Di Balik Palu yang Diketuk
Politik | 2025-07-04 14:13:20
Kerumunan awan kelabu menutupi matahari pagi itu. Pras berjalan ke teras, bersenandung kecil sambil menyiapkan barang jualannya dalam sebuah keranjang. Deretan mainan ukiran yang dibuatnya semalam telah siap. Hari itu Pras akan berjualan di depan sekolah dasar dekat rumahnya. Ia tak ingin terlalu jauh dari rumah karena ibunya sedang sakit sejak kemarin. Pras menaruh keranjang di sepedanya, lalu berpamitan kepada ibunya dan segera beranjak pergi, meninggalkan ibunya di rumah dalam keadaan sedikit khawatir.
Pras memulai perjalanan, menyapa beberapa tetangga yang ada di depan rumah mereka. "Pagi, Ibu," ujar Pras sambil membunyikan bel sepedanya. "Pagi, Pras! Hati-hati di jalan, ya..." ujar salah satu tetangga tersebut. Pras mengayuh sepeda hingga terlihat gapura berwarna merah bertuliskan "SD CAHAYA BARU" dengan gerbang hitam yang masih tertutup. Pagi itu Pras sampai sedikit lebih pagi dari biasanya. Pada ponselnya, jam menunjukkan pukul 09.45. Pras harus menunggu hingga pukul 10.00, karena pukul 10.00 merupakan jam istirahat anak-anak di sana, sehingga mereka baru bisa keluar melewati pagar di jam tersebut.
Bel berbunyi tepat pukul 10.00, gerbang hitam itu telah dibuka. Anak-anak berkerumun keluar melewati pagar hitam itu. Beberapa menenteng tas, beberapa hanya membawa dompet berwarna terang, seperti salah satu anak yang mendatangi tempat Pras berada. "Mas, ini berapa?" tanya anak dengan dompet merah muda terang itu. "Ini Rp5.000 saja. Kamu mau? Bisa jadi hadiah lho... buat Ibu kamu," ujar Pras sambil tersenyum. "Oh, iya! Ibuku hari ini ulang tahun. Aku mau satu ya, Mas," ujar anak itu sambil meraih uang dari dompetnya. Pras memberikan mainan ukirannya kepada anak tersebut sambil mengucapkan terima kasih, kemudian menerima uangnya.
Tak lama kemudian, Pras yang sedang istirahat melihat ke arah jalan raya di depan sekolah itu. Terlihat mobil hitam pekat mengkilat melewati jalan raya. Dalam hatinya, Pras mengagumi mobil tersebut dan berharap suatu saat dapat membelikannya untuk sang ibu. Matahari yang mulai turun membuat Pras membereskan barang-barang sisa jualannya. Ia sempat berputar-putar sebentar mencari pelanggan. Sebelumnya, ia sempat pulang terlebih dahulu untuk menemui ibunya, memberi makan serta obat, dan menunaikan shalat. Setelah itu, ia kembali ke sekolah tempat ia terakhir berjualan. Setelah melihat langit yang semakin gelap, ia segera kembali ke rumah.
"Tok tok, assalamualaikum, Ibu," ujarnya sambil mengetuk pintu rumah, kemudian membuka pintu sambil membawa sisa barang jualannya. Setelah menaruh barang-barangnya, ia segera membersihkan diri dan mengganti bajunya. Beberapa menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi, mengambil air wudu, lalu segera menunaikan salat Magrib. Setelah salat Magrib, Pras memasak dua telur, satu untuknya dan satu untuk ibunya. Setelah memasak telur, ia menyiapkan dua piring, dan segera menaruh telur yang dimasak di atas piring tersebut. Ia segera memberikan piring tersebut untuk ibunya dan dirinya. Mereka makan bersama sambil mengobrol santai seputar dagangannya pagi itu.
"Pras, hari ini dapat berapa?" tanya Ibu. Pras menjawab, "Alhamdulillah, Bu, banyak yang senang dengan mainan Pras kali ini. Lumayan, Bu, sisa empat saja dari sepuluh." ujar Pras. Ibu mengangguk sambil tersenyum. "Anakku, kamu memang paling Ibu banggakan. Insyaallah Ibu bisa kuliahkan kamu..." ujar Ibu. "Ibu? yang benar, Bu?" ujar Pras dengan mata berbinar-binar. Kali ini ia tidak bisa memendam perasaan bahagianya. "Orang yang berhutang sama Ibu kemarin telah mengembalikan uangnya, Nak," ujar Ibu sambil mengusap wajah Pras. Pras yang terharu langsung memeluk ibunya. "Terima kasih ya, Bu. Pras sayang sekali sama Ibu." ujarnya sambil meneteskan air mata. Kehangatan Ibu dan Pras membuat rumah menjadi lebih berwarna malam itu. Pras berharap ia akan selalu membanggakan ibunya.
