Negara Tanpa Suara Rakyat: Ketika Demokrasi Hanya Jadi Seremoni
Politik | 2025-07-04 02:46:36
Setiap lima tahun sekali, rakyat diseru untuk datang ke TPS. Dengan semangat yang kadang penuh harapan, kadang setengah putus asa, mereka mencoblos wajah-wajah yang dijanjikan akan membawa perubahan. Namun setelah tinta ungu di jari mengering, suara itu seakan menguap begitu saja. Realitas politik hari ini mempertontonkan satu ironi besar: demokrasi tetap berjalan, tapi suara rakyat makin tidak terdengar.
Padahal, dalam teori dan konstitusi, demokrasi bukan sekadar sistem pemilu. Demokrasi adalah pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tapi jika partisipasi publik dibatasi pada bilik suara semata, tanpa keterlibatan lanjutan dalam proses pengambilan keputusan, maka demokrasi itu berubah menjadi seremoni kosong. Tampak hidup dari luar, padahal di dalamnya telah kehilangan jiwa.
Fenomena ini bukan sekadar dugaan, tetapi fakta yang terkonfirmasi dari banyak kejadian. Lihat saja bagaimana kebijakan strategis kerap diputuskan tanpa dialog publik yang memadai. Revisi undang-undang dilakukan dalam waktu singkat, tanpa transparansi dan partisipasi luas. Aspirasi rakyat yang disuarakan lewat unjuk rasa atau kanal digital acap kali diabaikan, bahkan tak jarang direspons dengan represi. Di titik inilah, rakyat bukan lagi subjek demokrasi, melainkan penonton dari pertunjukan kekuasaan.
Sosiolog George Ritzer menyebut fenomena ini sebagai “demokrasi yang ter-rasionalisasi”—di mana proses formal dijalankan dengan efisien, tapi kehilangan esensi substantifnya. Pemilu tetap berjalan, lembaga tetap berdiri, namun keputusan-keputusan negara dikuasai oleh elite politik dan ekonomi yang saling berkelindan dalam struktur oligarki. Demokrasi, dalam bentuk ini, justru melanggengkan kesenjangan kekuasaan.
Indeks Demokrasi Indonesia pun mencatat stagnasi. Laporan The Economist Intelligence Unit (2024) menempatkan Indonesia sebagai “flawed democracy” (demokrasi cacat), dengan skor yang terus menurun dalam aspek partisipasi politik dan kebebasan sipil. Ini bukan hanya angka statistik, tapi sinyal bahaya bagi masa depan negara. Demokrasi yang tidak menjamin keterlibatan publik secara bermakna berisiko kehilangan legitimasi dan membuka jalan bagi otoritarianisme terselubung.
Namun kritik ini tidak semata ditujukan pada penguasa. Kita, sebagai warga negara, juga harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita cukup sadar dan peduli terhadap arah bangsa? Apakah kita hanya aktif saat pemilu, lalu kembali diam setelahnya? Demokrasi membutuhkan warga yang kritis, aktif, dan berani menyuarakan pendapat. Ia bukan sekadar hak, tapi tanggung jawab yang harus dipikul bersama.
Membangun demokrasi yang substansial memang tidak mudah. Diperlukan komitmen negara untuk membuka ruang dialog, menjamin kebebasan sipil, dan memfasilitasi partisipasi yang bermakna. Di sisi lain, rakyat juga perlu diberdayakan melalui pendidikan politik yang mencerahkan, bukan sekadar propaganda. Tanpa itu semua, kita hanya akan terus terjebak dalam siklus demokrasi prosedural yang tak memberi makna sejati bagi kehidupan rakyat.
Negara yang sehat adalah negara yang mendengar. Bukan hanya saat kampanye, tetapi setiap hari. Jika suara rakyat terus dikesampingkan, maka demokrasi hanya akan jadi dekorasi belaka—indah dalam kata, hampa dalam pelaksanaan. Dan jika hal itu terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kelak kita hidup dalam sistem yang mengklaim demokratis, padahal sejatinya telah kehilangan esensinya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
