Beban Emosional Anak Sulung yang Tak Terlihat
Curhat | 2025-07-04 12:16:06
“Kamu kan kakaknya, masa enggak mau ngalah sama adiknya?”
Sekilas mungkin terdengar biasa saja. Tapi bagi sebagian anak sulung, kalimat itu terasa berat. Tak banyak yang tahu, menjadi anak pertama dalam keluarga sering kali berarti harus belajar kuat sebelum sempat benar-benar memahami arti kekuatan itu sendiri.
Di balik senyuman dan peran sebagai “panutan”, ada rasa lelah yang jarang diberi ruang. Anak sulung tak selalu ingin menjadi yang paling tangguh—terkadang mereka hanya ingin dimengerti, seperti yang lainnya. Tapi, adakah yang benar-benar peduli dengan isi hati seorang kakak?
Dewasa Sebelum Waktunya
Sejak kecil, anak sulung sering dijadikan panutan. Dianggap lebih tahu, lebih siap, lebih bisa. Padahal, siapa yang benar-benar bertanya-tanya apakah mereka siap?
Di usia yang seharusnya masih bebas bermain, mereka sudah dibebani tanggung jawab yang tidak ringan: menjaga adik, membantu orang tua, menahan keinginan sendiri demi keadaan keluarga. Bukan karena mereka mampu, tetapi karena dianggap paling bisa diandalkan.
Jika ada yang salah, kesalahan sering kali langsung diarahkan padanya. Dan ketika berhasil, dianggap memang sudah seharusnya begitu. Semua mengandalkan, tapi jarang yang benar-benar peduli apa yang ia rasakan.
Menangis Diam-Diam, Tersenyum di Depan Orang
Karena merasa harus kuat, anak pertama terbiasa menyembunyikan air mata. Mereka memilih diam saat ingin mengeluh, takut dikira manja atau tidak bersyukur. Karena sayang pada keluarga, mereka terbiasa menahan cerita—bukan karena tak ingin bicara, tetapi karena takut memperkeruh suasana.
Padahal, kuat bukan berarti tidak pernah letih. Hanya saja, mereka terlalu sering dipaksa menjadi tempat bersandar, tanpa tahu ke mana harus bersandar.
Saat Tak Ada yang Mengerti, Allah Selalu Hadir
Meski dunia sering abai, Allah tidak pernah meninggalkan. Dalam QS. Al-Baqarah: 286, Allah berfirman bahwa setiap beban yang diberikan pasti sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Itu bukan sekadar kalimat penghibur, tapi jaminan dari-Nya.
Menjadi anak sulung memang tidak mudah, tapi bisa menjadi jalan menuju pahala. Bukan karena tidak ada luka, melainkan karena di setiap kesabarannya ada nilai di sisi Allah.
Bahkan Rasulullah ﷺ pun pernah merasa lelah dan mengadu kepada Allah. Maka, tidak mengapa jika seorang kakak juga perlu dipeluk dan dikuatkan.
Karena Kakak Juga Butuh Ditanya: “Apa Kabar?”
Kakak bukan tokoh sempurna seperti dalam cerita. Mereka juga manusia biasa yang terkadang bingung, takut, atau sekadar ingin rehat.
Kalau kamu punya kakak, cobalah sesekali bertanya, “Kak, kamu capek nggak? Butuh cerita?” Dan kalau kamu adalah seorang kakak, tidak apa-apa kalau sesekali ingin menangis. Karena menjadi kuat bukan berarti harus menahan semuanya sendirian.
Terkadang, yang terlihat paling kuat justru yang paling butuh disapa. Jadi, yuk mulai hari ini, sesekali bertanya: “Kak, kakak baik-baik saja kan?”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
