Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ana Fras

Membagi Gaza, Menghapus Kemanusiaan

Politik | 2025-11-12 20:17:54
Foto: Republika.co.id

Lebih dari satu tahun sejak serangan besar Israel terhadap Jalur Gaza, kehidupan di wilayah itu belum juga pulih. Gencatan senjata yang diumumkan beberapa bulan lalu lebih tampak sebagai jeda administratif daripada tanda berakhirnya kekerasan. Menurut laporan Reuters (11 November 2025), lebih dari 80 persen infrastruktur listrik di Gaza hancur. Ribuan keluarga hidup dalam kegelapan, bergantung pada generator kecil yang hanya menyala beberapa jam sehari. Sementara itu The Guardian mencatat lebih dari 250 serangan terhadap fasilitas air dan sanitasi Palestina oleh pasukan Israel dan kelompok pemukim sejak 2020. Krisis kemanusiaan ini belum menunjukkan tanda perbaikan, tetapi justru disertai kabar baru yang menimbulkan kekhawatiran mendalam: potensi pembagian Gaza.

Wacana pembagian wilayah ini muncul bersamaan dengan menurunnya efektivitas diplomasi Amerika Serikat di bawah administrasi Donald Trump. Beberapa analis menilai bahwa skenario “partition of Gaza” kembali dibicarakan di ruang-ruang kebijakan Washington dan Tel Aviv sebagai langkah untuk menata ulang struktur politik dan keamanan pascaperang. Narasinya dikemas sebagai upaya restrukturisasi wilayah pasca-konflik, namun pada hakikatnya ia adalah strategi geopolitik yang mengabaikan realitas sosial di lapangan. Dalam perspektif kemanusiaan, pembagian Gaza bukan penyelesaian melainkan bentuk baru penghapusan ruang hidup masyarakat sipil Palestina.

Data dari UN OCHA (2025) menunjukkan bahwa sekitar 60 persen bangunan tempat tinggal di Gaza hancur atau rusak berat. Sebagian besar fasilitas kesehatan tidak berfungsi, dan lebih dari separuh anak-anak mengalami kekurangan gizi akibat blokade yang berkepanjangan. Kondisi ini menunjukkan bahwa wacana pembagian wilayah muncul bukan di tengah stabilitas, tetapi di atas reruntuhan. Pembicaraan mengenai “penataan ulang” Gaza tanpa memperhitungkan kapasitas pemulihan sosial dan ekonomi rakyatnya sama dengan memperdalam luka yang belum sempat sembuh.

Kebijakan semacam ini tidak bisa dilepaskan dari pola kolonialisme modern yang beroperasi melalui mekanisme politik dan diplomasi. Bila dahulu kekuasaan dijalankan melalui pendudukan fisik, kini ia hadir dalam bentuk penataan ruang yang mengatasnamakan stabilitas. Gaza dijadikan laboratorium politik bagi agenda keamanan regional, sementara suara dua juta penduduknya tenggelam dalam wacana strategis yang ditulis oleh negara-negara besar. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana konsep kedaulatan rakyat kehilangan maknanya di tengah logika geopolitik global.

Dari sudut pandang etika Islam, situasi ini merupakan bentuk penafian terhadap prinsip dasar keadilan dan penghormatan terhadap kehidupan. Al-Qur’an mengingatkan bahwa siapa pun yang membunuh satu jiwa, seolah telah membunuh seluruh manusia (QS al-Maidah: 32). Makna ayat tersebut tidak terbatas pada kekerasan fisik, tetapi juga mencakup segala bentuk tindakan yang menghilangkan martabat manusia. Membiarkan rakyat Gaza kehilangan hak atas tanah, air, dan rumah adalah bentuk pembunuhan perlahan terhadap kehidupan sosial mereka.

Masalah Gaza juga memperlihatkan paradoks solidaritas global. Dunia internasional mudah menyebut kata perdamaian, tetapi jarang menyinggung keadilan. Banyak negara Muslim menunjukkan empati melalui pernyataan simbolik, namun belum mampu menumbuhkan strategi kolektif untuk melindungi hak-hak rakyat Palestina. Solidaritas sering kali berhenti di ruang digital, sementara blokade terus menutup jalur kehidupan. Padahal, dalam konsep ukhuwah insaniyyah, persaudaraan manusia menuntut aksi yang melampaui retorika.

Jika pembagian Gaza benar terjadi, dunia akan menyaksikan bentuk baru dari kolonialisme administratif yang beroperasi melalui peta dan pena. Tanah akan diatur ulang, tetapi luka sejarah tetap dibiarkan terbuka. Setiap garis batas baru hanya akan menegaskan bahwa kekuasaan lebih mudah memetakan ruang daripada memulihkan manusia yang hidup di dalamnya. Dalam konteks ini, tugas kemanusiaan bukan sekadar menolak perang, tetapi menolak logika politik yang menormalisasi penderitaan.

Gaza tidak membutuhkan pembagian wilayah. Ia membutuhkan rekonstruksi kehidupan yang adil dan bermartabat. Yang paling dibutuhkan rakyat Gaza saat ini adalah air bersih, listrik, rumah sakit, dan jaminan keamanan, bukan garis koordinat baru yang disepakati di ruang konferensi. Dunia harus berhenti memperlakukan tragedi Gaza sebagai proyek geopolitik, karena setiap keputusan yang mengabaikan kemanusiaan hanya akan melahirkan kekerasan dalam bentuk baru. Ketika manusia kehilangan kemampuan untuk menempatkan keadilan di atas kepentingan politik, maka yang hancur bukan hanya Gaza, tetapi juga kesadaran moral umat manusia itu sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image