Ideologi dan Partai Politik
Politik | 2025-07-02 07:47:29
Kata ideologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata, idea dan lugas. Idea memiliki arti seperangkat gagasan atau pemikiran, sedangkan kata lugas artinya ilmu pengetahuan, secara harfiah ideologi itu ilmu untuk memahami ide-ide, gagasan, dan pemikiran (Darma, 2009). Istilah ideologi sendiri mula-mula digunakan oleh Destutt de Tracy pada akhir Abad ke-18 (Bottomore, 1996).
De Tracy menggunakan istilah ideologi untuk memberi nama terhadap ilmu baru yang dia rancang mengenai analisis sistematis tentang ide dan pemikiran yang berkembang di masyarakat terutama pemikiran tentang politik. Di dalam pandangannya untuk menganalisis ide dan pemikiran dibutuhkan suatu disiplin ilmu pengetahuan ilmiah secara khusus, ia mengusulkan nama pengetahuan ilmiah itu disebut ideologi atau ilmu tentang ide.
De Tracy menggunakan istilah ideologi dengan tujuan memberi nama terhadap ilmu baru yang dia rancang mengenai analisis sistematis tentang ide, gagasan, dan pemikiran (Arifin, 2010). Ideologi merupakan seperangkat prinsip-prinsip yang mendasari kesadaran kognisi sosial, serta membentuk pengetahuan, dan sikap. Artinya ideologi itu secara spesifik merupakan suatu kepercayaan, pemikiran, dan ide yang digunakan oleh kelompok sosial di tengah-tengah masyarakat (Van Dijk, 2006).
Di dalam studi ilmu politik dijelaskan bahwa setiap orang itu merupakan pemikir yang bisa menyampaikan idenya melalui bahasa, ketika ia mampu mengekspresikan opini politiknya di ruang-ruang publik, dengan memberikan respons atas berbagai kebijakan yang diambil oleh negara, baik dilakukan secara lisan atau tulisan, dengan kata lain studi tentang ideologi memiliki relasi kuat dengan kehidupan politik, sehingga kita mengenal istilah ideologi politik (Heywood, 2016).
Di dalam kehidupan bernegara ideologi politik senantiasa hadir di setiap program politik, bahkan menjadi ciri khas dari setiap organisasi politik, terutama partai politik (parpol), dengan kata lain ideologi politik itu menjiwai setiap aktivitas partai politik bisa berupa pernyataan elit, kritikan anggota parlemen, program politik, dan isu politik yang digulirkan di ruang publik (Thompson, 2015). Ideologi politik ini menjadi wahana penting di dalam partai politik, tidak pernah ada partai politik yang tidak memiliki manifesto politik (Olanremaju, 2015). Partai politik tanpa ideologi, artinya tidak memiliki landasan eksistensi, serta tidak bisa melakukan tugas apa pun dalam konteks politik, karena ideologi politik itu mewakili identitas inti dari partai dan memberikan cetak biru bagi solusi alternatif ditawarkan kepada para pemilih (Wilcox & Vassallo, 2015). Ideologi dapat digunakan sebagai identitas partai, sehingga kita dapat dengan mudah membedakan satu partai dengan partai lain, dengan demikian seharusnya ideologi itu melekat tidak hanya dalam tataran pemikiran, tetapi hadir memberikan panduan bagi partai ketika di lapangan politik (Firmanzah, 2011).
Fungsi Partai Politik
Menurut Budiardjo (2009) terdapat beberapa fungsi dari partai politik, yaitu (1) komunikasi politik, (2) sosialisasi politik, (3) rekrutmen politik, dan (4) pengendali konflik
Sebagai sarana komunikasi politik, partai politik berperan menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah, artinya alat untuk melakukan agregasi dan artikulasi kepentingan agar pemerintah mampu melahirkan kebijakan yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Kemudian sarana sosialisasi politik, bahwa partai memiliki kemampuan untuk menarasikan nilai-nilai ideologis ke ruang-ruang publik, sehingga masyarakat mengetahui dan memahami arah perjuangan dari partai itu, selain itu sosialisasi juga memiliki arti menyampaikan berbagai produk politik telah diputuskan oleh lembaga eksekutif dan legislatif.
Sedangkan peran rekrutmen politik berfungsi, partai menjadi tempat kaderisasi kepemimpinan, dengan menjaring dan mengkader individu-individu untuk dipersiapkan menjadi anggota parlemen dan pemimpin eksekutif.
