Tawarruq: Menjembatani Kebutuhan Finansial dan Prinsip Syariah
Ekonomi Syariah | 2025-06-25 09:25:14
Dalam dunia keuangan modern, kebutuhan akan instrumen pembiayaan yang sesuai dengan prinsip syariah semakin meningkat. Salah satu konsep yang banyak dibahas dalam fiqh muamalah kontemporer adalah tawarruq. Meskipun awalnya merupakan konsep klasik dalam transaksi jual beli, tawarruq kini telah berevolusi menjadi salah satu pilar penting dalam produk pembiayaan syariah, terutama di sektor perbankan Islam. Namun, penerapannya tidak lepas dari kritik dan tantangan, terutama terkait kredibilitas dan kesesuaiannya dengan maqashid syariah.
Artikel ini akan mengulas konsep dasar tawarruq, aplikasinya dalam sistem keuangan modern, serta bagaimana kredibilitasnya dapat dijaga melalui pendekatan yang hati-hati dan transparan.
Apa Itu Tawarruq?
Secara etimologis, tawarruq berasal dari kata wariq yang berarti perak atau uang. Dalam istilah fiqh, tawarruq adalah suatu bentuk transaksi di mana seseorang membeli suatu barang secara kredit, kemudian menjualnya kembali secara tunai kepada pihak ketiga untuk mendapatkan likuiditas.
Contoh sederhananya: A membeli komoditas dari B secara cicilan, lalu menjualnya kepada C secara tunai. Tujuannya bukan untuk memiliki barang, melainkan untuk memperoleh dana tunai tanpa melibatkan riba.
Tawarruq berbeda dengan bai’ al-‘inah, meskipun keduanya sering disamakan. Dalam bai’ al-‘inah, transaksi jual beli terjadi antara dua pihak yang sama, sedangkan dalam tawarruq, ada pihak ketiga yang terlibat, sehingga dianggap lebih sahih secara syariah oleh sebagian besar ulama.
Mayoritas ulama dari mazhab Hanbali dan sebagian dari mazhab Syafi’i membolehkan tawarruq dengan syarat-syarat tertentu, seperti:
- Transaksi dilakukan secara nyata (bukan fiktif).
- Tidak ada kesepakatan tersembunyi antara pembeli dan penjual untuk menjual kembali barang kepada pihak tertentu.
- Barang yang diperjualbelikan harus memenuhi syarat sah jual beli (ada, halal, dimiliki, dan bisa diserahterimakan).
Namun, sebagian ulama kontemporer, seperti dari kalangan Majma’ al-Fiqh al-Islami, memberikan catatan kritis terhadap praktik tawarruq modern yang dianggap terlalu artifisial dan hanya sebagai “jalan belakang” untuk mendapatkan uang tunai dengan bunga terselubung.
Aplikasi Tawarruq dalam Perbankan Syariah
Dalam praktiknya, tawarruq telah menjadi fondasi bagi berbagai produk pembiayaan di bank syariah, seperti:
- Pembiayaan pribadi (personal financing)
- Pembiayaan rumah dan kendaraan
- Kartu kredit syariah
- Instrumen pasar uang antarbank syariah
Salah satu contoh implementasi nyata adalah di Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB), yang menggunakan sistem Tawarruq Financing Automation. Dalam sistem ini, nasabah membeli komoditas dari pasar komoditas (misalnya Bursa Suq al-Sila’), lalu menjualnya kembali kepada pihak ketiga melalui platform digital. Proses ini dilakukan secara otomatis dan terdokumentasi, sehingga meminimalkan risiko manipulasi dan meningkatkan transparansi.
Menakar Kredibilitas: Antara Formil dan Substansi
Kredibilitas tawarruq sebagai instrumen syariah sangat bergantung pada bagaimana ia diterapkan. Ada dua pendekatan yang perlu diperhatikan:
1. Kepatuhan Formil terhadap Syariah
Bank dan lembaga keuangan harus memastikan bahwa setiap transaksi memenuhi rukun dan syarat jual beli. Ini mencakup:
- Kepemilikan barang secara sah sebelum dijual kembali.
- Tidak adanya kesepakatan tersembunyi antara pihak-pihak yang terlibat.
- Barang yang diperjualbelikan bukan sekadar fiktif atau simbolik.
2. Kesesuaian Substansi dengan Maqashid Syariah
Lebih dari sekadar kepatuhan hukum, tawarruq harus mendukung tujuan syariah (maqashid), seperti:
- Menghindari riba dan eksploitasi.
- Memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses pembiayaan.
- Mendorong keadilan dan transparansi dalam transaksi.
Jika tawarruq hanya menjadi “kamuflase” dari pinjaman berbunga, maka secara substansi ia kehilangan nilai syariahnya, meskipun secara formil sah.
Tantangan dan Kritik
Beberapa kritik utama terhadap tawarruq modern antara lain:
- Kurangnya niat kepemilikan barang : Banyak nasabah tidak pernah melihat atau mengetahui barang yang dibeli.
- Transaksi yang terlalu cepat dan otomatis : Proses digitalisasi kadang membuat transaksi kehilangan makna jual beli yang sebenarnya.
- Potensi manipulasi harga komoditas : Jika harga tidak mencerminkan nilai pasar, maka bisa terjadi ketidakadilan.
Namun, dengan sistem yang transparan dan pengawasan syariah yang ketat, tantangan ini bisa diatasi. Beberapa bank telah menerapkan audit syariah berkala dan melibatkan Dewan Pengawas Syariah dalam setiap produk baru.
Di Indonesia, tawarruq mulai digunakan dalam produk pembiayaan syariah, meskipun belum sepopuler murabahah atau ijarah. Salah satu tantangan utama adalah ketersediaan pasar komoditas yang sesuai dan infrastruktur digital yang mendukung transaksi real-time.
Namun, peluangnya sangat besar, terutama untuk:
- UMKM yang membutuhkan likuiditas cepat tanpa riba.
- Lembaga keuangan mikro syariah yang ingin memperluas portofolio produk.
- Pemerintah daerah yang ingin mengembangkan pembiayaan syariah berbasis komunitas.
Dengan dukungan regulasi dari OJK dan DSN-MUI, serta kolaborasi antara bank syariah dan platform digital, tawarruq bisa menjadi solusi pembiayaan yang kredibel dan inklusif.
Tawarruq bukan sekadar instrumen teknis dalam fiqh muamalah, tetapi cerminan dari upaya umat Islam untuk menghadirkan solusi keuangan yang adil, transparan, dan sesuai syariah. Agar tawarruq tetap kredibel, diperlukan:
- Komitmen lembaga keuangan untuk menjalankan prinsip syariah secara substansi, bukan hanya formil.
- Edukasi kepada masyarakat agar memahami hak dan kewajiban dalam transaksi.
- Inovasi teknologi yang mendukung transparansi dan efisiensi.
Dengan pendekatan yang etis dan profesional, tawarruq dapat menjadi jembatan antara kebutuhan likuiditas dan komitmen terhadap nilai-nilai Islam. Ia bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga bermakna secara sosial dan spiritual.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
