Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Miftah Zaki

Dilema Akad Tawaruk: Jalan Tengah atau Jalan Buntu?

Bisnis | 2025-07-02 15:50:34
ilustrasi orang bertransaksi

Pada zaman sekarang, kebutuhan finansial bisa tidak bisa lagi diprediksi kedatangannya. Kebutuhan mendadak, mendesak, dan menguras isi kantong bisa datang secepat notifikasi di layar ponsel. Di tengah tekanan hidup yang serba cepat, banyak orang mencari solusi pembiayaan yang tidak hanya praktis, tapi juga halal. Berbagai tawaran sistem keuangan hingga pinjmana pun datang menghampiri kita. Di sinilah tawaruk masuk sebagai opsi yang semakin populer dalam praktik lembaga keuangan syariah.

Pada kajian bahasa, tawaruk berasal dari kata “wariq” yang berarti perak atau uang. Dalam istilah fikih, tawaruk diartikan dnegan akad jual beli di mana seseorang membeli barang secara tidak tunai, lalu menjual kembali barang tersebut secara tunai kepada pihak lain dengan harga yang lebih rendah, agar ia mendapatkan dana segar. Model ini kemudian diadaptasi oleh lembaga keuangan syariah modern, terutama dalam bentuk tawaruk munazzam atau tawaruk yang terorganisasi secara sistematis.

Skema akad tawaruk biasanya dipahami sebagai rangkaian dua akad. Pihak pertama menjadi penjual barang yang dibayar dengan kredit atau angsuran. Pihak kedua menjadi pembeli dari pihak pertama, sekaligus menjadi penjual kepada pihak ketiga yang akan membeli barangnya dengan kontan. Pihak ketiga menjadi pembeli dari pihak kedua dan membayar secara kontan. Pada transaksi jual beli dengan akad tawaruk ini, biasanya penjual kedua (Pihak kedua) menurunkan harga jualnya pada pihak ketiga dari harga yang ia dapat dari penjual pertama (Pihak pertama).

Aplikasi akad tawaruk ini digunakan dalam kebutuhan mendesak. Ini menjadi alasan kenapa menjadi seolah akad ganda di dalam akad tawaruk. Pihak kedua merupakan orang yang sedang butuh dana segar. Namun, untuk mendapatakan dana segar dia masih belum mendapatkan pendapatan. Pinjaman bisa jadi jalan keluarnya, namun ia takut dengan terlihat riba. Lalu, ia berpikir untuk menjual barang walaupun belum ia punyai. Akhirnya, dia melakukan transaksi angsuran (Kredit) pada penjual barang, lalu ia jual kembali barang itu dengan lebih murah. Saat barang itu sudah terjual pada pihak ketiga, dia akan mendapatkan dana segar. Setelah melakukan skema transaksi ini, ia hanya tinggal membayar cicilan pada pihak pertamanya dengan tanpa menyentuh riba. Terhindar dari riba ini merupakan poin plus yang dimiliki jika kita melakukan akad tawaruk.

Melihat skema diatas, Tidak dapat dimungkiri bahwa tawaruk memberikan “nafas” bagi banyak orang yang tengah terjepit kebutuhan. Walaupun bisa saja ia menjad “ruang nafas” yang sifatnya sementara, tapi Ia bisa menjadi jalan tengah bagi mereka yang ingin menghindari riba dalam pinjaman konvensional, tapi tetap butuh dana cepat. Dalam beberapa kasus, tawaruk bahkan dianggap sebagai satu-satunya pilihan yang syariah-compliant di tengah sistem perbankan modern yang didominasi transaksi ribawi.

Menurut Dr. Oni Sahroni, pakar muamalah kontemporer dan anggota Dewan Syariah Nasional MUI, tawaruk bisa menjadi solusi yang sah secara syariah “selama dijalankan dengan benar, bukan untuk rekayasa mendapatkan uang tunai dengan transaksi yang semu”. Dari ungakapan beliau ini dapat kita pahami bahwa, pelaksanaan tawaruk harus betul-betul mengikuti prinsip jual beli yang riil, bukan akal-akalan.

