Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Danil Wirawan

Paradoks Pemilu Indonesia dari Sisi Hukum Tata Negara

Politik | 2025-06-28 10:30:10

Paradoks Pemilu Indonesia dari Sisi Hukum Tata Negara

I. PENDAHULUAN

Pemilu di Indonesia adalah wujud utama pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. Melalui pemilu, rakyat memilih wakil-wakilnya dan pemimpin pemerintahan secara langsung. Namun, dalam praktik, pemilu juga memunculkan berbagai paradoks. Di satu sisi, pemilu menjadi pilar demokrasi, tetapi di sisi lain justru memunculkan problematika hukum, politik, dan sosial.

Paradoks pemilu Indonesia menjadi menarik dikaji dari perspektif hukum tata negara, sebab di dalamnya tersimpan konflik antara idealisme konstitusi dengan realitas praktik politik.

II. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud paradoks pemilu dalam konteks hukum tata negara Indonesia?

2. Apa saja bentuk paradoks pemilu yang terjadi di Indonesia?

3. Bagaimana implikasi paradoks tersebut terhadap prinsip negara hukum dan demokrasi?

III. PEMBAHASAN

A. Paradoks Pemilu dalam Hukum Tata Negara

Paradoks pemilu dapat diartikan sebagai situasi kontradiktif di mana pemilu, yang semestinya menjadi sarana demokrasi, justru menimbulkan masalah yang melemahkan demokrasi itu sendiri. Dalam konteks hukum tata negara, paradoks ini terjadi ketika norma hukum pemilu tidak sejalan dengan pelaksanaan atau ketika pemilu dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan yang sempit.

Contoh kontradiksi yang muncul:

Pemilu langsung vs Politik Uang. Pemilu dimaksudkan untuk menampung suara rakyat secara jujur, namun praktik politik uang merusak prinsip kebebasan memilih.

Kesetaraan hak memilih vs Ambang batas pencalonan (presidential threshold). Hak rakyat mencalonkan pemimpin dibatasi oleh syarat administratif partai politik.

Putusan MK final dan mengikat vs ketidakpastian hukum. Mahkamah Konstitusi kerap mengeluarkan putusan yang bersifat progresif, tetapi di sisi lain menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaan teknis pemilu.

B. Bentuk Paradoks Pemilu di Indonesia

1. Politik Uang (Money Politics)

Konstitusi menjamin pemilu yang jujur dan adil (Pasal 22E UUD NRI 1945). Namun, praktik politik uang masih marak. Pemilih tidak memilih berdasarkan visi misi, melainkan karena imbalan materi. Hal ini mengancam hak konstitusional rakyat untuk memilih secara bebas.

2. Presidential Threshold

Ambang batas pencalonan presiden (20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional) sering dikritik karena membatasi hak rakyat untuk memperoleh lebih banyak pilihan calon presiden. Dari sisi hukum tata negara, ini menimbulkan paradoks antara prinsip kedaulatan rakyat dengan pembatasan partisipasi politik.

3. Putusan MK yang Progresif namun Membingungkan

Mahkamah Konstitusi sering mengubah aturan pemilu dengan putusan yang bersifat serta-merta. Contoh: Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat usia capres-cawapres yang memicu kontroversi. Di satu sisi dianggap melindungi hak konstitusional individu, namun di sisi lain menimbulkan ketidakpastian hukum menjelang pemilu.

4. Netralitas Penyelenggara Pemilu vs Realitas Praktik

Konstitusi menuntut penyelenggara pemilu independen. Namun dalam praktik, KPU, Bawaslu, hingga aparat keamanan kerap dituduh berpihak. Ini merusak kepercayaan publik terhadap pemilu sebagai sarana demokrasi.

C. Implamasi Paradoks Pemilu Terhadap Negara Hukum dan Demokrasi

Paradoks pemilu berdampak serius pada prinsip negara hukum dan demokrasi:

Prinsip Kepastian Hukum Terganggu. Ketidakjelasan putusan pengadilan atau perubahan aturan mendadak membuat pemilu menjadi arena ketidakpastian.

Hak Rakyat Terganggu. Politik uang, threshold tinggi, dan penyelenggara yang tidak netral mengurangi hak rakyat dalam menentukan pemimpin.

Kredibilitas Demokrasi Dipertanyakan. Pemilu kehilangan makna substansial jika hasilnya ditentukan oleh praktik transaksional atau manipulasi kekuasaan.

Negara hukum yang demokratis menghendaki pemilu bukan sekadar prosedur, tetapi juga menjamin substansi keadilan, kebebasan, dan kedaulatan rakyat. Paradoks yang terus berulang membuat pemilu rawan dianggap sebagai formalitas belaka.

IV. PENUTUP

Paradoks pemilu Indonesia menunjukkan bahwa demokrasi konstitusional tidak cukup hanya diatur dalam teks hukum. Penegakan hukum, integritas penyelenggara, serta kesadaran politik masyarakat memegang peranan penting agar pemilu benar-benar menjadi wujud kedaulatan rakyat.

Dari perspektif hukum tata negara, reformasi regulasi pemilu, pendidikan politik, dan penguatan lembaga penegak hukum menjadi kunci untuk mengurai paradoks ini. Pemilu seharusnya menjadi sarana demokrasi yang bersih, bukan arena konflik kepentingan yang justru mengancam demokrasi itu sendiri.

Daftar Pustaka (Contoh Format)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image