Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Zainul Mustofa

Zakat Digital: Bagaimana Fikih Menghitung Harta Kripto?

Agama | 2025-12-15 11:43:50

Perkembangan aset kripto seperti Bitcoin dan Ethereum telah menciptakan kategori kekayaan baru yang nilainya fantastis, melampaui batas geografis dan mata uang tradisional. Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting bagi umat Muslim: Apakah aset digital ini wajib dizakati? Dan bagaimana Fikih Muamalah kontemporer menghitung kewajiban zakat atas harta yang sifatnya volatil dan tak berwujud?

Jika Zakat adalah instrumen keadilan sosial dan penyuci harta, maka ia harus mampu beradaptasi dengan bentuk-bentuk kekayaan yang muncul di era digital.

Aset Kripto sebagai Harta Mustafad

Dalam Fikih klasik, kewajiban zakat dikenakan pada beberapa kategori harta, di antaranya emas dan perak (an-naqdani), barang dagangan (‘urudh at-tijarah), dan hasil pertanian. Untuk menentukan apakah aset kripto wajib dizakati, para ulama kontemporer sepakat untuk meninjaunya dari dua aspek utama: status harta (mal) dan tujuan kepemilikannya.

Mayoritas ulama kontemporer mengklasifikasikan aset kripto sebagai Harta Mustafad, yaitu harta yang baru diperoleh atau diinvestasikan. Dalam konteks ini, aset kripto dapat diperlakukan sebagai barang dagangan (‘urudh at-tijarah) jika tujuan utamanya adalah trading atau investasi spekulatif untuk dijual kembali demi keuntungan.

Jika kepemilikan kripto diniatkan sebagai barang dagangan, maka ia wajib dizakati. Perhitungannya adalah: Nilai pasar aset kripto (saat haul) \times 2.5%. Ketentuan ini berlaku jika nilainya telah mencapai nisab emas (sekitar 85 gram) dan telah dimiliki selama satu tahun penuh (haul).

Tantangan Volatilitas dan Kepastian Hukum

Tantangan utama dalam zakat kripto adalah volatilitas harga yang ekstrem. Menghitung nisab dan nilai zakat di tengah fluktuasi harga harian memerlukan ketegasan dalam penetapan waktu perhitungan (haul).

Untuk menghindari kerumitan, dianjurkan bagi pemilik aset kripto yang aktif berdagang untuk menghitung nilai zakat pada tanggal tertentu setiap tahunnya (misalnya, 1 Ramadhan) menggunakan harga market pada hari itu.

Namun, bagaimana jika kripto hanya disimpan sebagai aset jangka panjang (holding)? Jika niatnya adalah sebagai alat tukar di masa depan (walaupun saat ini belum sepenuhnya diakui sebagai mata uang), atau sebagai aset yang berfungsi layaknya tabungan emas, maka sebagian ulama menganalogikannya dengan zakat uang simpanan, dengan perhitungan yang sama (nisab dan haul terpenuhi).

Penegasan dan Kesadaran Digital

Meskipun masih terjadi perdebatan fiqih terkait status hukum perdagangan kripto (apakah halal, haram, atau syubhat), kewajiban zakat atas harta yang telah dimiliki secara sah dan telah mendatangkan keuntungan adalah sebuah keniscayaan.

Zakat atas aset digital adalah jembatan untuk memastikan kekayaan di era baru ini tidak hanya berputar di kalangan tertentu, tetapi juga memiliki kontribusi sosial. Kewajiban Fikih ini menuntut kesadaran dan kejujuran para pemilik aset kripto untuk menyucikan hartanya, sehingga kekayaan digital pun dapat mendatangkan keberkahan bagi diri sendiri dan kesejahteraan bagi umat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image