Menolak Minum Tuak, Berakhir Menjadi Perundungan Anak
Agama | 2025-07-02 15:56:55
Kasus perundungan (bullying) terus merebak, pelakunya pun makin muda dan tindakannya makin brutal. Baru-baru ini viral sebuah rekaman di media sosial, seorang anak yang berlumuran darah di kepalanya usai ditendang hingga terbentur batu, lalu diceburkan ke dalam sebuah sumur di Kampung Sadang Sukaasih, Desa Bumiwangi, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung.
Kapolsek Ciparay, Iptu Ilmansyah mengungkapkan kejadian perundungan itu terjadi pada Mei 2025. Kejadian bermula saat korban bersama dua orang temannya dan seorang pria dewasa lainnya, berkumpul di Kampung Sadangasih, kemudian korban dipaksa oleh kedua temannya dan satu orang dewasa tersebut, untuk menenggak tuak tetapi korban menolak, namun tetap dipaksa untuk meminumnya setengah gelas. Setelah dipaksa minum tuak, korban kemudian dipaksa kembali untuk merokok, korban pun terpaksa mengisap rokok tersebut. Korban pun kemudian berencana untuk pulang, namun oleh salah seorang temannya, korban malah ditendang yang berakibat mengenai bata hingga mengenai kepala korban. Sehingga menyebabkan bagian kepala korban mengeluarkan darah setelah itu korban ditarik lalu diceburkan ke dalam sumur dengan kedalaman kurang lebih 3 meter. Saat kejadian, ada beberapa anak lainnya yang juga melihat kejadian tersebut. Beberapa anak, katanya merekam kejadian aksi perundungan tersebut.
Kapolsek menuturkan, setelah mendapat informasi adanya aksi perundungan tersebut, polisi langsung mendatangi lokasi kejadian. Polisi lalu mengamankan dan memeriksa para pelaku yang diketahui berjumlah tiga orang. (CNN, 26-06-2025)
Sangat mengerikan mendengar bagaimana pelaku tanpa rasa iba merundung korban yang saat itu sudah berdarah-darah. Kasus perundungan ini bukanlah kasus baru, begitu banyak kasus perudungan anak yang terjadi di negri ini bahkan tidak tuntas kepada solusi. Bukan tidak ada atau tidak mencari solusinya, tapi sudah berbagai upaya dilakukan untuk mencegah kasus perundungan anak namun kasus perudungan tetap saja marak. Dari mulai upaya pembentukan satgas di sekolah, pembentukan sekolah ramah anak, sampai penerbitan aturan Permendikbud Antikekerasan di sekolah. Akan tetapi, berbagai upayat tadi dianggap belum efektif.
Jika kita cermati, semua upaya tersebut tidak membuahkan hasil, bahkan semakin merajalela, baik di lingkungan dalam sekolah maupun di luar sekolah. Tidak dipungkiri pula, berulangnya kasus perundungan ini menyimpan tanya, mengapa sangat sulit untuk memcegahnya? Jika sejak awal saja generasi muda ini sudah memiliki kepribadian buruk, bagaimana nasib bangsa ini pada masa depan nantinya?
Kasus perundungan adalah salah satu dampak dari sistem kehidupan sekuler yang makin menjauhkan generasi dari hakikat penciptaan manusia, yakni menjadi hamba Allah Taala yang taat dan terikat syariat. Banyak faktor lain yang menjadi pengaruh maraknya kasus perundungan, diantaranya: Pertama, kebijakan negara, yakni kurikulum pendidikan yang berdiri di atas nilai-nilai sekuler. Tak ayal, banyaknya sekolah baik yang berbasis Islam atau umum dengan sistem yang dinilai baik, tetapi nyatanya belum cukup mampu menangkal dan mencegah terjadinya perundungan. Faktanya, perundungan bisa terjadi di sekolah mana saja. Inilah konsekuensi ketika negara menerapkan kurikulum dan sistem pendidikan berbasis akidah sekularisme. Sekolah sebagai institusi pendidikan, alih-alih mampu mencetak peserta didik yang berkualitas, dengan kurikulum sekuler kapitalisme yang diterapkan yang tidak memperhatikan aspek spiritual atau agama—justru melahirkan remaja yang banyak masalah. Terbukti dengan perilaku generasi kita yang makin ke sini, semakin jauh dari karakter umat terbaik. Perundungan, kekerasan seksual, narkoba, perzinaan, tawuran, bunuh diri, pembunuhan, dan sebagainya, berputar-putar mengintai generasi kita.
