Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wilha Fatiharayan

Mental Health dalam Perspektif Alquran: Ketika Hati dan Jiwa Butuh Penerang

Gaya Hidup | 2025-07-09 13:36:49

 

Ilustrasi gangguan mental health, Source by Daniel Reche: https://www.pexels.com/photo/gray-scale-photo-of-man-covering-face-with-his-hands-3601097/

Di tengah kehidupan modern yang serba cepat dan kompetitif, kesehatan mental menjadi isu yang kian mengemuka. Kecemasan, depresi, dan stres kini tak hanya menyerang kalangan dewasa, tapi juga remaja hingga anak-anak. Berdasarkan hasil laporan World Health Organization (2024), jika ditinjau secara global, diperkirakan satu dari tujuh (14%) anak usia 10–19 tahun mengalami gangguan kesehatan mental, akan tetapi ada beberapa ganguan yang belum dikenali dan diobati. Di Indonesia, data Riskesdas 2023 menunjukkan bahwa sekitar 6,2% populasi penduduk yang berusia 15-24 tahun mengalami ganguan Kesehatan mental atau depresi. Angka ini kemungkinan meningkat pascapandemi. Situasi ini menegaskan bahwa kesehatan mental bukan hanya persoalan medis, tetapi juga menyentuh aspek spiritual dan sosial yang mendalam.

Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin tentu tidak menutup mata terhadap problematika kejiwaan. Alquran sebagai petunjuk hidup memuat nilai-nilai yang relevan untuk membangun ketahanan mental dan kedamaian batin. Dalam QS. Ar-Ra’d [13]: 28 disebutkan, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” Ayat ini sering dikutip sebagai dalil bahwa ketenangan jiwa berasal dari hubungan spiritual yang kuat. Namun, pemahaman ayat ini harus ditempatkan dalam kerangka yang utuh, agar tidak menyederhanakan gangguan mental sebagai kurang iman belaka. Spiritualitas memang penting, tetapi bukan satu-satunya faktor dalam penyembuhan mental.

Alquran tidak mengabaikan kondisi psikologis para nabi dan manusia lainnya. Nabi Ya’qub dalam QS. Yusuf [12]: 84 digambarkan menangis dan sedih hingga matanya memutih karena kehilangan Yusuf. Ini menunjukkan bahwa kesedihan bukanlah bentuk kelemahan iman, melainkan bagian dari ekspresi emosional manusia. Bahkan, Nabi Muhammad ﷺ pun pernah mengalami fase "fatrah wahyu" yang membuatnya gelisah dan penuh tekanan. Hal ini menjadi dasar bahwa Alquran mengakui realitas gangguan psikis sebagai bagian dari perjalanan hidup manusia. Maka, penting untuk tidak menghakimi penderita gangguan jiwa, melainkan memberikan empati dan ruang penyembuhan.

Dalam konteks kesehatan mental, Alquran memberi beberapa prinsip penting yang patut dicermati secara lebih terstruktur. Beberapa di antaranya adalah:

1. Validasi Emosi: Alquran tidak menolak kesedihan, ketakutan, atau kemarahan sebagai bagian dari fitrah manusia. 2. Kesadaran Diri (Tazkiyatun Nafs): Pembersihan jiwa bukan hanya urusan moral, tetapi juga aspek refleksi dan ketenangan batin. 3. Kesabaran dan Harapan: Dalam banyak ayat seperti QS. Al-Baqarah: 155–157, Allah menjanjikan keberkahan bagi mereka yang sabar. 4. Komunitas yang Mendukung: Islam sangat menekankan ukhuwah (persaudaraan) sebagai benteng sosial dari kesendirian dan keterasingan. 5. Keseimbangan Hidup: Alquran memerintahkan agar manusia tidak berlebih-lebihan dalam segala hal (QS. Al-A’raf: 31), termasuk dalam bekerja atau beribadah.

Sayangnya, stigma terhadap penderita gangguan mental masih cukup kuat di masyarakat Muslim. Banyak yang mengaitkan gangguan jiwa dengan lemahnya iman, kerasukan jin, atau kutukan spiritual. Ini adalah pandangan keliru yang dapat memperburuk kondisi pasien. Kementerian Kesehatan RI dalam Strategi Nasional Kesehatan Jiwa 2020–2024 menekankan pentingnya pendekatan holistik dan inklusif yang menggabungkan aspek medis, sosial, dan spiritual. Di sinilah peran tokoh agama dan dai sangat penting untuk mengedukasi umat, agar lebih peka dan suportif terhadap saudara yang sedang berjuang secara mental.

Salah satu pendekatan yang mulai dikembangkan adalah spiritual psychotherapy atau terapi spiritual berbasis Alquran dan hadis. Beberapa institusi di Indonesia mulai menggabungkan pendekatan ini dengan psikoterapi konvensional, seperti konseling islami yang diintegrasikan dengan ilmu psikologi modern. Misalnya, konsep mu’ahadah (komitmen kepada Allah), muraqabah (kesadaran terus-menerus atas kehadiran-Nya), serta muhasabah (refleksi diri) terbukti membantu menenangkan pikiran dan memperkuat daya tahan mental. Studi oleh Ghinaa Aliyya dalam Skripsi nya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan bahwa terapi Religi seperti membaca dzikir dan shalawat dapat menurunkan tingkat kecemasan pada seseorang.

Lebih dari itu, masyarakat harus memahami bahwa mengakses psikolog atau psikiater bukanlah aib. Justru dalam Islam, menjaga kesehatan—termasuk kesehatan mental—adalah bagian dari amanah atas diri sendiri. Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 195 disebutkan, “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” Ayat ini menegaskan pentingnya upaya preventif dan kuratif untuk menjaga keselamatan jiwa dan raga. Maka, umat Islam harus keluar dari pola pikir lama yang menstigmatisasi pengobatan jiwa sebagai bentuk kelemahan spiritual.

Sebagai penutup, kita perlu menegaskan bahwa Alquran bukan hanya kitab hukum dan akidah, tetapi juga kitab jiwa. Ia memeluk hati yang luka, mendidik emosi yang rapuh, dan menyalakan harapan di tengah kegelapan batin. Dalam upaya menangani krisis kesehatan mental saat ini, kita tidak bisa mengandalkan satu pendekatan tunggal. Diperlukan sinergi antara ajaran agama, ilmu pengetahuan, dan kesadaran sosial. Saat hati dan jiwa butuh penerang, maka Alquran bukan sekadar dibaca, tetapi juga dirasakan dan dihayati sebagai sumber ketenangan yang sejati.

*Referesi nggak perlu di cantumkan dalam konten, buat pengangan saja

Referensi:

1. Skripsi Ghinaa Aliyya Fathinnahda, https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/64157/1/Ghinaa%20Aliyya%20F%20-%2011171030000087%20-%20087%20Ghinaa%20Aliyya%20Fathinnahda.pdf

2. Data Riskesdas 2023, tentang Kesehatan mental https://repository.badankebijakan.kemkes.go.id/id/eprint/5532/1/03%20factsheet%20Keswa_bahasa.pdf

3. WHO, Mental Health of Adolescenst (2024)

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/adolescent-mental-health

4. Kemenkes RI. (2022). Strategi Nasional Kesehatan Jiwa 2020–2024. Retrieved from: https://pusatkrisis.kemkes.go.id

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image