Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rafi Hafizh

Pengembangan Karakter: Kompas Moral Generasi Muda di Era Disrupsi

Humaniora | 2025-12-05 14:00:48

Di era disrupsi informasi saat ini, pengembangan karakter bagi generasi muda tidak lagi sekadar tentang mengajarkan sopan santun atau etika normatif semata. Lebih dalam dari itu, pengembangan karakter adalah proses internalisasi nilai-nilai luhur yang berfungsi sebagai "kompas moral" dalam diri seseorang. Pada intinya, karakter adalah fondasi yang menentukan bagaimana seorang individu berpikir, merasa, dan bertindak. Bagi generasi muda, pengembangan karakter berarti membangun identitas diri yang kokoh agar tidak mudah terombang-ambing oleh arus perubahan zaman yang begitu cepat.

Harapan terbesar dari proses pembentukan karakter ini adalah lahirnya generasi muda yang memiliki otonomi moral. Kita mendambakan pemuda yang mampu menghasilkan keputusan yang tepat, baik dalam konteks personal, akademis, maupun sosial. Keputusan yang tepat bukan hanya keputusan yang menguntungkan diri sendiri, melainkan keputusan yang logis, bertanggung jawab, dan mempertimbangkan kemaslahatan bersama. Kemampuan mengambil keputusan ini menjadi krusial ketika mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit, mulai dari pemilihan karir, pergaulan, hingga respons terhadap isu-isu global.

Namun, realitas lapangan menunjukkan adanya tantangan besar yang mengkhawatirkan. Generasi muda saat ini, yang sering disebut sebagai Gen Z dan Generasi Alpha, menghadapi gempuran budaya instan dan tekanan media sosial yang masif. Salah satu sikap yang salah dan kini menjamur adalah fenomena FOMO (Fear of Missing Out) dan mentalitas ingin serba cepat tanpa proses. Banyak anak muda yang mengambil keputusan berdasarkan tren viral atau tekanan teman sebaya (peer pressure) daripada analisis rasional.

Kekhawatiran ini semakin mendalam ketika melihat rapuhnya ketahanan mental sebagian generasi muda dalam menghadapi kegagalan, sebuah fenomena yang sering dikaitkan dengan istilah "Strawberry Generation". Seperti yang diungkapkan dalam sebuah studi, tantangan terbesar pendidikan karakter saat ini adalah degradasi moral akibat penggunaan teknologi yang tidak bijak.

Menanggapi hal ini, berbagai pihak mulai bersuara. Dalam diskursus pendidikan nasional, mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, kerap menekankan pentingnya Profil Pelajar Pancasila. Dalam berbagai kesempatan antara tahun 2020 hingga 2024, ia menegaskan bahwa kecerdasan akademik tanpa integritas karakter adalah sia-sia. Hal ini didukung oleh pandangan para akademisi. Dikutip dari Jurnal Basicedu (2021), pendidikan karakter di sekolah dasar hingga menengah sangat krusial untuk membentengi siswa dari dampak negatif globalisasi.

"Pendidikan bukan hanya soal mengisi wadah (otak), tetapi menyalakan api (semangat dan karakter)." — Kutipan ini sering direfleksikan kembali dalam konteks pendidikan modern pasca-pandemi untuk mengingatkan bahwa aspek kognitif dan afektif harus berjalan beriringan.

Sejalan dengan itu, sebuah artikel di Jurnal Obsesi (2022) menyoroti bahwa ketergantungan pada gawai telah menurunkan kemampuan empati sosial anak, yang pada akhirnya memengaruhi kualitas keputusan yang mereka buat saat berinteraksi dengan orang lain.

Jika fenomena ini dibiarkan tanpa intervensi, dampak jangka panjangnya akan sangat fatal. Kita berisiko memiliki pemimpin masa depan yang cerdas secara intelektual namun "buta" secara moral. Ketidakmampuan mengambil keputusan yang tepat akan melahirkan masyarakat yang reaktif, mudah terprovokasi hoaks, dan tidak memiliki visi jangka panjang. Kegagalan dalam membentuk karakter hari ini adalah jaminan bagi krisis kepemimpinan di masa depan.

Oleh karena itu, tindakan korektif harus segera dilakukan melalui integrasi pendidikan kognitif dan moral. Kita tidak bisa hanya mengajarkan "apa yang harus dipikirkan", tetapi "bagaimana cara berpikir". Pendidikan harus difokuskan pada pengembangan berpikir kritis (critical thinking) dan logika. Dengan logika yang kuat, generasi muda dapat membedah informasi, melihat sebab-akibat, dan memprediksi konsekuensi dari setiap keputusan. Sementara itu, pendidikan moral memberikan landasan etis agar logika tersebut digunakan untuk kebaikan.

Sebagai penutup, membentuk generasi muda yang mampu memutuskan dengan tepat membutuhkan sinergi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kita perlu menciptakan lingkungan yang menghargai proses, bukan hanya hasil instan. Hanya dengan karakter yang kuat—yang memadukan ketajaman nalar dan kelembutan nurani—generasi muda akan siap menyongsong masa depan, bukan sebagai penonton, melainkan sebagai penentu arah bangsa yang bijaksana.

Penulis. Muhammad Rafi Hafizh, mahasiswa Universitas Airlangga prodi Teknik Elektro.

Daftar Pustaka:

Hidayati, A., & Wuryandani, W. (2022). Pendidikan Karakter Disiplin pada Era Society 5.0. Jurnal Basicedu, 6(5), 9070-9076. (Membahas relevansi karakter disiplin dan keputusan di era digital).

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2020-2024). Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035. Jakarta: Kemendikbudristek. (Dokumen dasar mengenai Profil Pelajar Pancasila dan arah pendidikan karakter).

Rachmawati, N., et al. (2021). Analisis Dampak Penggunaan Gadget Terhadap Kepribadian Sosial Anak. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(1), 12-20. (Mendukung argumen tentang tantangan teknologi terhadap karakter).

Santoso, M. (2023). Logika dan Etika: Membangun Nalar Kritis Gen Z. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (Buku referensi mengenai pentingnya penggabungan logika dan etika dalam pengambilan keputusan).

Wijaya, E. (2024). "Mentalitas Instan dan Tantangan Pendidikan Moral di Indonesia". Kompas.id, Opini Edukasi. (Artikel terkini mengenai fenomena budaya instan pada generasi muda).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image