Kedua, pola asuh sekuler di keluarga. Orangtua saat ini, kerap menjadikan model kebebasan sebagai metode dalam mendidik anak mereka. Bebas berekspresi dan berperilaku, dan mudahnya anak-anak mengakses gadget tanpa kontrol orangtua, tanpa disadari tontonan berbau kekerasan dan konten porno mewarnai hari-hari mereka. Beberapa kasus perundungan pada siswa SD tersinyalir dipicu karena pelaku mengakses konten pornografi dan kekerasan lewat ponsel. Anak-anak mendapat banyak kemudahan dalam teknologi, tidak ada pengawasan orangtua, jadilah mereka mencontoh dan mengambil apa pun yang terakses melalui dunia digital dan media sosial. Begitu pula, pola asuh mendidik ala sekuler saat ini mengakibatkan anak tidak kental dan terbiasa dengan suasana keimanan di rumah. Budaya liberal seperti kebolehan pacaran, perilaku permisif (serba boleh), tidak ada sanksi ketika berbuat salah atau menyalahi Islam, dan pembelaan buta terhadap kesalahan yang anak perbuat, terkadang juga menjadi bibit perilaku perundungan. Anak merasa memiliki power, serba dibolehkan, dan orangtua siap menjadi pelindung ketika anak melakukan kesalahan.
Ketiga, kehidupan masyarakat yang individualistis yang semakin mengikis kepedulian antarsesama. Masyarakat cenderung apatis ketika terjadi kriminalitas atau perbuatan yang mengarah kepada perundungan jika yang dirundung bukan anak mereka. Masyarakat tumbuh menjadi manusia yang mudah kalap, tersulut emosi dan kemarahannya, lalu saling membalas perilaku dengan kekerasan. Terkadang, perilaku mencela dan menghina secara verbal masih dinormalisasi dan dianggap wajar sebagai candaan anak-anak. Jika masyarakat dan lingkungan seperti ini terus, maka anak-anak kita juga pasti akan terpengaruh dengan karakter masyarakat tempat mereka tumbuh dan berkembang.
Ketiga poin di atas menunjukkan betapa pentingnya peran negara sebagai pemangku kebijakan, orang tua sebagai keluarga terdekat yang mendidik anak, dan masyarakat dalam mencegah perundungan agar tidak semakin menjadi.
Perundungan adalah penyakit sosial dari hasil peradaban sekuler Barat. Bukan hanya marak terjadi di Indonesia, tetapi juga di sekolah-sekolah luar Indonesia. Sistem sekuler telah membawa generasi saat ini ke dalam jurang kerusakan yang sangat parah. Jika kita bercermin pada peradaban Islam, profil generasi yang dihasilkan sungguh sangat bertolak belakang.
Berbeda dengan sistem Islam, landasan dasar dalam pendidikan adalah akidah, yang memiliki aturan terperinci dan sempurna. Islam telah menetapkan bahwa selamatnya anak dari segala bentuk kezaliman ataupun terlibatnya mereka dalam perundungan bukan hanya tanggung jawab keluarga dan lingkungan masyarakat. Negara juga memiliki andil dan peran yang sangat besar dalam mewujudkan anak-anak tangguh berkepribadian Islam sehingga senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, termasuk perundungan. Tidak heran jika pada masa Islam tampil sebagai peradaban dunia, telah lahir banyak individu berkepribadian mulia, berakhlak karimah, dan unggul dalam ilmu dunia.
