Sering Dikasih Obat Sama Tetangga? Jangan Dulu Diminum Sebelum Baca Ini
Eduaksi | 2025-07-05 14:15:41"Duh Buu, anak saya lagi batuk dari kemarin, udah di bawa ke dokter tapi belum sembuh juga gmn yaa?”. “Coba kasih obat ini aja, Bu. Anak saya kemarin juga batuk, tapi setelah minum obat ini langsung sembuh, lho!”
Percakapan seperti ini sering kali terdengar di warung, posyandu, bahkan saat arisan. Niatnya tentu saja baik, ingin membantu sesama. Tapi siapa sangka, berbagi obat tanpa pengetahuan yang tepat bisa membawa resiko besar bagi kesehatan.Sayangnya, masih banyak masyarakat Indonesia yang menyimpan dan menggunakan obat secara sembarangan. Data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa 35,7% rumah tangga menyimpan obat keras, dan 27,8% menyimpan antibiotik tanpa resep dokter.
Ini bukan sekadar angka, tapi cermin bahwa literasi obat kita masih rendah.Bahkan dalam studi lain oleh Harahap dkk. (2017), disebutkan bahwa 40,6% masyarakat menggunakan obat secara tidak rasional saat melakukan pengobatan mandiri. Artinya, banyak orang minum obat tanpa mempertimbangkan hal penting seperti reaksi alergi, kondisi hamil atau menyusui, diet tertentu, atau riwayat penggunaan obat sebelumnya (Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2011).
Padahal, kesalahan kecil dalam penggunaan obat bisa berakibat besar. Dari efek samping ringan, sampai kerusakan organ yang tidak disadari. Dan yang paling berisiko? Anak-anak dan lansia, yang sistem tubuhnya jauh lebih sensitif.Berawal dari keprihatinan itu, kami mahasiswa D3 Keperawatan Fakultas Vokasi Universitas Airlangga, menggagas proyek pengabdian masyarakat bertajuk “Ibu Cerdas, Obat Tepat”. Kegiatan ini bukan sekedar penyuluhan satu arah, tapi sosialisasi interaktif kepada kelompok ibu-ibu PKK di Desa Singorejo, Kecamatan Kebomas, Gresik.
Mengapa ibu-obu? Karena merekalah yang paling sering menentukan obat apa yang diminum oleh anggota keluarganya. Maka, saat mereka paham soal penggolongan obat, dampaknya akan menyebar ke seluruh rumah tangga. Kami tidak datang dengan hanya membawa slide dan bicara. Kamu menyiapkan papan obat interaktif, yang berisi gambar, warna, dan contoh obat dari setiap golongan. Mulai dari:
- Obat bebas (lingkaran hijau),
- Obat bebas terbatas (lingkaran biru)
- Obat keras (lingkaran merah dengan huruf K),
- hingga narkotika, fitofarmaka, OHT, dan jamu.
Ibu-ibu diajak ikut menebak, mencocokkan, dan berdiskusi. Tidak sedikit yang awalnya bingung, namun antusias begitu tahu bahwa tiap warna di kemasan punya arti dan peringatan penting.“Ternyata warna merah tuh nggak bisa sembarangan di minum ya, nduk?”, komentar dari salah satu peserta.Selain membawa papan obat interaktif, kami juga membagikan e-magazine, yang bisa dibaca ulang dirumah atau dibagikan ke tetangga.Yang menarik, ibu-ibu PKK ternyata sangat aktif dan ingin tahu. Banyak yang bercerita bahwa mereka sering menyimpan antibiotik dari resep lama, atau memberikan obat dewasa ke anak-anak tanpa berpikir panjang. “Biasanya saya kira kalau cocok di anak saya, ya pasti cocok juga di keponakan,” kata salah satu peserta. Melalui sosialisasi ini, mereka mulai paham bahwa satu obat tidak bisa cocok untuk semua orang, dan ada perbedaan besar antara nama dagang dan nama generik. Kami juga mengenalkan prinsip DAGUSIBU (Dapatkan, Gunakan, Simpan, Buang obat) yang sangat penting untuk penggunaan obat yang aman di rumah.Pengalaman kami membuktikan bahwa edukasi kesehatan tidak harus mahal atau rumit. Cukup dengan datang, mendengar, dan berdialog langsung dengan masyarakat, dampaknya bisa besar. Program “Ibu Cerdas, Obat Tepat” bukan hanya memberi informasi, tapi memberi kesadaran dan rasa percaya diri bagi ibu-ibu untuk menjadi agen perubahan di lingkungannya. Beberapa bahkan bilang ingin meneruskan sosialisasi ini ke arisan RT mereka.
Jadi, sekarang masih mau minum obat dari tetangga?Mungkin rasanya "nggak enak nolak", tapi kesehatan tetap harus jadi prioritas. Obat yang cocok untuk satu orang belum tentu aman untuk orang lain. Mulailah lebih hati-hati: Baca label obat, pahami tanda warna pada kemasan, gunakan hanya jika sesuai aturan, dan yang terpenting, jangan ragu bertanya ke tenaga kesehatan. Karena kadang, satu tablet yang salah bisa mengubah banyak hal.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
