Pancasila di Era FYP: Re-branding Toleransi Lewat PPKn
Eduaksi | 2025-07-03 20:19:20
Pernah nggak, sih, lagi asyik scroll timeline, tiba-tiba nemu postingan yang bikin panas? Ujung-ujungnya, kolom komentar jadi ajang perang SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Fenomena kayak kerusuhan di Tanjung Balai beberapa tahun lalu seolah jadi bukti nyata bahwa isu sensitif ini gampang banget tersulut, baik di dunia nyata maupun di jagat maya.Di sinilah pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) seharusnya masuk sebagai "vaksin" toleransi. Pemerintah sendiri melihat PPKn sebagai medium strategis untuk melakukan "revolusi karakter bangsa". Tapi pertanyaannya, apakah pesan itu sampai dan relate dengan kita?Spill The Tea: Kenapa Sih Kurikulum PPKn Suka Ganti "Outfit"?Kalau kamu perhatikan, pelajaran ini tuh sering banget ganti nama dan isi. Dulu ada PMP (Pendidikan Moral Pancasila) di zaman Orde Baru yang fokusnya lebih ke "penyeragaman" atas nama stabilitas negara. Terus ganti jadi PPKn, lalu PKn, dan sekarang balik lagi ke PPKn.Kenapa begitu? Karena kurikulum itu dinamis, nggak ada yang abadi. Setiap era punya "visi" dan tantangannya sendiri, jadi "outfit" PPKn pun disesuaikan. Tujuannya satu: membentuk warga negara yang mentalnya siap menghadapi keberagaman, tanpa harus meninggalkan kearifan lokal."Glitch" dalam Sistem: Kenapa Kadang Nggak Ngena?Meski tujuannya mulia, seringkali ada glitch dalam pelaksanaannya. Penelitian menunjukkan beberapa kelemahan dalam pengajaran PPKn:Monoton dan Kebanyakan Teori: Cara ngajarnya kadang gitu-gitu aja, lebih fokus ke hafalan pasal (kognitif), sementara pembentukan sikap (afektif) dan praktik (psikomotorik) malah kurang dapat porsi.Kurang Gaul sama Kearifan Lokal: Materinya kadang kurang mengeksplorasi nilai-nilai multikultural yang sebenarnya sudah ada di kearifan lokal kita. Padahal, di situlah harta karun toleransi yang sebenarnya.Saatnya Upgrade! PPKn sebagai "Life Skill" MultikulturalDi tengah kompleksitas zaman sekarang, PPKn idealnya bukan lagi sekadar mata pelajaran yang wajib lulus, tapi sebuah workshop untuk mengasah life skills di negara yang super beragam ini. Untuk menjadi warga negara multikultural yang kece, kita butuh tiga "paket" kompetensi ini:Civic Knowledge (Tahu Dulu, Baru Komen): Ini soal basic knowledge. Kita perlu paham apa itu Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 sebagai aturan mainnya, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai filosofi utama bangsa. Tanpa pengetahuan dasar ini, argumen kita soal toleransi bisa jadi cuma omong kosong.Civic Skills (Skill Debat Sehat & Anti-Hoax): Ini adalah kemampuan kita untuk berpikir kritis, rasional, dan berpartisipasi secara cerdas. Bukan cuma asal ikut-ikutan nimbrung di kolom komentar, tapi bisa membedakan mana fakta mana hoaks, menyampaikan pendapat dengan santun, dan mau mendengarkan orang lain.Civic Disposition (Punya "Vibes" Pancasila): Ini soal watak dan karakter. Punya sikap yang demokratis, bertanggung jawab, dan positif dalam melihat perbedaan. Intinya, punya vibes yang terbuka, empatik, dan siap hidup bareng dengan orang lain yang beda latar belakang.Kesimpulan: Dari Slogan Menjadi AksiPada akhirnya, PPKn punya peran penting untuk membentuk kita menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara akademis, tapi juga bijaksana dalam berinteraksi. Tujuannya adalah menciptakan harmoni dalam keberagaman, layaknya sebuah mozaik yang indah, bukan penyeragaman yang membosankan.Jadi, tantangannya sekarang adalah bagaimana kita sebagai generasi muda bisa mempraktikkan "ilmu" PPKn ini dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari cara kita berinteraksi di tongkrongan sampai cara kita berkomentar di media sosial. Yuk, jadikan keberagaman Indonesia sebagai superpower, bukan bug yang memecah belah
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.