Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rida Amela Az Zahra

Apakah Kita Benar-Benar Merdeka? Menimbang Ulang Arti Kewarganegaraan di Era Digital

Politik | 2025-06-26 20:59:03
Rakyat sebagai pelaku utama sejarah: dari perjuangan fisik ke perjuangan digital. (Dokumentasi pribadi, Museum Bank Indonesia)

Setiap 17 Agustus, lagu kebangsaan dinyanyikan dan bendera dikibarkan. Kita menyebut diri “merdeka” karena punya negara, punya KTP, dan bisa ikut pemilu. Tapi di era digital seperti sekarang, saya sering bertanya: apakah itu cukup? Apakah kita benar-benar merdeka sebagai warga negara?

Saya beberapa kali melihat bagaimana seseorang bisa diserang, dilaporkan, bahkan dibungkam hanya karena menyampaikan pendapat yang berbeda di media sosial. Padahal, jika mengacu pada Pasal 28E UUD 1945, setiap warga negara dijamin kebebasan untuk menyatakan pikiran, baik secara lisan maupun tulisan. Sayangnya, ruang digital hari ini sering kali tidak memberikan rasa aman. Banyak orang memilih diam, bukan karena tidak peduli, tetapi karena takut disalahpahami. Ini membuat kita bertanya: apakah demokrasi digital sedang tumbuh, atau justru menyempit?

Dulu, menjadi warga negara berarti terdaftar secara administratif—memiliki dokumen resmi dan ikut serta dalam pemilu. Kini, makna kewarganegaraan juga hadir di ruang digital. Lewat unggahan, komentar, petisi daring, hingga diskusi publik, kita turut menunjukkan bagaimana kita berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa.

Namun ruang digital tak selalu netral. Algoritma media sosial cenderung memperkuat suara mayoritas, sementara pandangan berbeda sering kali terpinggirkan. Bahkan, tidak jarang kita temui orang-orang yang dilaporkan hanya karena menyuarakan opini yang tak sejalan dengan arus umum. Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan lanjutan: siapa yang sungguh punya hak untuk bersuara, dan siapa yang didengarkan?

Sebagai bagian dari generasi muda, saya percaya kita punya peran besar. Kita terbiasa bersuara lewat media digital, menyuarakan isu, dan menggugah kepedulian publik. Namun kekuatan itu hanya berarti jika disertai kesadaran bahwa apa yang kita lakukan di ruang digital bukan sekadar ekspresi, tapi bagian dari tanggung jawab sebagai warga negara.
Tidak menyebarkan hoaks, menghargai perbedaan, dan berani berpikir kritis adalah bentuk sederhana dari kontribusi kita terhadap demokrasi. Kita tidak bisa menuntut hak tanpa menjalankan tanggung jawab. Kewarganegaraan bukan hanya soal memiliki identitas hukum, melainkan juga tentang keberanian untuk peduli dan terlibat.

Kemerdekaan tidak berhenti pada seremoni tahunan atau simbol administratif. Selama masih ada rasa takut untuk berbicara, selama opini yang berbeda masih dianggap ancaman, maka pertanyaan “apakah kita benar-benar merdeka?” akan selalu relevan. Dan mungkin, justru dalam keberanian kita untuk tetap bersuara—meski terbatas dan berisiko—kita sedang menjalani bentuk kemerdekaan yang paling nyata.

Tentang Penulis:

Rida Amela Az Zahra, mahasiswi Ekonomi Syariah. Tertarik pada isu sosial, media digital, dan dinamika kewarganegaraan di era modern.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image