Setidaknya, ada empat faktor yang menjadi kunci kesuksesan tersebut: Pertama, keimanan sebagai landasan dalam setiap perbuatan yang menjadi benteng dari perilaku jahat dan sadis. Seseorang yang memahami Islam dengan benar akan menjauhkan dirinya dari perbuatan tercela. Ia menyadari konsekuensi sebagai hamba Allah adalah menaati seluruh perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya. Hal ini akan mendorong setiap individu untuk senantiasa terikat dengan aturan Islam secara keseluruhan. Keluarga juga dituntut untuk menerapkan aturan Islam di dalamnya yang akan membentengi individu umat dari melakukan kemaksiatan dengan bekal ketakwaannya.
Kedua, sistem pendidikan Islam akan melahirkan individu berkepribadian dan berakhlak mulia secara komunal. Negara menerapkan sistem pendidikan ini di semua jenjang sekolah dan satuan pendidikan. Tatkala sistem pendidikannya baik, output generasi yang tercetak juga baik. Negara juga harus menjalankan fungsinya mengontrol media dan informasi yang mudah diakses anak-anak. Tidak boleh ada konten berbau kekerasan dan pornografi yang bertebaran di media mana pun.
Ketiga, dengan landasan akidah Islam, pola asuh orang tua dalam mendidik juga akan berubah. Suasana keimanan akan terbentuk dalam keluarga. Ketika anak kenyang perhatian dan kasih sayang orang tua, ia tumbuh menjadi pribadi yang hangat, peduli sesama, dan tidak mudah mencela orang lain.
Keempat, penerapan sistem pergaulan sosial berdasarkan syariat Islam akan melahirkan masyarakat Islam yang bertakwa. Membangun masyarakat dengan budaya amar makruf nahi mungkar harus dengan sistem Islam secara kaffah. Budaya beramar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat, serta tidak memberikan fasilitas sedikit pun dan menjauhi sikap permisif terhadap semua bentuk kemungkaran, akan menentukan sehat tidaknya sebuah masyarakat sehingga semua tindakan kriminalitas apa pun dapat diminimalkan, termasuk perundungan.
Di dalam Islam, negara wajib menjamin kehidupan yang bersih bagi rakyatnya dari berbagai kemungkinan berbuat dosa, termasuk perundungan. Caranya dengan menegakkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Negara juga wajib menyelenggarakan sistem pendidikan Islam dengan kurikulum yang mampu menghasilkan anak didik yang berkepribadian Islam yang andal sehingga terhindar dari berbagai perilaku kasar, zalim, dan maksiat lainnya. Negara pun harus menjamin terpenuhi pendidikan yang memadai bagi rakyatnya secara berkualitas dan cuma-cuma. Selain itu, negara akan menjaga agama dan moral, serta menghilangkan setiap hal yang dapat merusak dan melemahkan akidah dan kepribadian kaum muslim, seperti peredaran minuman keras, narkoba, termasuk berbagai tayangan yang merusak di televisi atau media sosial.
Dalam pandangan Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang secara sempurna dapat melindungi anak dan yang mampu mengatasi persoalan perundungan. Ini semua hanya akan terealisasi jika aturan Islam diterapkan secara totalitas dalam sebuah institusi negara. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (kepala negara) itu adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR Muslim dan Ahmad). Dalam hadis lain, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).
Begitu pentingnya peran negara untuk bertanggung jawab menerapkan aturan Islam secara utuh dalam rangka mengatur seluruh urusan umat. Umat pun mendapat jaminan keamanan dan kesejahteraan secara adil dan menyeluruh.
Kasus perundungan tidak akan selesai dengan seruan revolusi mental, pendidikan karakter, ataupun kampanye anti-bullying. Akar masalah perundungan ialah sistem kehidupan sekuler yang rusak dan merusak. Walhasil, berbagai kerusakan generasi saat ini akan terselesaikan dengan penerapan tiga pilar sistem Islam secara komprehensif, yaitu dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan negara.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