Setelah saling berpelukan malam itu, adzan Isya terdengar menggema di sekitar kompleks perumahan Pras. Setelah mendengar adzan tersebut, Pras izin pamit kepada ibunya untuk segera pergi ke masjid guna shalat berjamaah. Pras bertemu beberapa tetangganya yang sama-sama ingin menuju ke masjid. Selesai shalat, Pras berdoa kepada Allah Swt. agar kehidupan dia dan ibunya selalu dimudahkan. Dan tidak lupa berterima kasih kepada Allah karena telah memberikan kesempatan untuknya kuliah.
Setelah berdoa, Pras langsung berjalan keluar dari masjid. Sambil mengenakan sandal, ia bertemu teman sebangkunya dulu saat masih bersekolah. "Eh, Pras? Bagaimana kabarmu?" tanya orang tersebut. Pras melihat ke arah sumber suara. "Halo, Aris, lama tidak bertemu ya? Alhamdulillah aku baik, kamu sendiri bagaimana?" ujarnya. Mereka yang tadinya sudah ingin berjalan pulang akhirnya duduk kembali di depan serambi masjid.
"Alhamdulillah aku juga baik. Ngomong-ngomong, kamu mau kuliah?" tanya Aris. "Insyaallah, Ris, doakan ya," ujar Pras. Setelah itu mereka bercengkrama sekadar melepas kerinduan mereka di masa sekolah dulu. Pras memutuskan untuk pulang setelah puas mengobrol dengan Aris. Aris pun begitu, karena dia harus menyelesaikan tugas dari lesnya. Pertemuan singkat itu membuat Pras kembali mengingat-ingat kenangan indah saat ia masih bersekolah dahulu. Sedangkan sekarang, ia harus mencoba mencukupi kehidupannya dan ibunya.
Tapi ia tetap bersyukur atas apa yang ia punya. Di perjalanan pulang, ia melihat kucing di tengah jalan sehingga ia mencoba mengusir kucing tersebut agar tidak berada di tengah jalan. "Hus hus, Meng, jangan di tengah jalan, Meng," ujarnya sambil mengusir kucing tersebut. Pras tak sadar jika tubuhnya juga ikut semakin ke tengah. Semburat lampu jauh terpantul ke tubuhnya. Pras menengok ke arah semburat lampu itu, namun yang Pras lihat adalah mobil yang sedang berjalan cepat menuju dirinya. BRAK! Pras tak sadarkan diri. Dalam pikirannya, ia mengidam-idamkan kehadiran ibunya dan juga kampus yang ia inginkan. Malam yang dipenuhi kehangatan tersebut menjadi malam terdingin dan terpilu bagi ibunya. Pras meninggal di tempat.
Di sisi lain, hadirlah anak laki-laki bertubuh semampai mengenakan kaos wangki hitam dengan topi bermerek Polo Ralph Lauren, sedang berjalan keluar dari mobil hitam pekat mengkilat miliknya. Ia telah disambut oleh beberapa anak laki-laki lain yang terlihat menunggunya di depan pintu restoran. "Soni, ayo! Lama banget sih kamu," ujar salah satu dari beberapa anak yang menunggu di depan resto itu. Tidak lama, mereka memesan beberapa makanan dan minuman lalu mencari tempat duduk untuk tiga orang.
Anak yang bernama Soni itu membuka suara. "Guys, aku tadi mencoba golf di Permata, ternyata enak juga, haha," celetuknya. "Ya memang enak, nyaman pula, tidak ada orang FOMO, haha," celetuk teman di depannya. "Bim, kamu omongannya jahat sekali sih, hahaha," ujar teman satunya. Obrolan semakin asyik dan tak terasa makanan serta minuman yang mereka pesan sudah tiba. Malam itu mereka sangat menikmati waktu dengan saling bercanda dan bercengkrama satu sama lain.
Salah satu dari mereka tiba-tiba nyeletuk, "Guys, enak gak sih kalau malam ini kita minum? Hahaha, gas kan?" ujar salah satu dari mereka. Dua di antara mereka hanya tersenyum kecil sambil melanjutkan makan sampai selesai. Tiga anak laki-laki tersebut kemudian membayar pesanan mereka masing-masing, lalu ketiganya berjalan ke arah mobil yang dikendarai Soni malam itu. Soni menyetir, dan dua temannya duduk di samping serta kursi belakang penumpang. Malam itu mereka ingin menuju ke biliar yang memiliki bar di dalamnya.