Berikut alur rekrutmen ideal. Alur pertama, partai politik membuka diri terhadap masyarakat umum yang akan menjadi anggota partai politik. Alur Kedua, masyarakat yang menjadi anggota suatu partai politik, harus melalui proses internalisasi ideologis yang cukup panjang, serta diberi kedudukan atau pos-pos strategis di dalam partai politik, sehingga mengasah nalar serta seni berpolitik. Alur ketiga, kader (anggota) partai yang sudah teruji kapasitasnya dalam kepengurusan, dipromosikan mengisi jabatan-jabatan politik dalam sistem pemerintahan.
Terakhir, pengendali konflik menyerap berbagai aspirasi, kepentingan dan keinginan masyarakat. Berbagai aspirasi, kepentingan dan keinginan masyarakat terkadang berbenturan satu sama lain, semua aspirasi kemudian dirumuskan dan diperjuangkan oleh partai-partai di dalam parlemen, sehingga konflik hanya terjadi di parlemen berupa benturan ide, pemikiran, dan gagasan, konflik itu bukan hadir di tengah-tengah masyarakat.
Ideologi dan Partai Politik
Ketika partai politik memilih ideologi sebagai asas, maka partai politik itu secara totalitas siap memperjuangkan pemikirannya dalam kontestasi politik. Perjuangan politik sejatinya pertarungan pemikiran atau gagasan di antara berbagai kekuatan politik, setiap partai sudah seharusnya memiliki basis pemikirannya masing-masing, yang dipastikan berbeda satu sama lain, perbedaan ini bisa kita lihat dari beragam perspektif, program kerja, visi-misi, dan platform politik.
Kalau semua partai politik konsisten menawarkan solusi atas berbagai problem sosial dari kaca mata ideologinya masing-masing, bisa dipastikan wajah politik di negara kita, semarak dengan berbagai ide-ide cemerlang, hal ini tentunya berdampak pada semakin cerdas dan kritisnya masyarakat, ketika melihat narasi ideologi yang berbeda-beda antara satu partai dengan partai lain, sehingga masyarakat disuguhkan dengan banyaknya pilihan narasi ideologi yang beragam.
Terlebih menurut Abu al-Hasan al-Mawardi dalam bukunya berjudul Adabu ad-Dunya wa ad-Din, mengatakan politik itu merupakan pabrik atau industri pemikiran. Artinya dunia politik seharusnya menawarkan berbagai pemikiran serta gagasan untuk membangun bangsa di masa depan, dengan menggali konsep dari basis ideologi yang dimiliki (Matta, 2022).
Tetapi harapan itu berbeda dengan kenyataan politik di lapangan, berdasarkan riset dari Ambardi partai politik di era reformasi umumnya memiliki karakteristik kartel, ketika masa kampanye mereka berkontestasi sangat ketat dan sengit, tetapi ketika sudah terdapat pemenang pemilu, justru kompetisi ideologi itu berakhir menjadi kompromi politik. Partai akhirnya terlibat kartelisasi politik menjadikan asas manfaat sebagai tujuan dalam berpolitik, mereka tidak lagi menjadikan ideologi sebagai ruh dari gerakan (Ambardi, 2009).
Membangun Partai Ideologis
Membangun partai ideologis maksudnya membangkitkan kembali gagasan genuine dari partai politik tentang bagaimana membangun negara bangsa ke depan, ideologi memang pemikiran abstrak yang bersifat konseptual tentang diskursus bagaimana cara mengubah sistem dan kondisi masyarakat saat ini, menuju tatanan sosial yang diharapkan. Inti dari ideologi sendiri adalah berusaha merubah struktur politik timpang menjadi struktur bangunan sosial adil, setara, dan sejahtera. Fungsi ideologi hendaknya mampu membangkitkan kesadaraan masyarakat terhadap berbagai permasalahan dihadapi, pemikiran tertuang dalam ideologi partai harus berpijak pada permasalahan muncul di tengah-tengah masyarakat.
Fungsi ideologi berikutnya, sebagai alat pertarungan partai politik ketika memperjuangkan kondisi ideal masyarakat, setiap ideologi partai mempunyai proyeksi masing-masing tentang masyarakat ideal akan diwujudkan, dengan banyak partai seharusnya terdapat beragam proyeksi politik, sehingga jagat politik kaya berbagai narasi cemerlang, terjadi benturan pemikiran bersifat dialektis, terkait bagaimana membangun tatanan politik dan demokrasi dimasa datang, jadi politik tidak selalu bermakna konsensus, terkadang kontradiksi politik menjadi kewajaran, sebab progresivitas peradaban bisa terlahir dari benturan pemikiran dan gagasan.
