Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aly Sujana

Fikih Muamalah di Persimpangan Digital: Antara Peluang, Tantangan, dan Arah Baru

Agama | 2025-07-01 01:46:06

Instrumen Digital dan Dilema Fikih Kontemporer

Fenomena ekonomi digital di Indonesia menghadirkan beragam instrumen dan praktik muamalah yang menuntut adaptasi fikih. Salah satu yang paling menonjol adalah fintech syariah, khususnya peer-to-peer (P2P) lending syariah. Platform seperti Ammana, Investree Syariah, atau ALAMI, memungkinkan pendanaan proyek atau bisnis melalui skema syariah seperti murabahah atau musyarakah secara digital. Ini jelas sebuah peluang besar untuk pemerataan akses modal bagi UMKM yang sebelumnya sulit terjangkau perbankan syariah konvensional. Namun, pertanyaan fikih pun muncul: bagaimana memastikan transparansi penuh dalam akad digital? Apakah model scoring nasabah sesuai syariah?

Selain itu, kemudahan e-commerce dengan skema syariah juga patut disorot. Tokopedia Salam atau BliBli Hasanah memfasilitasi konsumen muslim dalam memilih produk halal dan bertransaksi yang terhindar dari riba. Akan tetapi, isu seperti gharar (ketidakjelasan) dalam deskripsi produk digital, mekanisme refund dan return, atau bahkan praktik dropshipping tanpa izin pemilik barang, masih menjadi pekerjaan rumah bagi fikih.

Kemudian, perdebatan seputar aset kripto menjadi isu yang tak kunjung usai. Meskipun Bank Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa DSN-MUI Nomor 116/DSN-MUI/IX/2022 telah menyatakan bahwa aset kripto tidak sah sebagai mata uang karena tidak memenuhi kriteria syar'i, namun sah sebagai komoditas atau aset digital yang dapat diperjualbelikan selama memenuhi syarat sebagai aset dan terhindar dari unsur gharar, maysir, dan riba. Ini menunjukkan bagaimana fikih muamalah harus bekerja keras untuk menganalisis dan memutuskan status hukum suatu inovasi yang awalnya tak terbayangkan. Ulama dan lembaga fatwa terus berdiskusi tentang aspek gharar, maysir (judi), dan riba yang mungkin melekat pada transaksi kripto tertentu. Adaptasi fikih ini membutuhkan pemahaman mendalam tentang teknologi blockchain di samping ushul fikih.

Adaptasi Fikih dan Dampaknya pada Masyarakat

Adaptasi fikih muamalah terhadap inovasi digital tidaklah sederhana. Lembaga seperti Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) berperan krusial dalam mengeluarkan fatwa-fatwa baru untuk memandu praktisi dan masyarakat. Proses ini melibatkan kajian mendalam, diskusi lintas disiplin (fikih, ekonomi, teknologi), dan musyawarah. Dilema muncul ketika inovasi digital bergerak begitu cepat, seringkali mendahului proses penetapan fatwa. Hal ini kerap menimbulkan kegamangan di masyarakat, di mana mereka berada di antara keinginan untuk memanfaatkan kemudahan digital dan keraguan akan kehalalan transaksinya.

Dampaknya terhadap literasi dan praktik muamalah masyarakat pun beragam. Di satu sisi, kehadiran platform digital syariah telah meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan keuangan dan produk halal. Secara tidak langsung, hal ini turut mendorong peningkatan literasi masyarakat mengenai akad-akad syariah, meskipun masih pada tingkat dasar. Masyarakat menjadi lebih sering mendengar istilah mudharabah, murabahah, atau ijarah.

Namun, di sisi lain, laju inovasi yang sangat cepat juga menyebabkan kebingungan dan keraguan. Tidak semua masyarakat memiliki pemahaman yang memadai untuk membedakan mana fintech yang benar-benar syariah atau mana transaksi digital yang halal. Kasus-kasus penipuan atau skema ponzi berkedok syariah seringkali memanfaatkan celah ini, merusak kepercayaan publik dan menodai citra ekonomi syariah. Edukasi yang masif dan berkelanjutan menjadi sebuah keharusan.

Menuju Ekosistem Muamalah Digital yang Berkeadilan

Melihat dinamika di atas, penting bagi berbagai pihak untuk berkolaborasi memastikan perkembangan digital selaras dengan prinsip syariah dan memberikan manfaat yang adil.

Pertama, peran ulama dan lembaga fatwa (seperti DSN-MUI) harus lebih proaktif dan responsif. Mereka perlu mendalami teknologi, berdiskusi dengan pakar IT dan ekonomi, serta mengeluarkan fatwa yang jelas, komprehensif, dan mudah dipahami, tanpa mengorbankan kedalaman fikih. Membangun "pusat inovasi fikih digital" dapat menjadi langkah progresif untuk mempercepat adaptasi fikih terhadap perkembangan teknologi.

Kedua, regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) harus terus memperkuat kerangka regulasi dan pengawasan untuk fintech syariah dan instrumen digital lainnya. Harmonisasi antara regulasi konvensional dan prinsip syariah sangat esensial untuk menciptakan iklim investasi yang aman dan sesuai syariah.

Ketiga, praktisi dan pelaku industri keuangan syariah digital memiliki tanggung jawab besar. Mereka harus memastikan setiap produk dan layanan yang ditawarkan benar-benar patuh syariah, transparan, dan memberikan edukasi yang memadai kepada pengguna, tidak hanya berorientasi pada keuntungan semata namun juga keberkahan.

Terakhir, masyarakat sebagai pengguna juga harus lebih kritis dan proaktif dalam mencari informasi. Jangan mudah tergiur janji keuntungan besar tanpa memahami akad dan risiko syariahnya. Literasi keuangan syariah digital adalah kunci untuk melindungi diri dari praktik yang tidak sesuai syariah.

Dengan sinergi antara ulama, regulator, praktisi, dan masyarakat, kita bisa mewujudkan ekosistem muamalah digital yang tidak hanya inovatif dan inklusif, tapi juga berlandaskan prinsip keadilan dan kemaslahatan, sesuai tuntunan syariat Islam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image