Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nashiruddin Amin

Umat Yatim Piatu

Agama | 2025-06-25 13:31:35
shutterstock

Regenerasi umat Islam abad 21 lahir dalam keadaan yatim piatu. Sosok umat Islam sebagai “anak” telah kehilangan dua pelindung struktural: Sosok bapak bagaikan negara Islam yang berkomitmen pada perlindungan dan kesejahteraan multinasional umat, dan sosok ibu bagaikan pemimpin militan yang berkomitmen total pada pengabdiannya kepada umat.

Kini. Peran pelindung struktural umat- yakni pemimpin dan negara islam- tergeserkan oleh aktor-aktor luar Islam, seperti Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi perlindungan internasional lainnya. Bukannya tidak boleh, tetapi marwah umat Islam sebagai umat rahmatan lil alamin menjadi mandul, menjelma menjadi umat penadah yang berpangku hidup pada rasa kasihan orang.

Situasi ini diperparah oleh krisis identitas yang mengurung umat dalam sekat-sekat nasionalis dalam artian sempit, bukan pada kesatuan ideologi yang bersifat universal tanpa terikat oleh batasan-batasan geografi suatu negara. Akibatnya, perpecahan mewabah di negara-negara yang menganut agama islam sehingga berdampak kepada perpecahan dan kebencian sesama mereka yang mengaku bertuhan dan memiliki nabi yang sama.

Redupnya Kekuasaan dan Pemimpin Umat Islam

Berabad-abad silam, islam menjadi umat yang menyinari dunia dengan ajaran agamanya. Nilai-nilai dan hukum islam terobjektifikasi dengan baik tanpa memandang agama maupun suatu golongan. Kemajuan teknologi melejit, sains dikembangkan, kedokteran dihargai. Ilmu pengetahuan mendapatkan tempat yang layak untuk dikembangkan secara maksimal.

Semua itu dapat berkembang baik jikalau mendapatkan payung perlindungan dari hukum dan pemimpinya. Dari uraian di atas, setidaknya kita mengetahui gejala kenapa umat ini bisa menjadi beban peradaban dunia modern. Fungsional negara Islam yang mati dan pemimpin yang tidak memiliki spirit pengabdian kepada umat.

Dari segi kekuasaan, umat Islam telah lama berduka cita sejak berakhirnya era kekuasaan Turki Usmani yang menjadi simbol dari perlindungan umat Islam. Berakhirnya kekuasaan Turki Usmani memang banyak melahirkan negara Islam yang baru tetapi belum cukup kuat dan berani menunjukkan identitasnya sebagai ayah yang melindungi anaknya.

Dari segi pemimpin. Kita telah lama kehilangan sosok figur yang berani membela hak-hak manusia secara universal terkhusus kepada umat islam itu sendiri. Kita tidak lagi menjumpai sosok Umar dengan keadilanya yang membela pengusuran gubuk yahudi secara dzalim. Sosok Mu’tashim yang membela kehormatan budak wanita yang menyebabkan pembebasan kota Ammuriah dan sosok Abdul Hamid II pembela tanah Palestina.

Kekuasaan dan Pemimpin Islam kini telah kehilangan panggungnya dalam pencaturan sosiopolitik skala global. Fenomena ini tentunya berdampak bagi ketergantungan dan ketidakberdayaan umat sebegai suatu identitas yang berdaulat.

Aku Melihat Islam di Barat, Aku Melihat Muslim di Timur

“Aku melihat muslim di timur akan tetapi aku tidak melihat Islam di sana, aku melihat Islam di barat akan tetapi aku tidak melihat muslim di sana” Perkataan masyhur ini disampaikan oleh Muhammad Abduh atas kekecewanya melihat umat Islam yang jauh realita yang diisyarakatkan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadis.

Ironisnya, kita melihat ajaran Islam lebih terbumikan di negeri-negeri non muslim. Di sana, keadilan, kebersihan, kejujuran, dan kerja keras lebih nyata dirasakan dibandingkan dengan negeri-negeri yang berpenduduk muslim. Agaknya, di negeri yang mayoritas muslim belum mampu mematuhi dan menerapkan nilai-nilai Islam secara totalitas.