Memandang konsep akad tawaruk ini, tentunya terdapat perbedaan pandangan para ahli. Kelompok ulama yang tidak memperbolehkan akad tawaruk umumnya mendasarkan pandangan mereka pada kemiripan tawaruk dengan bai’u al-‘inah. Bai’u al-‘inah didefinisikan sebagai transaksi jual beli suatu barang secara kredit, kemudian barang tersebut dibeli kembali secara tunai oleh penjual pertama dengan harga yang lebih rendah. Kesamaan krusial antara tawaruk dan bai’u al-‘inah, menurut pandangan ini, terletak pada motif utama pelaku transaksi, yaitu untuk mendapatkan pinjaman uang tunai.

Para ulama yang membolehkan akad tawarruq umumnya berpegangan pada hukum asal jual beli yang sah selama memenuhi rukun dan syarat. Dalam hal ini, tawarruq dianggap tidak melanggar hukum Islam, karena setiap transaksi yang terjadi dilakukan dengan kesepakatan yang jelas dan tidak mengandung unsur batil. Ulama yang memperbolehkan ini berlandaskan pada syarat sah sah jual beli, yakni meliputi kehalalan barang dan transaksi, lalu terletak pada keridaan kedua belah pihak. Selain itu, argumen yang membolehkan didikung oleh ayat Al-Quran:

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ۝٢٧٥

Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.

Fenomena tawaruk di Indonesia dan Malaysia, banyak produk pembiayaan bank syariah pakai sistem tawaruk. Terkadag masyarakat tidak tahu detail akadnya, karena diawali dengan ada label syariah, masayarakat dengan polosnya langsung percaya. Padahal, tidak semua yang berlabel syariah itu sepenuhnya bebas masalah bakan beberapa yang tidak tahu keasliannya label syariah, bisa saja lebih menjerat.

Praktik ini rawan menimbulkan jerat baru, terlebih jika nasabah tidak dibekali dengam pengetahuan tentang akad dan mempunyai kemampuan untuk membayar yang cicilannya pada pihak pertama. Hal yang dikhawatirkan adalah jik mereka terjebak untuk membayar cicilan yang memberatkan, sedangkan niat awalnya cuma mau cari solusi.

Menurut Prof. Wahbah Zuhaili, hukum Islam harus mengarah pada keadilan dan mencegah bahaya (mafsadat). Jika ada transaksi yang ujung-ujungnya bisa merugikan dan menjerat, maka sistematika atau pelaku transaksi harus dievaluasi kembali. Karena jika yang diperjuangkan adalah kebutuhan konsumtif belaka, maka tentunya hanya akan manisa di awalnya saja.

Selain akad tawaruk, terdapat alternatif Qard hasan sebgai bentuk pinjaman tanpa bunga yang mencerminkan semangat tolong-menolong dalam Islam. Meski sederhana, konsep ini sangat relevan untuk membantu kebutuhan mendesak seperti biaya pendidikan atau kesehatan. Sayangnya, qard hasan kurang populer di lembaga keuangan karena dianggap tidak memberi keuntungan finansial. Padahal, jika dikelola dari dana sosial seperti zakat atau CSR, qard hasan bisa menjadi alternatif nyata yang adil, ringan, dan selaras dengan nilai syariah. Walaupun dalam dunia bisnis kurang diminati karena dianggap tidak menguntungkan.

Tawaruk memang bisa menjadi jalan keluar untuk kebutuhan mendesak, jika dilakukan dengan niat yang jujur dan sesuai syariah. Namun, kita juga harus sadar, jangan sampai transaksi ini hanya sekadar “bungkus halal” dari praktik yang sejatinya tidak jauh dari riba. Jangan sampai hanya karena ingin terlihat syar’i, kita malah terjebak dalam sistem yang sama bahayanya dengan riba. Sebagai konsumen, kita harus lebih kritis dan paham apa yang sedang kita tanda tangani. Karena dalam Islam, bukan cuma bentuk transaksinya yang penting, tapi juga nilai keadilan, kejujuran, dan keberkahan di baliknya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image