Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image ibnu fajri andipa alamsyah

Ketika Harta Tidak Lagi Sekadar Milik, Tetapi Amanah

Agama | 2025-12-16 09:14:37

Di tengah kehidupan modern, harta sering kali menjadi tolok ukur kesuksesan. Semakin banyak yang dimiliki, semakin tinggi pula nilai seseorang di mata sosial. Rumah, kendaraan, tabungan, hingga aset digital menjadi simbol pencapaian. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: apa sebenarnya makna harta dalam pandangan Islam?

Islam tidak menafikan pentingnya harta. Justru, Islam memberikan perhatian besar terhadap bagaimana harta diperoleh, dikelola, dan digunakan. Dalam kajian fiqh muamalah, harta (al-māl) tidak dipahami semata sebagai benda yang dimiliki, melainkan sebagai amanah yang sarat dengan tanggung jawab moral dan sosial.

Harta dalam Islam: Bukan Sekadar KepemilikanSecara sederhana, harta adalah sesuatu yang dimiliki dan bernilai. Namun dalam perspektif Islam, tidak semua yang diinginkan manusia otomatis disebut harta. Para ulama menjelaskan bahwa harta adalah sesuatu yang memiliki nilai, dapat dimanfaatkan secara halal, dan dilindungi oleh hukum syariah. Artinya, harta bukan hanya soal “punya”, tetapi juga soal “boleh” dan “bermanfaat”.Pandangan ini membuat Islam berbeda dari cara pandang materialistik.

Dalam Islam, nilai harta tidak hanya diukur dari jumlahnya, tetapi dari cara memperolehnya dan untuk apa ia digunakan. Manusia Bukan Pemilik MutlakSalah satu prinsip paling mendasar dalam Islam adalah bahwa kepemilikan manusia bersifat relatif. Pemilik sejati seluruh harta adalah Allah SWT, sementara manusia hanyalah pengelola.

Konsep ini mengubah cara pandang seseorang terhadap kekayaan. Harta bukan sesuatu yang boleh diperlakukan sesuka hati, melainkan titipan yang suatu saat akan dimintai pertanggungjawaban.Kesadaran ini seharusnya melahirkan sikap hati-hati dalam mencari nafkah, menjauhkan diri dari praktik yang tidak adil, serta mendorong penggunaan harta pada hal-hal yang bernilai kebaikan.

Harta Sebagian Ujian, Bukan TujuanIslam memandang harta sebagai salah satu bentuk ujian. Kekayaan bisa menjadi jalan menuju kebaikan, tetapi juga bisa menjerumuskan jika disalahgunakan. Banyak konflik, ketimpangan sosial, dan kerusakan moral berawal dari cara pandang yang keliru terhadap harta.

Karena itu, Islam tidak mendorong umatnya untuk menumpuk kekayaan tanpa arah. Penimbunan harta tanpa fungsi produktif dan sosial justru bertentangan dengan nilai keadilan dan kemaslahatan yang menjadi ruh ekonomi Islam.

Fungsi Sosial HartaBerbeda dengan sistem ekonomi yang menekankan kepemilikan absolut, Islam menegaskan bahwa dalam setiap harta terdapat hak orang lain. Prinsip ini diwujudkan melalui zakat, infak, dan sedekah. Harta tidak boleh berhenti pada satu tangan, tetapi harus mengalir dan memberi manfaat yang lebih luas.Di sinilah harta menemukan makna sejatinya: bukan sebagai alat pamer kekayaan, melainkan sebagai sarana memperkuat solidaritas sosial dan mengurangi kesenjangan.

Relevansi di Zaman SekarangDi era digital dan ekonomi modern, bentuk harta semakin beragam. Namun prinsip dasarnya tetap sama. Selama sesuatu diakui bernilai, bermanfaat, dan tidak bertentangan dengan syariah, ia dapat dikategorikan sebagai harta. Fleksibilitas ini menunjukkan bahwa fiqh muamalah tidak ketinggalan zaman, tetapi justru mampu menjawab tantangan ekonomi kontemporer.

Pemahaman yang benar tentang konsep harta menjadi fondasi penting bagi pengembangan ekonomi syariah yang berkeadilan dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.PenutupIslam tidak mengajarkan umatnya untuk miskin, tetapi juga tidak membenarkan penghambaan pada harta. Kekayaan hanyalah sarana, bukan tujuan. Ketika harta dipahami sebagai amanah, maka ia akan membawa keberkahan, bukan sekadar kepuasan sesaat.Di sinilah Islam menawarkan keseimbangan: bekerja keras untuk meraih harta, namun tetap sadar bahwa di balik setiap kepemilikan, terdapat tanggung jawab kepada Tuhan dan sesama manusia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image