Zohran Mamdani, Wali Kota Baru New York: Antara Gelombang Progresif dan Badai Kontroversi
Politik | 2025-11-08 12:48:39
NEW YORK, Bagaimana seorang anak imigran Muslim dari Uganda bisa menaklukkan jantung kapitalisme dunia?
Pertanyaan itu kini menggema di seantero Amerika Serikat. Zohran K. Mamdani, 34 tahun, aktivis sayap kiri Partai Demokrat, resmi memenangkan pemilihan Wali Kota New York 2025, mengalahkan mantan Gubernur Andrew Cuomo dan tokoh konservatif Curtis Sliwa.
Ia kini tercatat sebagai wali kota termuda dalam lebih dari seabad, sekaligus Muslim pertama dan keturunan Asia Selatan pertama yang memimpin New York, kota dengan populasi 8,4 juta jiwa yang menjadi simbol keberagaman dan kekuasaan ekonomi dunia.
Namun kemenangan ini tidak datang dengan mudah. Di balik tepuk tangan dan sorak kemenangan, terhampar tantangan besar: politik identitas, konflik global yang memantul ke ruang domestik, dan ujian bagaimana mengubah idealisme progresif menjadi pemerintahan nyata.
Dari Kampala ke Queens: Jejak Aktivis yang Menjadi Pemimpin Kota Dunia
Mamdani lahir di Kampala, Uganda, pada 18 Oktober 1991. Ayahnya, Mahmood Mamdani, seorang pemikir pascakolonial, dan ibunya, Mira Nair, sutradara film terkenal seperti Salaam Bombay! dan The Namesake.
Saat berusia tujuh tahun, keluarganya pindah ke New York, mencari kehidupan baru setelah terusir dari rezim Idi Amin. Ia menempuh pendidikan di Bronx High School of Science, lalu melanjutkan studi di Bowdoin College, mengambil jurusan Africana Studies.
Karier politiknya dimulai dari bawah, sebagai konselor perumahan bagi warga berpenghasilan rendah di Queens. Dari sana ia melihat realitas keras kota New York, di mana harga sewa, gentrifikasi, dan ketimpangan sosial menjauhkan kaum pekerja dari mimpi kesejahteraan. Pada 2020, Mamdani menumbangkan petahana lama di Majelis Negara Bagian New York dan menjadi legislator progresif yang vokal dan tanpa kompromi terhadap kepentingan korporasi besar.
Agenda Progresif: Revolusi Sosial dari Kota Global
Sebagai kandidat wali kota, Mamdani membawa platform yang berakar pada perjuangan sosial. Ia menekankan politik biaya hidup dan keadilan ekonomi.
Program utamanya mencakup:
1. Kenaikan upah minimum menjadi US$30 per jam pada 2030.
2. Pembekuan sewa untuk unit rent-stabilized.
3. Bus kota gratis dan peningkatan kualitas transportasi publik.
4. Toko bahan pangan milik kota untuk menekan harga makanan di wilayah miskin.
5. lnvestasi energi bersih dan penciptaan lapangan kerja hijau (green jobs).
Dalam pidato kampanyenya, Mamdani menegaskan: “Kita tidak bisa menyebut diri kita kota global bila jutaan warganya tidak mampu tinggal di dalamnya.”Bagi para pendukungnya, platform itu bukan sekadar kebijakan, melainkan pembuktian bahwa moralitas sosial masih bisa hidup di tengah mesin kapitalisme Amerika.
Dilema Palestina dan Yahudi New York: Api di Tengah Kemenangan
Namun, di balik citra reformisnya, Mamdani juga menjadi tokoh paling kontroversial di Amerika Serikat. Ia dikenal sebagai pendukung terbuka perjuangan rakyat Palestina, dan menyebut bahwa “the Palestinian cause is central to my identity.”
Pernyataan itu memicu perdebatan besar di New York, kota dengan komunitas Yahudi terbesar di dunia di luar Israel, sekitar 1,6 juta jiwa. Dalam debat publik menjelang pemilihan, Mamdani menyebut bahwa kebijakan Israel di Gaza adalah bentuk “genosida modern.”
Kelompok Yahudi moderat mengecam, menilai ucapannya berbahaya dan menyulut ketegangan. Pemerintah Israel secara resmi menegurnya, menyebutnya “pendukung Hamas.” Di sisi lain, pendukung Mamdani menegaskan bahwa kritik terhadap Israel bukan antisemitisme, melainkan bagian dari perjuangan kemanusiaan universal.
