, Dilema yang tak Bisa Diabaikan

Medika | 2025-11-25 13:57:35

Oleh: Kelompok 4, ETIK 29

Di era ketika teknologi berkembang lebih cepat dari regulasinya, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) mulai mendominasi berbagai sektor, termasuk layanan kesehatan. Di banyak rumah sakit, AI kini membantu membaca citra medis, memprediksi risiko penyakit, hingga menyarankan langkah penanganan. Teknologi ini membawa harapan besar: pelayanan yang lebih cepat, diagnosis yang lebih akurat, dan biaya kesehatan yang lebih efisien. Namun di balik kemajuannya, muncul pertanyaan krusial: apakah hasil analisis AI aman digunakan tanpa penilaian klinis tambahan dari dokter? Pertanyaan ini memicu diskusi luas di kalangan medis karena menyentuh inti etika profesi dan keselamatan pasien.

Kekhawatiran itu semakin kuat setelah kasus yang menjerat OpenAI pada 2025. Perusahaan ini digugat oleh beberapa keluarga korban bunuh diri yang diduga dipengaruhi percakapan pengguna dengan ChatGPT. Salah satu kasus melibatkan seorang pria bernama Zane Shamblin, yang berinteraksi intens dengan AI sebelum ditemukan meninggal dunia. Respons ChatGPT yang dinilai tidak sensitif memicu kontroversi internasional. Dunia kesehatan mengambil pelajaran penting dari kejadian itu: kecerdasan buatan, betapapun pintarnya, tetap tidak memiliki sensitivitas emosional dan pemahaman kontekstual yang dimiliki manusia. Dalam perspektif pelayanan kesehatan, kesalahan semacam ini bisa berdampak fatal.

Para ahli bioetika menilai bahwa penggunaan AI tanpa verifikasi klinis berpotensi melanggar prinsip dasar etika kedokteran. Prinsip non-maleficence—jangan membahayakan pasien—menuntut tenaga medis untuk memastikan bahwa setiap keputusan medis sepenuhnya aman. Sementara itu, prinsip beneficence mewajibkan dokter mengutamakan kepentingan pasien melalui pertimbangan yang komprehensif, termasuk kondisi emosional, sosial, hingga preferensi pribadi pasien—hal-hal yang tidak bisa dipahami oleh algoritma. Dengan demikian, AI boleh membantu, tetapi tidak bisa menggantikan pertimbangan klinis manusia yang bersifat holistik.

Dari sisi hukum, Indonesia sebenarnya telah menyiapkan sejumlah regulasi yang mengatur penggunaan teknologi digital dalam layanan kesehatan. Permenkes Telemedicine 2019, UU Kesehatan 2023, UU Perlindungan Data Pribadi 2022, hingga SE Kominfo 2023 tentang Etika AI memberi payung hukum yang cukup tegas. Regulasi-regulasi ini menekankan satu hal: penggunaan teknologi harus diiringi keselamatan pasien, transparansi pengolahan data, dan perlindungan privasi. Namun tantangannya tetap besar. Teknologi berkembang jauh lebih cepat dibanding kebijakan, sehingga pengawasan, audit algoritma, dan penilaian risiko menjadi pekerjaan yang tak boleh ditunda.

Meski demikian, para pakar bersepakat bahwa AI tetap memiliki potensi besar dalam memajukan layanan kesehatan. Teknologi dapat mempercepat proses diagnosis, meningkatkan akurasi membaca citra medis, dan membantu dokter memahami pola klinis yang sebelumnya sulit dideteksi. Agar manfaat ini optimal, tenaga medis harus dibekali literasi digital yang memadai. Dokter perlu memahami cara kerja AI, batasannya, serta bagaimana memvalidasi hasil analisisnya. Di sisi lain, masyarakat juga harus disadarkan bahwa AI bukan “dokter instan”, melainkan alat bantu yang tetap memerlukan pengawasan profesional.

Pada akhirnya, persimpangan antara teknologi dan kemanusiaan menuntut keseimbangan yang matang. AI mungkin dapat mengolah data dengan kecepatan super, tetapi hanya dokter yang mampu merasakan kecemasan pasien, membaca ekspresi halus, atau memahami cerita hidup yang memengaruhi kondisi kesehatan seseorang. Dengan menempatkan teknologi sebagai partner, bukan pengganti, dunia medis dapat memanfaatkan potensi AI tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi inti pelayanan kesehatan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image