Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image dewi nuraeni

Bertumbuh di Tengah Tekanan: Menemukan Arah dan Karier Hidup

Eduaksi | 2025-12-05 20:47:09
Tekanan akademik, kebingungan arah, dan quarter-life crisis.

Di era serba cepat dan digital, banyak anak muda merasa hidupnya seperti dikejar waktu. Tekanan sosial, tuntutan akademik, hingga perbandingan diri di media sosial membuat sebagian dari mereka kehilangan arah dan makna dalam perjalanan menuju kedewasaan. Robinson (2023) menyatakan bahwa fenomena ini dikenal sebagai quarter-life crisis, yaitu masa ketika seseorang mempertanyakan identitas, tujuan, dan arah kariernya. Menurut teori perkembangan psikososial Erik Erikson (1968), masa remaja akhir hingga dewasa awal merupakan tahap identity versus role confusion — periode ketika individu berusaha menemukan siapa dirinya dan peran apa yang ingin ia ambil dalam kehidupan sosial. Namun, dalam konteks modern, pencarian jati diri ini tidak lagi sederhana. Dunia digital menghadirkan arus perbandingan sosial tanpa henti, yang sering kali menggerus rasa percaya diri anak muda. Teori Zhou & Chua (2024) menunjukkan bahwa melihat teman sebaya tampak sukses di media sosial bisa menimbulkan rasa cemas, tertinggal, bahkan takut gagal.

Memasuki dunia kerja kini bukan hanya soal kemampuan akademik. Menurut World Economic Forum (2024), sekitar 40 persen pekerjaan di dunia akan berubah dalam lima tahun ke depan karena otomatisasi dan perkembangan kecerdasan buatan (AI). Situasi ini menuntut generasi muda untuk tidak hanya bekerja keras, tetapi juga terus belajar dan beradaptasi. Namun, perubahan ini juga membuka peluang baru. Menurut Tan (2023), banyak anak muda kini mulai membangun karier melalui jalur non-tradisional seperti menjadi freelancer, pembuat konten, atau pengusaha digital. Mereka tidak hanya mencari stabilitas, tetapi juga ingin pekerjaan yang bermakna — yang memberi ruang untuk kebebasan, kreativitas, dan nilai personal. Karier tak lagi dipandang sekadar urusan gaji dan jabatan, tetapi tentang bagaimana seseorang bisa mengekspresikan dirinya melalui pekerjaan yang ia pilih.

Sayangnya, budaya “harus produktif” yang mengakar di kalangan masyarakat modern sering kali membuat banyak orang merasa bersalah ketika berhenti sejenak. Budaya ini menjadikan keberhasilan dan kesuksesan diukur dari seberapa sibuknya seseorang. Kadang, langka kecil yang disertai kesadaran diri jauh lebih berarti dibanding pencapaian yang dilakukan demi validasi sosial. Perjalanan karier yang sehat tidak selalu dimulai dari kesuksesan, tetapi dari keberanian untuk mencoba dan gagal sehingga memberi ruang bagi pengalaman. Menurt Hidayat (2024), melalui magang, menjadi relawan, hingga mengikuti organisasi dapat membantu anak muda mengenali potensi diri dan membangun kompetensi sosial yang penting di dunia kerja. Penelitian dari Harvard Business Review (2024) menunjukkan bahwa individu yang memiliki mentor atau pengalaman profesional sejak dini cenderung memiliki kepuasan karier yang lebih tinggi di usia 25–30 tahun.

Selain itu, personal branding digital kini juga menjadi aspek penting. Teori Prabowo (2023) menyatakan bahwa platform seperti LinkedIn dan portofolio daring tidak sekadar tempat mencari kerja, tetapi juga sarana menunjukkan nilai dan kepribadian profesional seseorang. Namun, dalam proses ini,penting untuk menjaga keaslian diri. Menjadi versi terbaik dari diri sendiri jauh lebih berharga dibanding sekadar meniru kesuksesan orang lain yang tampak di media sosial.

Dukungan sosial juga memiliki peran besar dalam perkembangan karier anak muda. Penelitian Setiawan & Lestari (2023) menunjukkan bahwa Keluarga, guru, dan dosen tidak hanya berperan memberikan nasihat, tetapi juga menciptakan lingkungan yang aman untuk bereksperimen dan belajar dari kesalahan. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih cenderung menilai keberhasilan dari nilai akademik semata. Padahal, kemampuan adaptasi, empati, dan kreativitas justru menjadi bekal penting dalam menghadapi masa depan yang tidak pasti. Membangun sistem bimbingan karier yang lebih personal di sekolah dan universitas bisa membantu siswa menemukan arah sejak dini. Kampus perlu menjadi ruang eksplorasi, bukan hanya tempat mengejar indeks prestasi. Lingkungan yang suportiif akan membantu mereka memahami bahwa kegagalan bukanlah akhir dari pencapaian, melainkan bagian dari proses belajar dan tumbuh.

Menjadi dewasa bukan berarti harus tahu semua jawaban. Kebingungan, kegagalan, bahkan ketidakpastian adalah bagian dari proses bertumbuh. Di usia muda, wajar jika seseorang merasa tersesat, ragu, atau tidak yakin dengan keputusannya. Namun, melalui fase-fase itulah karakter dan ketangguhan perlahan terbentuk. Menurut Wijaya (2024), di tengah budaya “harus cepat sukses”, penting bagi anak muda untuk menyadari bahwa bertumbuh bukan soal siapa yang paling cepat mencapai tujuan, melainkan tentang keteguhan untuk terus berjalan dan bertahan.

Pada akhirnya, karier bukan hanya tentang pekerjaan, melainkan tentang menemukan makna, membangun relasi, dan menciptakan keseimbangan dalam hidup. Generasi muda hari ini bukan generasi yang lemah — mereka hanya sedang belajar memahami arti sukses yang sebenarnya tidak diukur dari seberapa cepat seseorang mencapai sebuah tujuan, melainkan dari kemampuan untuk terus bertumbuh di tengah tekanan hidup. Dengan memahami dinamika tersebut, generasi muda dapat membangun orientasi karier yang lebih sehat, berkelanjutan, dan selaras dengan tantangan zaman.

Dewi Nuraeni,

Mahasiswa Fakultas Vokasi, Universitas Airlangga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image