Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alisha Defa Zhafif

HAM Dibalas HAM : Layakkah?

Politik | 2025-06-27 11:06:57

Apakah Anda setuju jika pelaku pembunuhan berencana, pemerkosaan, atau korupsi besar hanya dijatuhi hukuman penjara? Bagaimana jika mereka justru merasa hidup lebih layak di balik jeruji mendapat makan tiga kali sehari, tempat tinggal, dan fasilitas yang bahkan tidak mereka miliki di luar? Dalam konteks ini, pertanyaan yang sering muncul di benak publik adalah: apakah hukuman yang “manusiawi” cukup untuk menimbulkan efek jera?

Di tengah kegelisahan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia, pandangan bahwa pelaku kejahatan berat harus dihukum sekeras mungkin semakin mendapat tempat. Narasi populer di media sosial menyuarakan bahwa tanpa kekerasan, tidak ada keadilan.

Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat, seperti pemerkosaan atau penyiksaan, memunculkan dorongan kuat agar pelaku dibalas setimpal bahkan dengan cara yang juga melanggar HAM pelaku itu sendiri. Dalam logika ini, rasa sakit dianggap sebagai keadilan.

Namun pertanyaannya: jika kejahatan dilawan dengan kekerasan yang serupa, apakah itu masih bisa disebut sebagai penegakan HAM? Ataukah kita justru sedang menciptakan lingkaran kekerasan baru yang dilegalkan atas nama keadilan?

Teori psikologi perilaku menjelaskan bahwa punishment atau hukuman memang bisa efektif dalam menekan perilaku menyimpang secara instan. Namun, efektivitas ini cenderung bersifat jangka pendek. Individu bisa saja berhenti berperilaku menyimpang karena takut akan konsekuensi, bukan karena memahami bahwa tindakannya salah. Tanpa internalisasi nilai moral, kepatuhan yang muncul hanyalah bentuk penyesuaian luar, bukan perubahan diri. Bahkan, studi menunjukkan bahwa hukuman yang keras dan bersifat fisik dapat menimbulkan trauma psikologis, mendorong sikap manipulatif, serta menyuburkan perilaku kriminal yang lebih tersembunyi.

Lalu, apakah efek jera harus dibentuk lewat rasa takut atau lewat kesadaran? Banyak yang beranggapan bahwa rasa trauma adalah harga yang pantas agar pelaku tidak mengulangi kejahatannya. Tapi benarkah rasa takut mampu menciptakan manusia yang lebih bertanggung jawab?

Bandingkan dengan negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, atau Arab Saudi yang sering dijadikan contoh dalam penegakan hukum yang tegas. Memang benar bahwa hukum di negara-negara tersebut sangat ketat. Namun, yang sering luput dilihat adalah faktor budaya sosial yang memperkuatnya: rasa malu, reputasi, dan eksklusi sosial menjadi hukuman yang tidak kalah berat. Hukuman formal di sana tidak bekerja sendiri, melainkan didukung oleh struktur sosial yang kuat dan sistem hukum yang konsisten. Inilah yang menciptakan efek jera sejati bukan hanya karena rasa takut, tetapi karena pelanggaran nilai membawa konsekuensi yang dalam di semua level kehidupan.

Indonesia sendiri menghadapi tantangan ganda: sistem hukum yang belum sepenuhnya tegas dan adil, serta masyarakat yang cepat melupakan pelanggaran besar tanpa proses pemulihan yang utuh. Akibatnya, keadilan menjadi kabur, pelaku tidak benar-benar berubah, dan korban merasa kehilangan kepercayaan terhadap hukum.

Dalam sistem ideal, hukuman terhadap pelanggaran berat terhadap HAM harus melalui proses yang berjenjang: evaluasi psikologis, rehabilitasi nilai, hingga hukuman berat jika pelaku terbukti tidak dapat berubah. Kebiri kimia, penjara seumur hidup, atau bahkan hukuman mati seperti yang diatur dalam KUHP dan UU No. 17 Tahun 2016 bisa diterapkan jika pelaku tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan atau berisiko tinggi melakukan kejahatan ulang.

Namun, muncul pertanyaan kritis: bukankah memberi kesempatan rehabilitasi sama saja dengan mempertaruhkan keamanan masyarakat? Apa jadinya jika pelaku yang diberi kesempatan justru kembali menyakiti korban baru?

Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada mekanisme pengawasan dan evaluasi negara. Rehabilitasi bukanlah hak mutlak, melainkan hak bersyarat. Negara tidak boleh gegabah dalam memberi pengampunan, tapi juga tidak boleh terburu-buru merampas kesempatan perubahan. Hukuman maksimal harus menjadi jalan terakhir ketika semua pendekatan korektif gagal dilakukan. Dalam hal ini, negara tidak sedang membela pelaku, tapi justru sedang mengupayakan keadilan yang komprehensif bagi korban, masyarakat, dan sistem hukum itu sendiri.

Maka, pertanyaan yang tersisa sekarang bukan hanya tentang pelaku dan penegak hukum, tapi tentang kita semua sebagai warga negara:

Layakkah, HAM dibalas HAM?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image