Bagi Mamdani, perdebatan itu adalah ujian moral. Ia menolak menarik ucapannya. “Menolak penjajahan bukanlah kebencian terhadap agama,” katanya, “melainkan cinta pada keadilan.”
Trump Turun Tangan: Serangan Personal dan Politik Ketakutan
Ketegangan memuncak ketika Donald Trump, mantan presiden Amerika Serikat, ikut berkomentar usai Mamdani menang di pemilihan pendahuluan Partai Demokrat. Melalui platform medianya, Trump menulis: “100% Communist Lunatic!” dan menuduh Mamdani mengancam eksistensi warga Yahudi di New York.
Serangan itu viral. Bagi pendukung Mamdani, hal tersebut mempertegas bahwa sistem lama sedang gentar menghadapi politik baru yang berakar pada keberagaman dan solidaritas. Namun bagi lawan-lawan politiknya, komentar Trump menggambarkan keresahan nyata: apakah seorang pemimpin pro-Palestina dapat menavigasi kota dengan populasi Yahudi terbesar di dunia dengan aman dan adil?
Tantangan Memimpin: Dari Idealisme ke Realitas Kota
Kini, setelah euforia kemenangan berlalu, Mamdani menghadapi ujian paling berat dalam hidupnya, yaitu memerintah kota paling kompleks di dunia.
Ia harus menavigasi anggaran lebih dari US$100 miliar, berhadapan dengan serikat pekerja, perusahaan real estat, dan aparat kota yang terbiasa dengan sistem lama. Kebijakan seperti transportasi gratis atau pembekuan sewa menuntut biaya besar dan negosiasi politik panjang.
Selain itu, ia harus menjaga hubungan antara komunitas Yahudi dan Muslim, memastikan keamanan dan solidaritas tetap terjaga di tengah ketegangan global yang bisa dengan mudah menyulut konflik lokal.
Seorang kolumnis The Washington Post menulis bahwa “pemerintahan Mamdani akan menjadi ujian apakah moral progresif dapat bertahan di tengah badai pragmatisme birokrasi kota.”
Simbol Harapan dan Bayangan Risiko
Kemenangan Mamdani menandai babak baru representasi politik Amerika. Ia adalah cerminan generasi baru yang muda, plural, berpihak pada rakyat kecil, dan tak takut menentang arus besar.
Namun kemenangan itu juga membawa risiko besar. Jika ia gagal mewujudkan janjinya atau terjebak dalam konflik identitas, maka New York bisa menjadi laboratorium gagal bagi politik progresif di Amerika Serikat.
Mamdani sendiri menyadari hal itu. Dalam pidato kemenangannya di Astoria, ia berkata:
> “Kita telah membuktikan bahwa suara rakyat tidak bisa dibungkam uang atau propaganda. Kini saatnya membuktikan bahwa keberanian dan cinta bisa membangun kota ini menjadi tempat bagi semua.”
Penutup
Zohran Mamdani bukan sekadar wali kota baru. Ia adalah simbol benturan dua dunia, dunia idealisme yang berapi-api dan dunia kekuasaan yang dingin serta penuh kompromi. Ia membawa api perubahan, tetapi juga harus menanggung panasnya perdebatan ideologi, agama, dan globalisasi.
Sejarah akan menilai apakah ia akan menjadi pemimpin progresif yang mempersatukan kota ini atau justru percobaan politik yang membakar dirinya sendiri di tengah api perbedaan.
Referensi:
Associated Press, Divided Jewish Leaders React with Warnings and Hope as New York Elects Zohran Mamdani as Mayor, 2025.
The Guardian, Zohran Mamdani and New York’s Jewish Divide, 2025.
Time Magazine, Trump Calls Mamdani a “Communist Lunatic” a Day After NYC Primary Upset, 2025.
Washington Post, Mamdani’s Progressive Rise and the Politics of Israel in NYC, 2025.
Jewish Telegraphic Agency (JTA), Mamdani’s Statements on Hamas and Israel–Gaza Debate, 2025.
Middle East Eye, Zohran Mamdani Makes History as NYC’s First Muslim Mayor, 2025.
Wikipedia & NY State Assembly Profile, Biographical Background and Legislative Record, 2025.
Le Monde, Zohran Mamdani: The Socialist Symbolizing the Democratic Revolt, 2025.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
