Konflik Iran-Israel: Ketika Rakyat Menjadi Korban Kebijakan dan Tarik Ulur Geopolitik
Politik | 2025-06-25 14:49:34Ketika rudal meluncur dan perjanjian gencatan senjata diumumkan, suara rakyat biasa sering tenggelam. Mereka kehilangan rumah, keluarga, dan rasa aman. Sementara para pemimpin negara justru sibuk menjaga gengsi dan kepentingan politik, dengan pengaruh kekuatan global yang tak kalah rumit.
Eskalasi konflik antara Iran dan Israel pada April 2024 menjadi peringatan keras bagi dunia. Pada 13 April, Iran meluncurkan ratusan misil dan drone ke arah Israel, membalas dugaan serangan Israel terhadap konsulatnya di Damaskus. Sebagian besar serangan ini digagalkan oleh sistem pertahanan Iron Dome milik Israel, dibantu oleh sekutunya, AS, Inggris, Prancis, dan Yordania. Hasilnya, korban jiwa dapat ditekan, tetapi ketegangan tak mereda. Enam hari kemudian, Israel membalas dengan serangan ‘terukur’ ke Isfahan, Iran, yang ditujukan ke fasilitas militer. Tujuannya bukan untuk memicu perang terbuka, melainkan sebagai unjuk kekuatan strategis.
Dari luar, dampak serangan memang tampak minim. Namun bagi warga yang hidup di tengah konflik, trauma dan ketakutan tetap nyata. Bahkan ketika bom tak lagi meledak, ketegangan terus berdenyut lewat perang siber, operasi bayangan, dan dukungan terhadap kelompok proksi.
Konflik yang Rumit: Antara Nuklir, Balas Dendam, dan Politik Global
Konflik Iran-Israel bukan lagi soal dua negara yang saling tidak menyukai. Ia tumbuh dari akar yang dalam: ambisi nuklir, siklus balas dendam, dan tarik ulur kekuatan global. Iran memandang program nuklirnya sebagai hak kedaulatan dan bentuk pertahanan diri. Namun Israel menganggapnya ancaman langsung terhadap keberadaan mereka. Ketegangan ini diperparah oleh aksi balas dendam yang terus berlangsung hingga menciptakan lingkaran kekerasan tanpa akhir.
Situasi menjadi kompleks ketika adanya campur tangan negara-negara besar. Amerika Serikat, sebagai sekutu Israel memperburuk keadaan dengan keluar dari perjanjian JCPOA. Begitupun Rusia yang memiliki kepentingan militer dan energi di kawasan, sering memainkan peran yang tidak sepenuhnya jelas. Sementara Tiongkok dan sejumlah negara Arab juga terlibat dengan agenda masing-masing, yang membuat penyelesaian konflik semakin sulit. Hasilnya, banyak pihak yang ikut terlibat, konflik ini telah menjadi bagian dari peta ketegangan global.
Mengapa Dunia Harus Peduli?
Konflik Iran–Israel bukan sekadar pertikaian regional, melainkan bara api yang siap menyulut krisis global. Lonjakan harga energi, ketidakstabilan politik internasional, hingga gelombang pengungsian baru adalah risiko nyata yang dapat menjalar ke seluruh dunia.
Lebih dari itu, konflik ini memperlihatkan bagaimana kepentingan politik dan ego kekuasaan para pemimpin bisa mengorbankan hak hidup masyarakat. Nyawa rakyat kerap dikorbankan demi ambisi, gengsi, dan strategi geopolitik yang disusun jauh dari medan konflik. Padahal, ketika para pemimpin sibuk memainkan kekuasaan, rakyat hanya ingin hidup aman dan damai di tanah mereka sendiri.
Jika dunia memilih diam, maka kita membiarkan ketidakadilan menjadi norma. Dunia harus peduli, bukan semata karena ancaman ekonomi atau politik, tetapi karena ini soal keberpihakan. Apakah kita akan terus membiarkan kekerasan menjadi bahasa diplomasi, atau memilih berdiri di sisi kemanusiaan?
Solusi: Lebih dari Sekadar Gencatan Senjata
Mengakhiri konflik Iran–Israel tak cukup hanya dengan menghentikan tembakan atau meredam serangan sesaat. Dunia membutuhkan pendekatan menyeluruh dan berjangka panjang. Tidak hanya menargetkan senjata, tetapi juga menyentuh akar masalah, membangun kepercayaan, dan menempatkan kemanusiaan sebagai prioritas utama.
Langkah pertama yang perlu diambil adalah menghidupkan kembali diplomasi nuklir. Perjanjian seperti JCPOA, yang sempat menjadi fondasi pengawasan terhadap program nuklir Iran, harus dikaji ulang dan diperkuat. Jika perlu, kesepakatan baru yang lebih inklusif dan transparan harus dirancang. Dalam hal ini, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) harus diberi kewenangan penuh untuk memantau aktivitas nuklir Iran secara ketat. Upaya ini harus didukung oleh tekanan dan komitmen nyata dari seluruh kekuatan global, baik dari Barat maupun Timur.
Selain itu, peran mediasi internasional harus ditingkatkan. PBB tak cukup hanya menjadi pengamat atau pemberi pernyataan, tetapi harus aktif memfasilitasi ruang dialog yang adil dan efektif. Negara-negara seperti Qatar dan Turki, yang memiliki rekam jejak sebagai mediator regional, perlu diberi ruang dan dukungan untuk membuka jalur diplomasi yang kredibel bagi kedua belah pihak.
Begitupun dalam situasi konflik, nilai kemanusiaan harus tetap menjadi prioritas, bukan menjadi bahan tawar-menawar politik. Jalur bantuan kemanusiaan, baik untuk kebutuhan medis, pangan, maupun tempat tinggal harus dibuka dan dijaga dari kepentingan politik. Jembatan antar warga juga perlu dibangun. Inisiatif pertukaran budaya, pendidikan lintas batas, hingga kampanye perdamaian menjadi cara ampuh untuk meruntuhkan tembok kebencian yang selama ini dibangun oleh propaganda dan luka masa lalu.
Damai yang Bertumpu pada Kemanusiaan
Konflik Iran–Israel adalah cerminan kegagalan dunia dalam menempatkan kemanusiaan diatas ambisi. Rudal mungkin berhenti mengudara, tapi luka di hati rakyat tak mudah sembuh jika dunia terus abai.
Pemimpin dunia harus menyadari, bahwa rakyat tidak membutuhkan lebih banyak senjata atau strategi militer. Yang mereka butuhkan adalah harapan. Mereka ingin hidup tanpa rasa takut, damai, dan bebas dari bayang-bayang ketakutan yang diciptakan oleh ambisi dan ego para pemegang kekuasaan.
Kini, sudah saatnya dunia berbicara dalam bahasa kemanusiaan. Karena sejatinya, damai bukan hanya soal berhentinya konflik, tetapi tentang hadirnya keadilan, rasa aman, dan martabat hidup bagi semua kalangan.
By: Nadira Syfha Febriyani
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
