Salah Urus Tambang, Salah Paham Tentang Kepemilikan Alam
Kebijakan | 2025-10-19 20:40:21
Angka Rp300 triliun bukanlah angka kecil. Nilai sebesar itu disebut sebagai kerugian negara akibat tambang ilegal dan korupsi di sektor timah, sebagaimana disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya saat penyerahan aset Barang Rampasan Negara (BRN) dari enam smelter ilegal kepada PT Timah Tbk (Tempo.co, 7-10-2025).
Pernyataan tersebut membuka kembali mata publik bahwa pengelolaan tambang di negeri ini masih jauh dari kata tertib. Di balik gemerlapnya potensi sumber daya alam, tersembunyi ironi: negara kehilangan kendali, rakyat kehilangan manfaat.
Padahal, Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya mineral dan energi. Namun, data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa ribuan tambang di Indonesia berstatus bermasalah atau ilegal. Banyak di antaranya menimbulkan kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan kerugian besar bagi negara.
Kebijakan “Pro Rakyat” yang Masih Rawan
Pemerintah saat ini tengah berupaya menertibkan sektor tambang dengan kebijakan baru yang memungkinkan koperasi dan UMKM mengelola tambang serta sumur minyak rakyat. Niatnya baik: membuka lapangan kerja dan memperkuat ekonomi daerah. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu.
Pengelolaan tambang bukan hal ringan. Diperlukan keahlian teknis, modal besar, serta manajemen risiko lingkungan yang ketat. Dalam praktiknya, koperasi dan UMKM sulit menjalankan hal tersebut tanpa menggandeng pihak ketiga. Akhirnya, muncul pola lama: izin di tangan rakyat kecil, tetapi operasional tetap dikerjakan oleh korporasi bermodal besar.
Alih-alih menyejahterakan rakyat, kebijakan seperti ini berpotensi menjadi “swastanisasi terselubung.” Nama rakyat hanya dijadikan tameng legitimasi, sementara pola kapitalistik tetap berjalan. Risiko kerusakan lingkungan pun membayangi, sebagaimana diingatkan para pengamat energi dan lingkungan.
Akar Masalah: Logika Kapitalistik
Salah urus tambang tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang menempatkan sumber daya alam sebagai komoditas bisnis, bukan amanah publik. Dalam logika kapitalisme, negara hanya berperan sebagai pemberi izin dan pengumpul pajak, sedangkan keuntungan besar mengalir ke pihak swasta.
Padahal, tambang adalah sumber daya strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ketika pengelolaannya diserahkan kepada swasta, yang dominan adalah logika keuntungan, bukan kemaslahatan. Akibatnya, rakyat di sekitar tambang tetap hidup miskin, sementara segelintir pihak menikmati hasil bumi yang semestinya milik bersama.
Islam: Kekayaan Alam adalah Amanah Rakyat
Dalam pandangan Islam, tambang termasuk dalam kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah). Rasulullah saw. bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”(HR. Abu Dawud dan Ibn Majah).
Hadis ini menegaskan bahwa segala sumber daya vital yang menjadi kebutuhan banyak orang tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu ataupun korporasi. Negara berkewajiban mengelolanya atas nama rakyat dan mengembalikan manfaatnya kepada rakyat.
Dengan paradigma ini, pengelolaan tambang seharusnya berorientasi pada kemaslahatan publik, bukan pada kepentingan ekonomi segelintir kelompok. Negara hadir bukan sebagai “penonton” atau “pengawas”, tetapi sebagai pengelola aktif yang bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan.
Sistem Islam Menjamin Keadilan dan Keberlanjutan
Dalam sistem politik dan ekonomi Islam, pengelolaan sumber daya alam tidak dilepaskan dari prinsip tanggung jawab negara (ri‘ayah asy-syu’un) terhadap rakyatnya. Kekayaan alam ditempatkan sebagai amanah yang hasilnya disalurkan melalui Baitul Mal untuk kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Negara tidak boleh menyerahkan tambang besar kepada individu atau korporasi, karena itu akan merampas hak milik umum. Namun, tambang kecil dapat dikelola oleh rakyat dengan pengawasan negara. Semua tetap berada dalam bingkai tanggung jawab negara terhadap dampak sosial dan lingkungan.Dengan demikian, sistem Islam tidak hanya menata ekonomi, tetapi juga memastikan keadilan distribusi dan kelestarian sumber daya.
Menata Ulang Arah Kebijakan
Kerugian Rp300 triliun akibat tambang ilegal bukan sekadar masalah penegakan hukum, melainkan juga masalah visi pengelolaan. Sudah saatnya negara menegaskan kembali posisinya sebagai pengelola sumber daya alam, bukan sekadar pemberi izin.
Transparansi, penegakan hukum, dan tata kelola lingkungan harus menjadi pilar utama. Namun lebih dari itu, dibutuhkan perubahan paradigma: kekayaan alam bukan milik investor, melainkan amanah Allah yang harus dijaga dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
Jika arah kebijakan tidak berubah, potensi kerugian akan terus berulang. Namun bila negara berani kembali memegang kendali dan menempatkan tambang sebagai milik publik, maka kekayaan alam Indonesia bisa menjadi sumber kemakmuran, bukan kutukan.
Penutup
Kasus tambang timah hanyalah satu contoh dari banyaknya kebocoran akibat salah urus kekayaan alam. Negara tak boleh terus menjadi penonton yang kehilangan kendali atas kekayaan rakyatnya sendiri.
Sudah saatnya pengelolaan tambang dikembalikan pada semangat keadilan dan amanah:negara sebagai pengurus rakyat, tambang sebagai milik bersama, dan rakyat sebagai penerima manfaat utama. Hanya dengan itu, kekayaan bumi Indonesia benar-benar menjadi berkah, bukan bencana.
Wallāhu a'lam bisshowab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
