Tantangan Demokrasi di Era Globalisasi dan Mediatisasi
Politik | 2025-07-01 09:06:14Pada paruh kedua abad ke-20, demokrasi menjadi bentuk pemerintahan yang paling sah dan diadopsi secara luas melalui apa yang disebut sebagai gelombang ketiga demokratisasi. Namun, tidak semua negara berhasil melakukan transisi secara penuh. Bahkan, banyak negara masih berada di luar orbit demokrasi. Harapan yang sempat tumbuh pada awal 1990-an tentang kemenangan final demokrasi liberal kini digantikan oleh realitas bahwa bahkan negara-negara demokrasi mapan di Barat tengah menghadapi krisis kepercayaan. Kekecewaan publik terhadap institusi dan elit politik, penurunan partisipasi pemilu, serta meningkatnya populisme di Eropa Barat dan AS menjadi indikator kemunduran legitimasi demokrasi.
Dua tantangan besar terhadap demokrasi abad ke-21 menjadi sorotan utama yaitu globalisasi dan mediatiasi (Kriesi dkk, 2013). Tantangan lain juga penting untuk diperhatikan, termasuk transformasi teknologi yang mempengaruhi kebijakan dan struktur ekonomi, perubahan demografis yang menekan sistem jaminan sosial, serta meningkatnya ketimpangan ekonomi dan heterogenitas budaya yang merongrong kesetaraan politik dan solidaritas sosial. Semua ini memperumit kapasitas demokrasi untuk menjawab kebutuhan warganya secara adil.
Ketimpangan ekonomi dan kekhawatiran akan keragaman budaya akibat arus migrasi global menjadi pemicu protes sosial dan mobilisasi defensif dari kelompok mayoritas. Di sisi lain, perubahan preferensi sosial-budaya juga mendorong tuntutan baru terhadap demokrasi. Masyarakat modern yang dikelilingi media dan informasi kini ditandai oleh munculnya ragam gerakan sosial yang menjadikan protes sebagai bagian normal dari politik sehari-hari (Castells, 1997;1998). Protes tidak hanya lebih sering terjadi, tetapi juga dilakukan oleh kelompok yang semakin beragam, dengan isu-isu yang luas dan terdorong oleh profesionalisasi.
Dalam teori demokrasi modern diasumsikan bahwa pembuat keputusan dan mereka yang terkena dampak keputusan hidup dalam komunitas politik yang sama secara teritorial. Namun, globalisasi telah menggugat asumsi ini. Interdependensi lintas negara yang semakin dalam menyebabkan keputusan satu negara berdampak pada warga negara lain yang tidak memiliki suara dalam pengambilan keputusan tersebut. Contoh konkret seperti dampak pembangkit nuklir, pencemaran lintas batas, dan peraturan pajak atau migrasi menunjukkan bahwa kebijakan nasional kini memiliki konsekuensi global yang lebih besar dibanding masa lalu.
Ketimpangan antara pembuat keputusan dan warga yang terkena dampak tidak hanya terjadi antarnegara, tetapi juga dalam negara itu sendiri, terutama di negara federal dan kawasan metropolitan. Pemerintah lokal atau regional bisa mengambil keputusan yang merugikan wilayah lain yang tidak memiliki kontrol atasnya. Seiring perkembangan teknologi transportasi dan pertumbuhan wilayah urban, pengaruh keputusan satu wilayah terhadap wilayah lain semakin kuat, menandai krisis demokratis internal di tingkat subnasional.
Demokrasi modern bergantung pada komunikasi efektif antara warga dan wakil mereka, yang kini semakin dimediasi oleh infrastruktur media. Proses mediatiasi merujuk pada dominasi logika media dalam komunikasi politik, yang menggeser mekanisme akuntabilitas tradisional. Awalnya, komunikasi politik dilakukan dalam pertemuan publik lokal, tetapi kini telah berubah menjadi komunikasi berbasis media massa, dengan segala implikasi dari struktur dan logika media yang berkembang.
Alhasil, transformasi media ditandai oleh proliferasi saluran komunikasi, dari televisi dan radio ke internet dan media sosial (Arifuddin, 2024). Di masa lalu, model siaran layanan publik menyatukan informasi nasional dalam kerangka waktu yang seragam. Kini, dengan berkembangnya saluran informasi dan personalisasi media, fragmentasi ruang publik dan polarisasi opini menjadi lebih nyata. Demokrasi menghadapi tantangan besar dalam menjaga kualitas deliberasi dan representasi publik ketika media menjadi medan pertarungan narasi, kecepatan, dan kepentingan komersial.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
