Kekerasan Terhadap Anak Meningkat, Ruang Aman Makin Berkurang
Politik | 2025-07-09 12:31:28
Oleh Riska
Aktivis Dakwah
Data terbaru dari sistem Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) yang dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pada tahun 2024 menunjukkan bahwa tren kekerasan terhadap anak masih mengalami peningkatan yang memprihatinkan. Berdasarkan data dari Januari hingga Desember 2024, jenis kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual, dengan jumlah korban mencapai 11.771 kasus.
Jika ditinjau dari lokasi kejadian, kekerasan paling banyak terjadi di lingkungan rumah tangga, yaitu dengan jumlah korban sebanyak 11.120 orang. Ironisnya, pelaku kekerasan terhadap anak sering kali berasal dari kalangan terdekat korban, seperti: orang tua, pasangan, maupun teman sebaya. Fakta ini menegaskan bahwa tempat yang seharusnya menjadi ruang aman dan penuh kasih justru menjadi tempat paling rawan bagi anak-anak.
Salah satu contoh nyata kekerasan ini terjadi pada seorang anak berinisial M yang ditemukan oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, pada Rabu pagi, 11 Juni 2025, sekitar pukul 07.20 WIB. Anak tersebut ditemukan dalam keadaan tertidur di atas kardus di sebuah lorong pasar. Ia diduga mengalami kekerasan fisik dari orang tuanya, sebagaimana yang diungkapkan secara singkat oleh korban. Namun, karena masih kesulitan berbicara, informasi lebih lanjut terkait dugaan penganiayaan tersebut belum dapat dikonfirmasi.
Peristiwa serupa juga terjadi di Provinsi Riau, di mana pasangan suami istri melakukan penganiayaan terhadap anak balita berusia dua tahun. Kasus-kasus seperti ini menggambarkan betapa rapuhnya sistem perlindungan anak di negeri ini, bahkan dari orang-orang yang semestinya menjadi pelindung utama mereka.
Pertanyaannya, mengapa rumah yang semestinya menjadi tempat perlindungan, justru menjadi sumber ancaman? Keluarga, yang seharusnya menjadi tempat tumbuh kembang penuh cinta, malah menjadi pemicu trauma. Hal ini menjadi refleksi mendalam tentang rusaknya tatanan kehidupan sosial dan moral di tengah masyarakat. Keluarga sebagai pilar terakhir dalam masyarakat tampaknya mulai mengalami keruntuhan yang signifikan.
Berbagai faktor berkontribusi terhadap kekerasan dalam keluarga, antara lain tekanan ekonomi, ketidakmampuan mengelola emosi, kerusakan moral, lemahnya keimanan, dan rendahnya pemahaman tentang peran dan tanggung jawab orang tua. Selain itu, sistem kehidupan sekularisme dan kapitalisme turut berperan dalam memperburuk situasi. Sistem ini tidak hanya mengikis nilai-nilai kasih sayang dalam keluarga, tetapi juga menghilangkan kesadaran akan tanggung jawab sebagai orang tua untuk melindungi anak-anaknya.
Di bawah tekanan ekonomi sistem kapitalis, banyak orang tua yang merasa terjebak dan tanpa jalan keluar, sehingga berujung pada tindakan kekerasan atau penelantaran terhadap anak. Media dan lingkungan sosial yang miskin nilai juga menjadi faktor pemicu terjadinya kekerasan. Kehidupan masyarakat yang individualistis serta rendahnya kepedulian sosial membuat kasus kekerasan terhadap anak kerap tidak terdeteksi sejak awal.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki berbagai regulasi untuk melindungi anak dari kekerasan, termasuk Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Namun, kenyataannya, peraturan perundang-undangan tersebut belum mampu mengatasi akar permasalahan secara menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh pendekatan yang bersifat parsial dan berlandaskan paradigma sekular serta kapitalistik, sehingga tidak menjangkau dimensi moral dan spiritual yang esensial dalam membangun keluarga.
Sebagai solusi alternatif, Islam menawarkan sistem kehidupan yang holistik dan menyeluruh. Dalam pandangan Islam, negara memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan perlindungan terhadap anak, termasuk melalui pembinaan keluarga. Keluarga dalam Islam tidak hanya bertugas sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai institusi pembentuk kepribadian dan karakter islami bagi setiap anggotanya.
Negara dalam sistem Islam—dengan penerapan hukum Islam secara menyeluruh (kaffah)—akan memastikan terselenggaranya pendidikan yang menguatkan nilai-nilai agama dan moral, baik melalui lembaga formal maupun media massa. Edukasi tentang peran dan tanggung jawab sebagai orang tua juga akan terus dilakukan secara sistematis dan terintegrasi. Hal ini akan membentuk pemahaman yang benar dan kokoh dalam membangun keluarga yang harmonis.
Dengan pelaksanaan hukum yang adil dan komprehensif, Islam menjamin terbentuknya ketahanan keluarga yang kuat, yang pada akhirnya akan mencegah terjadinya kekerasan di lingkungan domestik. Dalam naungan negara yang menerapkan syariat Islam secara utuh, anak-anak akan tumbuh dalam lingkungan yang aman, nyaman, dan penuh kasih sayang.
Sudah saatnya kita menyadari bahwa perlindungan terhadap anak tidak cukup hanya dengan regulasi. Dibutuhkan perubahan sistemik dan ideologis dalam membangun kembali keluarga sebagai tempat perlindungan sejati bagi generasi masa depan. Hanya dengan sistem Islam (khilafah) segala persoalan umat akan mudah diatasi, termasuk urusan perlindungan dan keamanan anak.
Wallahualam bissawwab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
