Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image apipah khoirunnisa

Lelang Aset Koruptor: Antara Keadilan Negara dan Nilai Islam

Agama | 2025-07-04 20:22:43

Illustration by Freepik.com

Beberapa waktu lalu–tepatnya pada tanggal 11 Juni 2025 di akun Tik-Tok ANTARANEWS.COM– publik kembali dihebohkan dengan lelang barang-barang mewah hasil rampasan KPK terhadap koruptor, diantaranya mobil Lamborghini, tas Louis Vuitton, hingga rumah-rumah bernilai miliaran rupiah. Negara melalui KPK dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) rutin menyita aset hasil kejahatan korupsi dan melelangnya sebagai upaya untuk memulihkan kerugian negara. Tidak sedikit masyarakat Indonesia tergiur dengan harga miring lelangan dengan merk branded.

Secara hukum negara pelangan ini dianggap sah sesuai dengan undang-undang yang disahkan oleh mantan Presiden Joko Widodo mengenai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2021 tentang Lelang Benda Sitaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Hal ini sah dan bahkan diharapkan sebagai bentuk pemulihan aset (asset recovery). Namun, muncul kegelisahan bagi masyarakat muslim mengenai hukum jual beli barang hasil korupsi. Serta bagaimana pandangan Islam dan tinjauan moral jika ikut andil menikmati barang koruptor meskipun lewat jalur lelang barang.

Antara Legalitas dan Etika

Dalam praktik fikih muamalah, hukum jual beli adalah mubah, selama tidak ada unsur keharaman dalam zat maupun prosesnya. Namun dalam kasus ini, dilime etis bukan muncul karena barangnya, melainkan karena asal-muasal kepemilikannya yang didapatkan dari hasil korupsi.

Disinilah letak ketegangan yang mencuat di masyarakat, letak ketegangan antara legalitas dan etika. Apa yang sah menurut hukum negara, belum tentu bisa diterima oleh hati nurani. Negara memang memiliki dasar hukum untuk melelang barang rampasan dari para koruptor sebagai bentuk pemulihan negara. Namun, terbesit di hati publik pertanyaan: benarkah kita merasa tenang memiliki barang mewah yang dulu dibeli oleh uang hasil merampok rakyat?

Etika Islam memandang bahwa harta haram tidak serta merta menjadi halal hanya karena berpindah tangan melalui proses hukum. Dalam banyak pendapat ulama, harta hasil kezaliman harus dikembalikan kepada pemilik sahnya atau digunakan untuk kepentingan umum, bukan diperjualbelikan secara komersial.

Maka, perdebatan ini bukan soal kepatuhan pada hukum semata, tetapi juga soal keberpihakan pada nilai-nilai moral yang lebih dalam. Sebab hukum tanpa etika bisa melahirkan kebijakan yang dingin, kaku, dan kehilangan sisi kemanusiaannya. Sementara etika tanpa hukum bisa menjadi kabur dan tidak operasional. Keseimbangan keduanya penting agar keadilan tidak hanya tercapai secara prosedural, tetapi juga esensialnya.

Harta dalam Perspektif Islam: Lebih dari Soal Legalitas

Sejak awal, Islam telah menegaskan terhadap segala bentuk harta yang diperoleh secara tidak sah atau gharar (barang tidak jelas). Seperti harta yang diperoleh dengan cara yang zalim layaknya perilaku korupsi. Barang yang dihasilkan dari cara seperti itu tentu sangat dilarang oleh Allah Swt. Ayat berikut sebagai peringatan Allah terhadap makhluk-Nya tentang harta yang haram tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 188, Allah berfirman dengan jelas:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ.

"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil."

Dalam kitab tafsir Qur’an Jalalain dijelaskan maksud dari ayat tersebut adalah harta yang diperoleh dengan jalan yang haram menurut syariat Islam (bathil), misalnya mencuri, mengintimidasi, bahkan korupsi, dan lain-lain. Islam tentu sangat menegaskan hal demikian. Betapa seriusnya Islam dalam menjaga integritas harta dan keadilan sosial. Barang haram bukan hanya soal transaksi, tapi juga menyangkut tentang keberkahan dan tatanan moral masyarakat.