Ajaran Islam sangat power fuul mendukung perkembangan zaman dan menolak kejumudan. Lantas, apakah layak disebut seorang hamba yang taat kepada tuhan tetapi dari segi dunia umat Islam mengalami kemunduran zaman, bukankah itu menyalahi ajaran islam?

Sebagaimana fenomena yang melanda umat Islam pada zaman sekarang, pembantaian muslim di palestina tampak jelas di depan mata. Tapi sayangnya umat yang berjumlah dua miliar tampak tidak berdaya menghentikan peperangan yang terjadi di palestina. Menariknya, kita dapat melihat bagaimana orang barat non muslim lebih totalitas mengkampanyekan isu-isu palestina ketimbang di negeri yang secara moral dan ikatan lebih bertanggung jawab. Kita dapat melihat bagaimana mereka demo mengkampanyekan isu palestina secara berani, berbicara secara lantang di depan forum-forum yang pro terhadap penjajahan palestina.

Umat Islam seharusnya perlu merenung secara mendalam dan jujur terhadap kondisinya saat ini. Pada kondisi ini, diperlukan perubahan kolektif secara menyeluruh dan stuktural. Bukan lagi bertengkar pada permasalahan khilafiyah, mengerdilkan ilmu pengetahuan dan menjadikan akhirat tameng atas kekalahan yang menimpa umat ini.

Keberanian dan Keterbukaan harus menjadi langkah awal untuk menuju perubahan: berani menjadi pribadi muslim yang menerapkan ajaran Islam secara totalitas, sikap terbuka untuk menerima ilmu dari siapapun dan terbuka atas segala kritik terhadap ajaran maupun umat Islam sendiri.

Dilema Sebagai Umat Rahmatan lil Alamin

Kontowijoyo dalam bukunya memberikan standar perihal umat terbaik berdasarkan surat Ali-Imran ayat 110. Setidaknya ada tiga unsur yang harus dipenuhi, humanisasi dalam artian memanusiakan manusia, liberasi dengan maksud pembebasan penjara yang disebabkan oleh nafsu dan transendensi dengan mengaitkan seluruh amal dan cita dengan orientasi kepada tuhan (humanisasi, liberasi dan transedensi).

Islam, pada dasarnya adalah agama sosial. Dalam ajaranya, tidak dijumpai ruang bagi egosentris beribadah dan bermuamalah, semua kegiatan haruslah berdasarkan kepada prinsip rahmatan lil alamin bukan untuk umat islam saja. Oleh karena itu, umat harus bergerak untuk menjadi rahmat bagi alam dengan memegang pada prinsip humanisasi, liberasi dan transendensi.

Untuk mengapai predikat umat terbaik, diperlukan aktifitas dakwah yang mencakup semua kalangan. Dakwah ini tidak terhenti pada ruang-ruang personal semata, melainkan dikembangkan diberbagai tingkatan yang menyeluruh.

Di era modern ini, umat islam kehilangan dua pilar utama dalam aktifitas dakwah: dukungan negara dan figur pemimpin Islam yang kuat. Ketiadaan negara Islam yang benar benar berkomitmen dalam membela hak-hak umat Islam secara multinasional dan figur pemimpin yang kuat menyebabkan banyaknya fungsi ajaran agama yang lumpuh, Hal ini nyata terlihat dalam ketidakberdayaan negara-negara dan pemimpin Islam dalam merespons isu besar seperti tragedi kemanusiaan di Palestina dan pelecehan terhadap agama.

Kondisi lemahnya negara dan figur pemimpin Islam menciptakan ruang ketergantungan umat terhadap aktor-aktor luar. Dalam keadaan terpuruk, umat islam akan senantiasa menjadi umat yang disantuni. Untuk terlepas dari belenggu tersebut, maka diperlukan sistem negara yang responsif terhadap umat islam dan figur pemimpin yang kuat untuk membangkitkan potensi dan kekuatan umat yang telah lama mati suri. Sehingga umat dapat bangkit mandiri dan memberikan rahmatnya bagi seluruh alam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image