
Benang Cinta di Balik Toga
Sastra | 2025-06-30 19:46:48
“baik teman teman kita sudahi perkuliahan mata kuliah kali ini, sebelum saya tutup saya ucapkan maaf apabila terdapat kesalahan dalam mengajar saya hari ini. Terimakasi.” Ucap Aziz kepada mahasiswa nya di kelas sembari keluar dengan wajah tersenyum riang yang selalu dipancarkannya setiap hari di kampus.
Selepas mengajar mahasiswa di kelas, ia akan beristirahat di kantin fakultas untuk merehatkan diri sembari menyusun artikel yang setiap satu minggu sekali ia buat. Ketika perjalanan menuju kantin Aziz tertampar ketika ia mendengar percakapan mahasiswi di lorong sendirian dengan raut muka yang tampak sedih tengah menelpon keluarganya di kampung sana.
“maafkaan ibu ya naak kiriman kamu bulan ini sama seperti bulan kemarin, soalnya bapak sakitnya kambuh lagi dan perlu berobat.” Ucap suara seorang Wanita paruh baya di seberang sana
“baik bu gapapa aku disini paham kok keadaan bapak disana, lagian aku disini masih ada uang jajan yang semoga cukup sampai waktu ibu mengirim lagi.” Ucap mahasiswi itu
“baiklah nak memang anak ibu sangat salehah banget dari kecil, udah ya nak ibu mau lanjut masak untuk bapakmu Assalamualaikum.” Ucap ibu
“baik bu. Waalaikum salam” ucap mahasiswi itu sembari pergi dengan langkah terburu buru untuk mengejar jadwal kelas berikutnya
Mendengar percakapan tadi membuat Aziz terdorong ingatannya tentang bagaimana perjuangan ibunya seorang diri dahulu agar dapat melihat anaknya memakai toga dan menjadi orang sukses seperti saat ini.
Delapan Tahun Yang Lalu .
Langit sore berwarna jingga dan baju yang berlumuran keringat pulang dari sekolah, tasnya kini terasa sangat berat sekali beban yang terasa di pundaknya. Buka karena buku dan alat tempur yang ia bawa, tapi karena ia mendengar cibiran tetangga yang lebih dulu mendengar cerita tentang prestasinya hingga ia yakin untuk daftar kuliah di perguruan tinggi ternama di luar kota
”gak tau malu banget ya anak itu, udah tau ibunya tukang es keliling. Mana mungkin ada biaya untuk kuliah apalagi nih katanya dia pengen ke perguruan tinggi ternama itu loh yang ada di luar kota” ucap bu Restu di warung kepada pembeli lain
Aziz menunduk lesu, mengepalkan tangan. Ia serasa ingin sekali membalas ucapan itu, tapi apa yang ingin dilakukan agar bisa membalas? Ibu itu tidak salah. Ibunya memang seorang pedagang es keliling.
Saat sampai rumah ia menemukan dengan keadaan kosong seperti biasa karena ibu sudah pergi untuk berjualan es, namun sang ibu sudah menyiapkan makan siang yaitu goreng tahu dan tempe sebelum ia berkeliling untuk menjual es. Setelah makan ia segera untuk pergi ke kamarnya untuk belajar mata Pelajaran diesok hari dan menuliskan sebuah catatan kecil si sebuah kertas.
Setelah kurang lebih dua jam ia belajar, Aziz mendengar suara pintu terbuka dan ternyata itu ibunya yang telah pulang keliling di waktu mendekati salat maghrib.
Setelah salat magrib ibunya mendekati Aziz. “gimana harimu nak? Ibu dengar dari tetangga lain katanya nilai kamu bagus ya.” Ucap Bu Salma kepada anaknya itu sembari menyuguhkan air putih.
Aziz menganggukkan kepalanya sembari mengeluarkan kertas hasil ujiannya "Nilai Aziz bagus, Bu. Bahkan, kepala sekolah merekomendasiin buat Aziz kuliah di perguruan ternama di luar kota itu bu sekaligus mengambil jurusan hukum." Ucap Aziz dengan nada ragu
Mata Ibu salma berbinar dan merasa terharu mendengar prestasi anaknya, tapi keraguan jugaa sangat Nampak pada raut wajahnya. “kuliah? Tapi nak .biaya kuliah tidak sedikit ada ongkos, uang buku, bahkan mungkin uang kebutuhan mendadak nak.”
