Buya Hamka dan Kepemimpinan yang tak Bisa Mati
Sejarah | 2025-07-09 07:42:20
Film Buya Hamka bukan hanya tontonan. Ia adalah tamparan. Ia adalah seruan sunyi bagi bangsa yang mulai lupa cara membentuk pemimpin yang punya hati. Di balik sorot matanya yang teduh, kita menemukan sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan pangkat atau gelar: karakter.
1. Buya Hamka: Pemimpin yang Menolak Tunduk
Kepemimpinan Buya Hamka bukan dibentuk oleh jabatan, melainkan oleh keberanian menolak tunduk pada ketidakadilan. Ketika kekuasaan meminta kompromi atas fatwa, ia memilih mengundurkan diri dari MUI. Tidak semua pemimpin sanggup melawan arus, tapi Buya membuktikan: lebih baik dihina karena benar, daripada dipuja karena salah.
Saat banyak pemimpin hari ini sibuk menjaga citra, Buya Hamka justru menjaga nilai. Nilai-nilai yang membuatnya tahan dibui tanpa dendam, bertahan difitnah tanpa mengeluh, dan tetap berdiri tegak meski sendirian. Di sinilah letak keagungan seorang pemimpin: bukan pada siapa yang ia lawan, tapi pada apa yang ia pertahankan.
2. Kepemimpinan yang Lahir dari Kesunyian dan Buku
Buya Hamka bukan hasil dari politisasi kampus, bukan jebolan partai besar, dan bukan anak penguasa. Ia dibentuk oleh buku, oleh sunyi, dan oleh tekad. Ia mendidik dirinya lewat kitab, jalan-jalan jauh, dan pengembaraan spiritual ke Tanah Suci.
Film ini memperlihatkan bahwa seorang pemimpin yang sejati bukanlah mereka yang tumbuh di panggung, melainkan di perpustakaan yang sepi, di masjid-masjid kecil, di tinta pena yang tak berhenti menulis untuk umat. Kepemimpinan Buya lahir dari pemikiran, dari refleksi, dari dialog antara akal dan nurani.
Hari ini, kita sering terpukau pada pemimpin yang ramai di layar kaca. Tapi Buya mengingatkan: pemimpin besar bukan mereka yang paling banyak bicara, tapi yang paling dalam berpikir dan paling kuat menjaga amanah.
3. Buya dan Seni Memimpin dengan Maaf
Puncak dari kepemimpinan bukan ketika seorang pemimpin mampu menghukum, tapi saat ia memilih untuk memaafkan.
Buya Hamka dipenjara oleh rezim Soekarno. Ia difitnah, dijatuhkan, dilupakan. Tapi saat Bung Karno wafat, siapa yang berdiri di depan menjadi imam salat jenazahnya? Buya Hamka. Bukan karena ia tidak sakit hati, tapi karena ia tahu: memaafkan adalah bentuk tertinggi dari kekuatan seorang pemimpin.
Ini bukan kelembekan. Ini keberanian. Maaf Buya adalah tamparan bagi banyak pemimpin hari ini yang bahkan sulit memaafkan kritik, alergi pada oposisi, dan mudah tersinggung saat kebenaran disuarakan.
4. Pemimpin Bukan Tuhan: Ia Harus Turun Menyapa Umat
Film ini juga menunjukkan sisi Buya yang membumi. Ia bukan menara gading. Ia hadir di tengah rakyat, mengajar di mushola, menyapa anak-anak muda, dan duduk bersama mereka yang berbeda pandangan. Di sini kita belajar: pemimpin bukan dewa yang harus disembah, tapi pelayan yang harus hadir.
Kepemimpinan Buya bukanlah karisma palsu yang dibangun oleh buzzer, melainkan kebesaran hati yang dibentuk oleh pelayanan.
5. Buya Tak Mati: Ia Hidup di Generasi yang Masih Mau Belajar
Buya Hamka sudah wafat. Tapi nilai-nilainya masih bisa menampar kita hari ini. Terutama para pemuda yang ingin memimpin, tapi tak pernah membaca buku. Yang ingin didengar, tapi tak mau mendengar. Yang ingin dikagumi, tapi tak mau melayani.
Film Buya Hamka seharusnya tidak selesai di layar. Ia harus hidup di ruang-ruang kelas, di lorong-lorong organisasi mahasiswa, di pikiran-pikiran pemuda yang ingin membangun negeri tanpa menjual nurani.
Jika kita masih percaya bahwa bangsa ini pantas dipimpin oleh orang jujur, maka lihatlah Buya Hamka. Jika kita masih punya harapan bahwa politik bisa bersih, maka belajarlah dari sikapnya. Jika kita ingin menjadi pemimpin bukan karena ingin berkuasa, tapi karena ingin melayani, maka tanamkan satu kalimat: “Hamka tidak mati. Ia hidup di dada mereka yang setia pada kebenaran.”
Penutup
Dalam dunia yang bising oleh pencitraan, Buya Hamka mengajarkan keheningan. Dalam dunia yang haus akan kekuasaan, ia menunjukkan makna pengorbanan. Dan dalam zaman yang penuh tipu daya, ia hadir sebagai mercusuar: memberi arah, meski tak semua mengikuti.
Kita tidak sedang kekurangan pemimpin. Kita hanya kekurangan moralitas dalam kepemimpinan. Dan film Buya Hamka hadir untuk mengingatkan kita: bahwa pemimpin sejati bukan hanya yang mampu memimpin ribuan, tetapi yang mampu menaklukkan egonya sendiri.
“Kepemimpinan sejati lahir dari keteguhan, bukan kegaduhan.”– Buya Hamka (dalam narasi hidupnya)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