Mereka pun sudah tahu tujuan mereka. Mereka sampai di sana dan langsung memarkirkan mobil. Mereka langsung masuk mencari bar yang mereka cari. Tak terasa nafsu langsung membutakan mereka. Malam itu Soni dan dua temannya langsung memesan satu botol wiski. Soni yang tidak sabar tiba-tiba langsung merebut botol tersebut dan meneguknya dengan banyak. "Woi, woi, Son, santai aja kali, hahaha, ada yang stres nih kayaknya," ujar salah satu dari teman Soni. Tapi Soni tidak terpengaruh. Ia mulai terombang-ambing sambil memesan minuman lainnya, yaitu arak. Tidak ada yang tahu mengapa Soni bisa sangat gila di malam itu.
Kesalahan yang mereka tidak tahu adalah, itu masih pukul 09.00. Sehingga ketika ketiganya sudah mabuk, mereka pun bingung siapa yang bisa menyetir. Setelah memutuskan untuk tidur sebentar sampai pukul 22.00. Akhirnya mereka memutuskan untuk berjalan pulang, karena tahu orang tua mereka masih mencari mereka jika melewati pukul 22.00. Di jalan, mereka terkena macet arus pulang kantor. Karena kewalahan dan merasa frustasi, akhirnya mereka menggunakan jalan lain melewati kompleks-kompleks di sekitar jalan raya tersebut.
Dalam perjalanannya tersebut, mereka bertiga pun masih tidak begitu sadar, sehingga seringkali di klakson oleh mobil di belakang mereka. Mereka yang acuh hanya saling tertawa. "Hahaha, mobil gila itu," ujar salah satu mereka. Sebelum mereka sadar bahwa di depan mereka ada seseorang yang sedang mencoba mengusir kucing karena berada di tengah jalan. Tidak ada hitungan menit, mobil hitam pekat itu menabrak orang tersebut hingga terseret lebih dari lima meter. Mereka bertiga tersentak kaget, dan langsung kabur tanpa mencoba menolong orang tersebut. Dalam kemudinya, mereka mulai was was atas apa yang mereka lakukan.
"Woi, Soni, goblok! itu anak orang bego," salah satu dari mereka memulai pembicaraan. "Aduh, ini gila banget, hahaha," Soni menjawab setengah sadar. "Son, sadar dulu, bego!" ujar temannya sambil menoyor kepala Soni. Malam yang diharapkan bahagia malah semakin hancur di kepala Soni.
Mentari memunculkan tubuhnya. Terdengar gedoran seseorang dari depan pintu kamar. "Dok dok dok, Soni, bangun, Soni!" ujar seseorang. Soni yang merasa terganggu langsung bangkit dan membuka pintu kamarnya. Terlihat seorang pria berbadan tegap dengan raut wajah tua di depan pintu kamarnya. "SONI, KAMU NGAPAIN LAGI, SONI?!" teriaknya di depan muka Soni. "Pah, plis, Pah, kali ini tolong Soni, Pah," ujar Soni sambil memelas. Orang yang ternyata adalah bapak Soni, mulai merasa kesal dan frustasi atas perilaku anaknya itu.
"Soni, yang kamu tabrak itu meninggal, Soni! Papah bingung harus bagaimana lagi, Soni..." ujar Bapaknya. Soni termenung dan menunduk. Pagi itu, rumah yang biasanya sepi dan sunyi tiba-tiba penuh dengan banyak percakapan. Ibunya Soni datang menghampiri anaknya. "Soni, Mama bilang apa? Kenapa sih susah dibilangin?!" ujar Mamanya sambil menangis. Soni bingung harus melakukan tindakan apa lagi. "Mah! Jangan salahkan Soni! Salahkan dia yang berjalan tidak melihat pengemudi mobil di jalanan!" Teriak Soni sambil langsung berjalan menuju Bapaknya. "Pah, kali ini ya, Pah," ujar Soni memelas.
Siang itu Soni dan bapaknya menuju rumah salah satu teman bapaknya. Kemudian mereka bercengkerama sebentar, dan bapak dari Soni itu mengeluarkan amplop kuning yang ia berikan kepada temannya. Dengan muka puas, teman bapak Soni ini mengangguk sambil izin untuk masuk ke rumah kembali. Soni dengan raut wajah tanpa bersalah itu hanya melihat kegiatan itu biasa saja. Seperti hal yang memang sudah normal di hidupnya. Beres dari rumah teman bapaknya, Soni kembali ke rumah dan berusaha bersikap normal, kemudian melanjutkan bermain PS bersama teman-temannya di rumahnya. Siang itu dia terlihat biasa saja dan tetap percaya diri bahwa dia tidak akan terkena jeratan penjara.
Polisi meneliti siapa dalang di balik kematian Pras, namun tidak kunjung ditemukan, seperti memang sengaja disembunyikan. Malam kemarin, Ibu Pras menemukan anaknya sudah tergeletak tak bergerak, dikelilingi warga yang mengelilingi jasad anaknya. Sesak dan pilu bercampur jadi satu, tak tahu bagaimana rasanya ketika diutarakan. Bukan lagi tangis yang bisa Ibu Pras keluarkan dari dirinya. Ia masih tidak menyangka anak kebanggaannya itu meninggalkan dirinya sendiri tanpa pamit. Ia masih merasakan pelukan anaknya malam itu sebelum ia pamit ingin pergi ke masjid.