Islam selalu mengajarkan tentang kebaikan dan mengajarkan bagaimana cara memperoleh harta dengan jalan yang baik. Jual beli dihalalkan dalam Islam, sehingga menjadi cara baik bagi kita untuk memperoleh harta atau kekayaan. Prinsip kebaikan ini ditegaskan dalam sabda Nabi:

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا.

“Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim)

Dalam hadis tersebut mengandung pesan bahwa segala bentuk amal dan pemberian yang diterima oleh Allah harus berasal dari sumber yang baik dan halal. Allah itu Maha Suci, tidak akan menerima sesuatu yang kotor dan haram, sekalipun tampak besar atau mengesankan di mata manusia. Hadis ini jadi pengingat penting bahwa keberkahan amal sangat ditentukan oleh kehalalan rezeki. Sebab setiap rezeki baik yang masuk ke dalam perut kita atau bahkan hanya berupa harta sekalipun tetap harus diperoleh dengan cara yang baik dan halal. Setiap muslim dituntut untuk menjaga segala bentuk keraguan dari ketidakbaikan yang akan menyebabkan buruknya hubungan seorang hamba dengan Allah dan hubungan terhadap sesama.

Antara Zat Barang dan Cara Memperolehnya

Namun, dalam fikih–terutama mengenai lelang barang rampasan korupsi–ulama memberikan perbedaan penting mengenai zat barang yang memang asalnya adalah halal dan cara memperolehnya. Dalam kasus seperti ini hukum barang asal seperti mobil, tas, atau rumah–zat barangnya pada dasarnya halal. Yang membuatnya menjadi haram adalah kezaliman koruptor dalam memperolehnya sehingga terhukumi cara seperti itu adalah cara yang batil. Nabi Saw.pernah menyampaikan dalam hadis yang cukup terkenal :

“Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan diantara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya) ” (HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir).

Namun, menurut pandangan mayoritas ulama, jika barang rampasan korupsi itu telah disita secara sah oleh negara dan dilelang untuk mengembalikan kerugian publik, maka status kepemilikannya berubah menjadi halal. Sebab pelelangan barang rampasan korupsi sebagaimana tercantum di media HukumOnline.com tentang ketentuannya. Jika berdasarkan prinsip maslahah (kemaslahatan) dan kaidah umum dalam muamalat yang menyatakan:

“Al-ashlu fil asy-ya’i al-ibahah” – Hukum segala sesuatu dasarnya mubah, kecuali ada dalil yang melarangnya.

Etika Konsumen Muslim: Tidak Sekadar Legal

Dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, negara tidak hanya menjatuhkan hukuman badan, tetapi juga melakukan penyitaan dan pelelangan atas harta hasil kejahatan. Melalui lembaga seperti KPK dan DJKN, barang-barang mewah milik koruptor – mulai dari mobil, rumah, hingga barang koleksi pribadi–dilelang secara terbuka kepada publik. Dari sisi hukum positif dan fikih muamalah, transaksi lelang ini sah dan diperbolehkan. Namun, di luar soal hukum, muncul pertanyaan yang lebih mendalam, bagaimana dengan sisi etis kita sebagai masyarakat yang notabene korban dari kejahatan para koruptor tersebut?

Tindakan koruptor yang kerap digaungkan oleh masyarakat tentang kezalimannya. Apakah membeli barang-barang tersebut seperti simbol menghidupkan kembali memori kezaliman mereka? Atau mungkin meniatkannya untuk membantu pemulihan keuangan negara? Tentu tanpa menggaungkan asal pendapatan barang tersebut.

Ini menjadi pertanyaan yang harus dijawab oleh masing-masing individu dengan pertimbangannya pribadi setelah melihat bagaimana hukumnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image