Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Urip Hidayat

#KaburAjaDulu: Bukan Tren, tapi Sinyal Bahwa Negara Gagal Merawat Harapan

Humaniora | 2025-06-25 03:20:59
Sumber : AI

Di beranda media sosial saya, seorang mahasiswa menulis: “Kalau bisa, gue mau kerja di luar dan gak balik lagi.” Komentarnya disambut ribuan likes dan balasan yang senada. “Same,” tulis satu. “Gue juga,” tulis yang lain. Tak satu pun bernada mencibir.

Inilah kenyataan hari ini: anak-anak muda tidak sedang bercanda. Mereka sedang menyerah—bukan pada mimpi mereka, tapi pada tanah tempat mimpi itu seharusnya bertumbuh.

#KaburAjaDulu bukan sekadar tagar lucu-lucuan atau pelarian sementara. Ini adalah refleks kolektif atas krisis harapan yang tak pernah benar-benar ditangani. Ketika ruang tumbuh menyempit, suara dibungkam, dan masa depan tak lagi menjanjikan stabilitas, maka yang tersisa hanyalah satu: jalan keluar.

Negara yang Tak Lagi Menawarkan Jalan Naik

Gaji stagnan, harga rumah tak terjangkau, pendidikan yang makin mahal, dan sistem kerja yang eksploitatif menjadikan generasi ini kerja keras tanpa jaminan naik kelas.

Sebuah laporan Bank Dunia pada 2024 menyebutkan bahwa hanya 2 dari 10 lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang bekerja sesuai kompetensinya. Sisanya mengambang di sektor informal, kerja lepas tanpa jaminan sosial, atau terpaksa berwirausaha karena tak ada pilihan lain.

Mereka bukan malas. Mereka hanya menabrak dinding yang dibangun sistem itu sendiri.

Pemerintah yang Tak Lagi Menyediakan Harapan

Ketika anak muda mengharapkan negara hadir, yang datang justru pemangkasan anggaran pendidikan, pembiaran pada ketimpangan digital, dan glorifikasi program-program jangka pendek yang tak menyentuh akar persoalan.

Contoh paling nyata adalah keputusan memotong lebih dari Rp 300 triliun anggaran pendidikan, sementara biaya makan gratis untuk sekolah dasar disorot sebagai program unggulan. Apakah masa depan cukup dengan makan siang, sementara ruang kuliah dibiarkan gelap?

Suara yang Dipadamkan, Identitas yang Diabaikan

Krisis ini bukan hanya ekonomi, tapi juga eksistensial. Ketika mahasiswa turun ke jalan, mereka disebut gaduh. Ketika aktivis bersuara, mereka dilabeli makar. Ketika guru, dosen, dan peneliti menyampaikan kegelisahan, mereka dibungkam lewat aturan birokratis yang menjerat.

Anak muda merasa tidak hanya tidak dibantu, tapi juga tidak dianggap. Mereka ingin mencintai negeri ini, tapi negeri ini seperti menolak dicintai kembali.

Lawan Narasi: “Jangan Kabur, Berjuang di Sini”

Seringkali muncul suara: “Jangan kabur. Berjuanglah di tanah sendiri.” Tapi pertanyaannya: berjuang dengan apa, untuk siapa, dan di sistem yang bagaimana?

Semangat patriotik tak bisa hidup di atas ketidakadilan struktural. Cinta pada tanah air tak bisa terus diperas dari generasi yang tak pernah diberi ruang untuk tumbuh. Berjuang membutuhkan harapan, bukan sekadar beban.

Jangan Cemari Luka dengan Cemoohan

Mereka yang ingin pergi bukan pengkhianat. Mereka hanya ingin hidup dengan layak, dihargai, dan didengarkan. Dan jika negara terus mengabaikan jeritan ini, maka bukan mereka yang salah ketika memilih pergi—tapi kita semua yang gagal menciptakan alasan untuk bertahan.

Negara yang tidak bisa merawat harapan anak-anak mudanya, sedang menyemai kehancuran jangka panjang. Bukan hanya kehilangan generasi, tapi kehilangan masa depan.

Penulis : Moh. Urip Hidayat, S.Pd. | Pegiat Literasi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image