Masyarakat Adat: Tumbal Proyek Strategis Nasional atau Penjaga Ekologis?
Humaniora | 2025-10-24 06:28:27
Baru-baru ini pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid memicu kontroversi. Ia menyatakan lahan hutan di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan adalah milik negara dan tidak ada yang bermukim sehingga tidak perlu ada pembebasan lahan. Nyatanya, wilayah hutan yang akan dilepaskan menjadi konsesi tebu dan kelapa sawit tersebut dimiliki oleh 24 kampung masyarakat adat, antara lain Kampung Bibikem, Kampung Yulili, hingga Kampung Kaliki.
Upaya masyarakat adat dalam menjaga wilayah adat telah mengalami kemandekan selama 14 tahun sejak tahun 2006. Proses ini selalu macet ketika sampai pada tahap politik di DPR. Kemandekan kebijakan ini kemudian berujung pada berbagai tumpang tindih kepentingan proyek strategis nasional dengan upaya pelestarian wilayah adat di berbagai daerah.
Keadaan ini pun “memantik api” di beberapa daerah berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) milik pemerintah. Seperti di Flores, NTT yang dijuluki sebagai “sumber panas bumi” yang dipenuhi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) nyatanya berujung pada konflik HAM, lahan yang malah menyemburkan lumpur panas dan mencemari pertanian sehingga berimbas pada penurunan produktivitas tanaman. Hal yang sama terjadi di Kerinci, Provinsi Jambi yang mengalami konflik Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan berujung pada penggusuran warga, pengeringan sungai yang mengurangi sumber pendapatan nelayan. Rentetan kejadian ini membuktikan absennya perhatian pemerintah dalam menjaga wilayah adat Indonesia dari ancaman limbah kebijakan PSN.
Permasalahan ini tak lepas dari sorotan berbagai kalangan. Termasuk Dr. phil. Imam Ardhianto, Asisten Profesor Departemen Antropologi Universitas Indonesia (UI). Dalam Webinar “Suara Masyarakat Adat untuk Keadilan Iklim” oleh Society of Indonesian Science Journalists (SISJ) (18/10/2025) ia menilai titik awal permasalahan ini berasal dari adanya kontradiksi peraturan dan kecacatan regulasi lainnya yang bermuara pada belum kuatnya posisi masyarakat adat dalam proses perumusan kebijakan publik.
Alih-alih berfokus pada kepentingan pengakuan hak-hak masyarakat adat, seringkali muncul paradoks yang berakibat pada terabaikannya pemenuhan hak masyarakat adat. Seperti pada Peraturan Menteri KLHK No.34 Tahun 2017 dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Hak Berkebudayaan Masyarakat Adat. Realitanya bobot regulasi yang ada justru menjadi pengalihan isu tuntutan utama yaitu pengakuan hak atas wilayah adat. Hal ini perlu diingat karena tanpa diikuti pengakuan wilayah, eksistensi kebudayaan adat tidak dapat terlindungi secara efektif.
Jika ingin mengarusutamakan suara masyarakat adat, pemerintah pusat perlu menelaah kembali implementasi berbagai proses kebijakan nasional dalam lingkup komunitas adat.
“Realita mandeknya pemberian hak terkait persetujuan awal tanpa pemaksaan kepada masyarakat adat menjadi bukti nyata. Entah dalam proyek konservasi, pembangunan, atau transmigrasi sehingga hal ini yang paling kritikal karena di lapangan tidak pernah memberikan keterbukaan ruang suara bagi masyarakat adat,” ujar Imam.
Pil pahit yang terus ditelan oleh masyarakat adat adalah absennya perihal environmental justice. Masyarakat adat kerap kali ditempatkan sebagai garda terdepan dalam konservasi mitigasi iklim. Namun, publik tidak mempertimbangkan kendala dan implikasi beban moral yang diberikan cukup berat. Publik pun seakan lupa kearifan lokal yang dimiliki komunitas pun harus dijaga sebagai penopang garda terdepan ekologis. Di sisi lain, pengetahuan lokal adat harus dilihat dari berbagai perspektif yang tidak akan selalu bisa hadir sebagai solusi permasalahan di luar komunitas adat, seperti “limbah” dari proyek-proyek negara.
Alih-alih menjadi penjaga ekologis, Imam menilai pengarusutamaan kearifan lokal milik adat dalam perlindungan alam perlu berkaitan dengan dukungan publik yang acap kali masih sporadis dan sektoral. Harapan dari pemerintah dan publik sangat tinggi, tetapi situasi di lapangan mengatakan yang sebaliknya. “Either kearifan itu sudah ditinggalkan atau either sudah bertransformasi,” tambah Imam.
Irma Tambunan Jurnalis Kompas Jambi dalam webinar yang sama menegaskan adanya dilema di tengah masyarakat adat.
“Tradisi-tradisi dalam rangka menjaga ekologis masih tetap ada, tetapi terancam karena faktor lainnya sehingga mereka (masyarakat adat) dihadapkan pada dilema. Apakah masih bisa dilestarikan atau tidak karena melestarikan tradisi rasanya semakin berat seiring muncul resiko yang harus dihadapi masyarakat adat,” tuturnya.
Kejanggalan yang terus terjadi dalam konflik-konflik serupa membuahkan pertanyaan besar. Apakah “pembiaran” kondisi ini merupakan salah satu taktik para pemilik kepentingan agar proyek-proyek besar tetap bisa berjalan dan meraup keuntungan?
Sayangnya, semakin jauh konsesi ini berdiri di tanah adat, semakin mengusir eksistensi komunitas dan melambatkan proses keadilan regulasi yang selalu diperjuangkan. Sudah sepatutnya jika perusahaan mendapatkan alokasi korporasi, maka harus diikuti dengan alokasi ruang hidup bagi masyarakat adat. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu melepas kacamata bisnis negara dan memberi perhatian lebih jauh melalui perspektif keadilan iklim bagi komunitas adat. Menempatkan masyarakat adat sebagai garda terdepan berarti menempatkan mereka dalam kedudukan aktif yang setara pada pertimbangan publik.
Menjaga masyarakat adat sama dengan menjaga bumi. Sudah waktunya untuk terus bernafas dalam rengkuhan masyarakat adat, menjaga yang bukan sekadar kata, melainkan menyadari dan memahami kepemilikan akan kearifan bangsa sebab masyarakat adat adalah denyut yang membuat ibu pertiwi tetap bernyawa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