Pedih dan perih bercampur jadi satu, sampai tak terasa Ibu Pras tidak sadarkan diri dan tertidur bersama anaknya. Dalam gelapnya malam, Ibu Pras bermimpi dapat menggendong anaknya kembali seperti saat masih kecil, dan membawanya membeli apa yang ia mau. Tapi itu hanyalah mimpi yang tidak akan ada kelanjutannya. Ibu Pras bangun tergesa-gesa mencari kehadiran anaknya. Namun, ketika ia bangun, rumahnya telah dikerumuni tetangga dan orang-orang yang berusaha merangkul Ibu Pras. Ibu Pras kembali menangisi kepergian putranya yang ada di depannya. Warga berusaha menemani Ibu Pras dan mendoakan yang terbaik untuk anaknya. Pras telah dibawa kembali dari rumah sakit semalam. Ibu Pras tidak sadarkan diri sehingga yang membawa Pras adalah warga dan tetangga sekitarnya. Jenazah Pras telah ditutupi kain. Ibu tak kuasa melihat anaknya yang semakin kaku. Tubuh Pras semakin dingin dan membiru. Orang tua mana yang tidak pilu melihat anak yang ia lahirkan dan besarkan sendirian, sekarang tidur nyenyak di dekapannya dengan kondisi kedinginan. "Cup-cup, Pras, anakku sayang. Kamu aman sama Ibu. Kamu sudah membanggakan Ibu, Pras," ujarnya lembut sambil membelai rambut anaknya. Tangisnya tidak dapat berhenti sepanjang hari itu.
Esoknya, awan mendung selalu berkumpul, menutup pagi hari. Pengadilan dibuka untuk mengadili tindak kejahatan seseorang. Bapak Soni datang membawa pengacaranya sambil menggandeng anak semata wayangnya, Soni. Mereka duduk berdampingan. Di ruang sidang yang ramai, mata masyarakat terpaku pada sosok remaja berseragam rapi Soni yang berjalan menuju kursi terdakwa. Ibu Pras telah duduk di kursi pengunjung, mengenakan kerudung kelabu yang telah basah oleh air mata. Suasana menegangkan terasa ketika hakim mulai membacakan tuntutan. Namun, saat pembacaan sidang memasuki sesi pembelaan, pengacara Soni dengan nada tenang menyodorkan "bukti meringankan"—dokumen palsu hasil rekayasa hukum—yang menyatakan bahwa malam kejadian Soni tidak berada di tempat kejadian perkara.
Tangisan meledak dari arah belakang ruang sidang. "Dia yang membunuh anakku! Dia!!" teriak ibunda Pras sambil berusaha berdiri, namun tubuhnya lunglai ditahan warga. Hakim tetap diam. Palu diketuk. "Mengingat bukti-bukti dan pertimbangan hukum, maka Soni dinyatakan... tidak bersalah." Seketika ruang sidang hening. Lalu gemuruh kemarahan publik membuncah. Di luar gedung, aksi massa mulai memadati jalanan. Nama Pras menjadi viral. Keadilan dipertanyakan.
Tapi di rumah mewah keluarga Soni, gelak tawa terdengar dari ruang tengah. Soni duduk santai bermain gim, tanpa rasa bersalah. Namun, di dalam dirinya mulai muncul bayang-bayang wajah Pras. Suara tangisan ibunya di sidang itu terus terngiang. Soni tidak menghiraukannya. Dia kembali bermain gim bersama teman-temannya. Kehidupannya seperti berjalan seperti biasanya. Ketika malam tiba, ia mulai merasakan tidak bisa tidur, tak tahu mengapa. Dia membuka ponselnya dan mulai melihat story-story teman-temannya. Dia membuka salah satu akun berita yang menyiarkan tentang kematian Pras. Dalam berita tersebut diperlihatkan bahwa Pras merupakan anak yang baik dan rendah hati kepada orang lain, sehingga menarik empati netizen untuk menyerang Soni. Soni melihat akun media itu sambil ketakutan, dan akhirnya memutuskan untuk menutup akun media sosialnya. Ternyata di sekitar rumahnya sudah banyak kertas dukungan yang berisi tulisan, "Semoga kau kekal di neraka bersama hakim yang kau bayar itu, Soni." Rasa tegang muncul di dalam diri Soni, dan ia segera kembali ke dalam rumah, menutup diri dari publik. Mungkin ia tidak akan mengaku, tetapi penyesalan akan selalu hidup di dalam dirinya, sampai mati. Di balik palu yang diketuk, kau hancurkan kebahagiaan seseorang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
