Membaca Gaya Hidup Elit dan Sosialita Indonesia dari Perspektif Bourdieu
Gaya Hidup | 2025-07-05 12:07:20Mengapa gaya hidup elit dan sosialita Indonesia tak pernah mati dan selalu mendominasi ruang sosial ? Pierre Bourdieu mengemukakan bahwa masyarakat tidak pernah statis, melainkan selalu menjadi arena perjuangan kekuasaan dan status baik di antara kelas-kelas sosial maupun di dalamnya sendiri. Struktur kelas tidak hanya ditentukan oleh aspek produksi seperti pendapatan, pekerjaan, atau pendidikan, tetapi juga variabel lain seperti distribusi geografis, rasio gender, dan asal-usul etnis. Pertarungan sosial ini berlangsung dalam apa yang ia sebut sebagai ruang sosial yaitu sebuah medan relasi yang diatur oleh kepemilikan dan akses terhadap berbagai bentuk modal seperti modal ekonomi, modal budaya, dan modal sosial.
Fokus utama Bourdieu sebenarnya tertuju pada kelas dominan dan fraksi-fraksinya karena di sanalah pertarungan untuk kekuasaan dan dominasi kultural tampak paling tajam. Kelas dominan memonopoli budaya yang sahih. Mereka mendefinisikan selera yang pantas dan gaya hidup yang dianggap unggul. Sementara itu, kelas-kelas lain senantiasa berusaha mempromosikan preferensi budaya mereka sendiri, berjuang agar selera mereka diakui dan diterima sebagai standar yang sah. Pertarungan simbolik ini membuat gaya hidup terus berubah, menjadi semacam permainan simbol di berbagai bidang seperti musik, seni, teater, dan sastra.
Inti dari perjuangan simbolik tersebut menurut Bourdieu adalah persoalan selera. Perebutan untuk menetapkan selera yang sah bukan hanya soal preferensi pribadi, melainkan peneguhan status sosial. Selera yang benar dan gaya hidup yang tepat menjadi simbol kekuasaan dan status. Ruang sosial gaya hidup pun tersusun menurut logika kekuasaan yaitu kelas dan fraksi yang lebih berkuasa menetapkan agenda gaya hidup. Meskipun Bourdieu menolak cap determinisme, perspektifnya mengungkap bagaimana will to power ala Nietzsche menjadi prinsip yang menentukan relasi sosial dan wacana gaya hidup.
Dalam kerangka teori Bourdieu, perkembangan habitus dan gaya hidup individu hanya bisa dipahami jika ditempatkan dalam medan relasi kekuasaan tertentu. Identitas pribadi dan keaslian pada akhirnya adalah konstruksi yang semu. Dorongan untuk membedakan diri justru menjadi bagian dari permainan kekuasaan yang lebih besar. Bourdieu (1984) menulis bahwa kategori-kategori seperti budaya tinggi versus budaya menengah hanya bisa eksis lewat hubungan timbal-balik, termasuk kerja sama objektif antara institusi produksi budaya dan klien yang mengkonsumsinya.
Bourdieu juga menggarisbawahi relasi penting antara menjadi dan tampak dalam medan simbolik. Hal ini serupa dengan gagasan tentang symbolic democratization yaitu upaya untuk merebut legitimasi simbolik melalui gaya yang tampak alami versus yang terlihat dibuat-buat. Ia menunjukkan bahwa strategi berpura-pura atau membangun ilusi simbolik bukanlah hal remeh atau imajiner semata. Justru, realitas sosial sebagian besar dibentuk oleh pertarungan untuk mendefinisikan posisi seseorang di dalam dunia sosial. Dalam proses ini, kelompok seperti borjuis pinggiran memainkan peran penting.
Kelompok borjuis pinggiran berada dalam kontradiksi yang secara objektif mereka berada pada kondisi yang terdominasi, tetapi mereka berupaya meniru dan mengadopsi nilai-nilai serta gaya hidup kelas dominan. Mereka terobsesi pada konsumsi simbolik dan penciptaan citra diri yang khas. Upaya ini bukan hanya soal konsumsi barang-barang tertentu, melainkan juga tentang memodifikasi cara pandang masyarakat terhadap hierarki dan klasifikasi status. Mereka berusaha mengubah posisi dalam tatanan sosial lewat representasi yang diolah dengan cermat.
Senada dengan Bourdieu, Mike Featherstone menyoroti munculnya kelompok new cultural intermediaries yaitu kelas menengah baru yang bekerja memproduksi dan mendistribusikan barang serta jasa simbolik. Mereka termasuk para profesional di bidang pemasaran, iklan, hubungan masyarakat, jurnalisme gaya hidup, penyiaran, hingga terapis. Mereka berfungsi sebagai pahlawan baru budaya konsumen yang menjadikan gaya hidup sebagai proyek hidup terbuka, mempopulerkan pengalaman dan identitas baru, serta memperluas medan simbolik dengan cara melegitimasi aspek non-intelektual seperti olahraga, musik populer, dan fesyen (Rosengren, 1994).
Alhasil, ruang sosial dan simbolik yang mengatur gaya hidup dan identitas diri elit dan sosialita di Indonesia selalu dibayangi oleh will to power seperti yang dinyatakan Nietzsche. Dunia yang dilihat dari dalam hanyalah kehendak untuk berkuasa. Permainan identitas pada akhirnya adalah permainan status. Bourdieu berusaha membongkar struktur dan relasi kekuasaan yang kerap tak terlihat, menunjukkan bahwa gaya hidup bukan hanya ekspresi diri, melainkan strategi pengakuan dan peneguhan status sosial. Budaya dan identitas selalu dibentuk oleh struktur kekuasaan yang kompleks dan dinamis.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