Tentu pertarungan ideologi itu terjadi hanya di tataran ide dan gagasan, bukan menyebarkan kebencian terhadap rival politik berbeda pemikiran, yang dapat mengarah pada aksi kekerasan. Pertarungan partai politik di dalam sistem demokrasi sejatinya harus menggunakan saluran konstitusional yang damai, yaitu pemilu.
Partai politik mempunyai ideologi kuat memiliki keuntungan dalam kontestasi elektoral, masyarakat lebih mudah mengidentifikasi partai politik itu diantara partai-partai lain, terlebih bila memiliki kemampuan menarasikan ideologi menjadi solusi dari setiap masalah dihadapi masyarakat. Di sinilah pentingnya bagi partai politik membedakan ideologinya, dari partai-partai lain yang menjadi pesaing politiknya.
Terdapat beberapa strategi ideologi bisa ditempuh partai agar memiliki positioning kuat dibenak kognitif para pemilih.
Pertama, ideologi partai itu memiliki nilai tinggi, maksudnya tidak sekedar memiliki narasi berbeda, tetapi program politik ditawarkan bersumber dari ideologi dianut, memiliki dampak positif bagi kehidupan masyarakat, partai mampu mempraksiskan pemikiran abstrak menjadi solusi. Kedua, meski pemikiran terkandung dalam ideologi umumnya bersifat abstrak, tetapi hal itu harus mampu disampaikan kepada masyarakat dengan bahasa lugas, terang, dan mudah dipahami. Sehingga masyarakat mengerti bahwa ideologi ditawarkan partai politik lebih baik dari narasi ideologi partai lain. Ketiga, narasi ideologi dari partai memiliki keunikan dan kekhasan, meski ada proses peniruan dari rival politiknya, ingatan kognitif masyarakat sudah terlanjur merekam, bahwa narasi ideologi tersebut hanya dimiliki satu partai saja, partai lain tidak lebih sekedar pengekor atau peniru Keempat, ideologi partai mutlak memiliki legitimasi untuk mengendalikan kepatuhan kader, menjaga dukungan atas ideologi, serta merekonstruksi pemikiran untuk menjustifikasi tindakan.
Dari strategi narasi ideologi diharapkan ke depan partai-partai politik memiliki jati diri kuat, serta teguh memegang identitas ideologinya, siap berkontestasi politik dalam memasarkan pemikirannya, tetapi berlapang dada untuk menerima kekalahan, kalau ternyata narasi ideologi dari partai lain, lebih diterima oleh publik secara luas, artinya terbuka ruang melakukan perenungan atas ideologi dimiliki untuk melakukan kontekstualisasi, serta diuji kembali di pemilu berikutnya. Itulah siklus kontestasi politik sebenarnya, siap memerintah dan siap berada diluar kekuasaan.
Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LKHP) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Karawang.
Referensi Artikel
Ambardi, K. (2009). Mengungkap Politik Kartel : Studi Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. KPG.
Arifin, A. (2010). Pers dan Dinamika Politik, Analisis Media Komunikasi Politik Indonesia. Yasif Watampone.
Bottomore, T. (1996). Konsep Ideologi. Penerbit LKPSM.
Budiardjo, Miriam. (2009). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama
Darma, Y. A. (2009). Analisis Wacana Kritis. Penerbit Yrama Widya.
Firmanzah. (2011). Mengelola Partai Politik. Buku Obor.
Heywood, A. (2016). Ideologi Politik Sebuah Pengantar. Pustaka Pelajar.
Matta, A. (2022). Melawan Layu Biar Kuncup Indonesia Bersemi Denganmu. Poestaka Rembug Kopi.
Olanremaju, J. S. (2015). Politica Parties and Poverty of Ideology in Nigeria. (Afro Asian Journal of Social Sciences, VI(3).
Thompson, J. B. (2015). Kritik Ideologi Global : Teori Sosial Kritis Tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa. Ircisod.
Van Dijk, T. A. (2006). Ideology and discourse analysis. Journal of Political Ideologies, 11(2), 115–140.
Wilcox, C., & Vassallo, F. (2015). Partai Sebagai Pengusung Ide. In W. Crotty & S. R. Katz (Eds.), Hanbook Partai Politik. Nusa Media.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
