Apakah Anak Muda Masih Peduli Budaya?
Lifestyle | 2025-12-31 12:15:36
Budaya sering kali diposisikan sebagai sesuatu yang “lama”, kaku, dan tidak relevan dengan kehidupan anak muda masa kini. Tari tradisional dianggap kalah menarik dibanding dance K-pop, bahasa daerah terasa kurang keren dibanding slang internasional, dan upacara adat dianggap terlalu ribet untuk diikuti. Tak heran jika kemudian muncul anggapan bahwa generasi muda mulai menjauh dari budayanya sendiri.
Namun, benarkah anak muda benar-benar tidak peduli budaya? Atau justru cara mereka mengekspresikan kepedulian itu yang berubah?
Jika ditilik lebih dalam, perubahan zaman memang memengaruhi cara generasi muda memandang budaya. Mereka hidup di era digital, di mana segala sesuatu bergerak cepat dan visual menjadi segalanya. Budaya yang tidak mampu beradaptasi dengan pola komunikasi baru ini perlahan tersisih, bukan karena ditolak, melainkan karena tidak hadir di ruang yang sama dengan anak muda.
Di sisi lain, banyak anak muda yang sebenarnya peduli, tetapi tidak selalu mengekspresikannya dalam bentuk yang konvensional. Mereka mungkin tidak datang ke sanggar budaya atau mengikuti upacara adat secara rutin, tetapi aktif memperkenalkan budaya lewat media sosial.
Kita bisa melihat bagaimana tarian tradisional dikemas ulang di TikTok, lagu daerah di-remix dengan sentuhan modern, hingga pakaian adat yang dipadukan dengan gaya kekinian. Ini bukan bentuk pengabaian, melainkan adaptasi.
Sayangnya, upaya-upaya ini sering kali dipandang sebelah mata. Anak muda dianggap “merusak pakem”, padahal mereka sedang berusaha menjembatani budaya dengan realitas zamannya. Di sinilah sering terjadi benturan antargenerasi. Generasi sebelumnya ingin budaya dijaga secara utuh, sementara generasi muda ingin budaya tetap hidup dengan cara yang relevan.
Masalahnya bukan pada kurangnya kepedulian, tetapi pada minimnya ruang dialog. Anak muda jarang dilibatkan dalam proses pelestarian budaya secara aktif. Mereka lebih sering dijadikan penonton daripada pelaku. Akibatnya, budaya terasa seperti milik masa lalu, bukan sesuatu yang bisa mereka bentuk dan kembangkan.
Selain itu, sistem pendidikan juga punya peran besar. Pembelajaran budaya sering kali hanya bersifat teoritis dan hafalan. Siswa diminta mengingat nama tarian, rumah adat, atau pakaian tradisional, tanpa diajak memahami makna dan nilai di baliknya. Budaya pun terasa jauh, membosankan, dan tidak membumi. Padahal, jika dikemas dengan pendekatan yang lebih kontekstual, budaya bisa menjadi ruang ekspresi yang menarik.
Di tengah tantangan itu, muncul harapan dari kreativitas anak muda itu sendiri. Banyak komunitas muda yang mulai menghidupkan kembali budaya lokal lewat festival, konten digital, hingga kolaborasi lintas bidang. Mereka membuktikan bahwa budaya tidak harus selalu sakral dan kaku, tetapi bisa hadir dengan cara yang lebih dekat dan relevan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kepedulian anak muda terhadap budaya tidak hilang, hanya bergeser bentuknya. Mereka tidak lagi menjaga budaya dengan cara lama, tetapi dengan bahasa zamannya sendiri. Sayangnya, perubahan ini sering disalahartikan sebagai bentuk ketidakpedulian.
Pertanyaannya kemudian bukan lagi “apakah anak muda peduli budaya?”, melainkan “apakah kita memberi mereka ruang untuk peduli?”. Budaya tidak akan bertahan jika hanya dijaga oleh segelintir orang atau dipaksa tetap sama di tengah perubahan zaman. Budaya justru hidup ketika ia bisa tumbuh, beradaptasi, dan diteruskan dengan cara yang relevan.
Anak muda hari ini hidup di dunia yang penuh tekanan: tuntutan ekonomi, sosial, hingga identitas diri. Jika budaya ingin tetap hidup di tengah kondisi itu, maka pendekatannya juga harus lebih inklusif dan terbuka. Bukan dengan menyalahkan, tetapi dengan mengajak. Bukan dengan menggurui, tetapi dengan berkolaborasi.
Pada akhirnya, kepedulian terhadap budaya tidak selalu terlihat dari seberapa sering seseorang mengenakan pakaian adat atau mengikuti upacara tradisional. Kepedulian bisa hadir dalam bentuk apresiasi, kreativitas, dan keinginan untuk mengenalkan budaya kepada dunia dengan caranya sendiri.
Mungkin, yang perlu kita lakukan sekarang bukan mempertanyakan kepedulian anak muda, melainkan belajar memahami cara mereka mencintai budaya di zamannya. Karena budaya yang hidup bukanlah budaya yang dibekukan, melainkan yang terus bergerak bersama generasi penerusnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