Aziz hanya bisa terdiam tanpa Bahasa sedikitpun keluar dari mulutnya. Ia tahu keadaan ekonomi keluarganya, ia tahu bahwa ia hanya seorang anak tukang es keliling yang terkadang untuk makan saja harus ngutang dulu ke warung. Ia mulai ragu, apakah benar ia harus melanjutkan kuliah? Apa sebaiknya ia bekerja saja membantu ibunya?
Malam itu ia mendengar ibunyaa sedang berdoa, merayu sang maha pencipta agar ditunjukkan jalan agar anaknya dapat melanjutkan ke jenjang kuliah dan masa depan anaknya yang gemilang. “tuhanku yang maha pemurah, tolonglah hambamu ini, untuk engkau berikan jalan petunujuk agar anakku dapat mengenyam Pendidikan yang lebih baik lagi kedepannya, aku memohon kepadamu agar kelak anakku dapat menaikkan harkat dan derajatku di masa depan” ucap Ibu Salma berbincang kepada yang maha kuasa.
Esok paginya, Ibu Salma memamnggil Aziz ke dapur sembari menghidangkan sarapan dengan menu yang sederhana pagi itu “Nak, Ibu sudah memikirkan soal kuliah itu. Kamu harus kuliah bagaimanapun itu penting untuk masa depan kamu.”
Aziz menatap ibunya denga mata yang berkaca kaca “tapi Bu .gimana soal ” ucap Aziz dengan penuh nada keraguan.
"Biarkan Ibu yang memikirkan itu," potong Ibu Salma lembut. "Tugasmu hanya berusaha."
Senyum perlahan merekah di wajah Aziz. Hatinya yang semalam penuh keraguan kini dipenuhi kehangatan. Ia tahu, selama ibunya ada di sisinya, ia tidak boleh menyerah. Sebab, di balik setiap jahitan dan doa yang ibunya panjatkan, ada cinta yang tak terbatas untuknya.
Bertahun tahun melewati masa perkuliahan, di sebuah auditorium besar, Aziz berdiri tegak mengenakan toga hitam penanda lulusan sarjana hukum dengan predikat nilai yang tinggi melampaui teman temannya, dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S2 ke Belanda, hingga ia diberikan amanat menyampaikan pidato didepan tamu undangan dan wisudawan yang lain.
“Assalamualakum yamg saya hormati rektor, dekan, prodi, tamu undangan beserta wisudawan yang hadir kali ini. Saya ingin menyampaikan hari ini adalah momentum Bahagia sekaligus selebrasi kita dalam perjalanan selama bertahun tahun menginjakkan kaki di tempat ini, perlu saya ingatkan dalam setiap langkah ada sosok yang terkadang terabaikan keberadaannya, Yakni ibu. Beliau yang tak pernah Lelah mendoakan anaknya agar sukses. Mungkin ada di antara kita yang ibunya rela bekerja siang dan malam, menahan lapar, atau mengesampingkan keinginannya demi melihat kita berhasil. Hari ini, ijazah yang telah kita dapatkan adalah bukti cinta dan pengabdian kita kepada perjuangannya, saya harap jika ibu kita ada disini peluklah ia dan ucapka terimakasih karena telah memperjuangkan kita. Selamat wisuda teman teman mari kita gunakan ilmu ini dengan sebaik mungkin untuk kemajuan negeri ini. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Ucap Aziz pada pidatonya di acar wisuda
Ibu Salma duduk dengan penuh bangga dan haru menyelimutinya pada waktu itu, ia merasa tidak menyangka anaknya akan sukses untuk menjadi sarjana pertama di keluarga kecil itu sekaligus berhasil melanjutkan studi S2 ke Belanda.
Saat ini
Tak terasa hari sudah mulai sore, lamunan kecil itu membuatnya sedih bercampur bahagia, ketika akan pergi ke mobilnya di parkiran untuk pergi pulang ke rumahnya, ia menemukan secarik kertas yang dulu pernah ia buat dahulu ketika belajar
Untuk diriku di masa depan, jangan pernah mengecewakan setiap keringat Ibu yaa. Kertas ia genggam sangat erat dan berkata “bu anakmu kini sudah sukses, terimakasih atas pengorbananmu.”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.