Pulau Jadi Rebutan: Antara Gengsi, Sumber Daya, dan Ancaman Perpecahan
Agama | 2025-06-20 09:14:51Empat pulau di Aceh Singkil—Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang—telah resmi masuk wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, berdasarkan Kepmendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025. Perubahan ini memicu sengketa, karena Pemerintah Aceh tetap mengklaim kepemilikannya, sementara Sumut mengacu pada keputusan pusat. Pemerintah Aceh sendiri menolak keputusan pemindahan empat pulau ke Sumut dan tengah memperjuangkan peninjauan ulang.
Kepala Biro Pemerintahan Aceh, Syakir,menyatakan bahwa verifikasi lapangan telah dilakukan bersama Kemendagri,menunjukkan bukti kepemilikan, infrastruktur, serta peta batas wilayah sejak1992. Bukti lain termasuk dokumen tanah 1965, prasasti di Pulau Mangkir Ketek,dan hasil koordinasi lintas kementerian tahun 2022 yang menyebut pulau-pulauitu masuk wilayah Aceh. Senator Haji Uma pun telah menyuarakan hal ini ke Kemendagri sejak 2017, namun belum ada respons. (kompas.com)
Pernyataan tersebut menyoroti persoalan yang muncul akibat sistem Otonomi Daerah (Otda), yaitu ketika daerah diberikan wewenang luas untuk mengelola urusan pemerintahan dan sumber daya di wilayahnya masing-masing. Dalam konteks pemindahan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara, polemik terjadi karena wilayah tersebut diduga mengandung pitensi kekayaan alam seperti minyak dan gas. Artinya, sengketa ini bukan semata persoalan batas administratif, tapi juga menyangkut kepentingan ekonomi yang besar.
Konflik seperti ini mencerminkan sisi rawan dari sistem otonomi yang, meski memberi keleluasaan daerah untuk berkembang, juga bisa memicu persaingan antar wilayah jika tidak diatur dengan adil. Dalam sistem Otda yang terinspirasi dari pemerintahan modern di Barat, pemisahan kewenangan pusat dan daerah dibuat agar efisien dan responsif. Namun, jika pembagian tanggung jawab dan hak tidak diimbangi dengan prinsip keadilan, maka risiko konflik seperti perebutan sumber daya menjadi nyata.
Dibalik prinsip kebebasan daerah, ada konsekuensi serius—terutama ketika wilayah yang disengketakan menyimpan potensiekonomi strategis.Otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas kepada setiap pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri berbagai urusan pemerintahan di wilayahnya, termasuk dalam hal pengelolaan sumber pendapatan. Dengan sistem ini, tiap daerah memiliki keleluasaan dalam merancang kebijakandan strategi pembangunan sesuai dengan potensi dan kebutuhan lokalmasing-masing. Namun, kondisi ini juga membuka kemungkinan terjadinya ketimpangan antar daerah, terutama dalam hal taraf hidup masyarakat.
Daerah yang kaya akan sumber daya alam cenderung lebih cepat berkembang dibandingkan daerah lain yang kekayaannya terbatas. Karena itu, tak heran jika muncul persaingan atau bahkan konflik perebutan wilayah ketika suatu daerah diduga menyimpan potensi sumber daya seperti minyak dan gas bumi. Sistem otonomi daerah bisa memunculkan kecemburuan sosial, terutama dari wilayah yang merasa tertinggal dibanding daerah lain yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi. Ketimpangan kesejahteraan yang terjadi antar daerah dapat menimbulkan ketegangan bahkan mengarah pada disintegrasi sosial. Kondisi ini berbeda dengan sistem sentralisasi, di mana kebijakan dan distribusi sumber daya lebih dikendalikan pemerintah pusat, sehingga perbedaan antarwilayah cenderung lebih terkontrol.
Dalam Islam, sistem pengelolaan wilayah bersifat terpusat, di mananegara memegang kendali penuh untuk menjamin kesejahteraan seluruh rakyat secara adil dan merata. Pemerataan ini tidak bergantung pada besar kecilnya pendapatan tiap daerah, karena seluruh kekayaan dikelola negara demi kepentingan seluruh umat. Tetapi berdasarkan kebutuhan masing-masing daerah demi tercapainya kemaslahatan masyarakat.
Dalam Islam, pemimpin berkewajiban bersikap adil dalam mengatururusan rakyat karena ia diposisikan sebagai pelindung dan pengurus umat.Tanggung jawab ini bukan hanya bersifat duniawi, tetapi juga akan dimintaipertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
TAMBANG TERMASUK HARTA MILIK UMUM
Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fii Daulati al-Khilafah menjelaskan bahwa tambang dalam Islam dibagi menjadi dua ,yakni : barang tambang yang jumlahnya sedikit boleh dimiliki individu, sementara tambang yang jumlahnya melimpah dikategorikan sebagai milik umum dan tidak boleh dimonopoli oleh siapa pun. Pengelolaan kekayaan alam seperti ini wajib dijalankan oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk keuntungan pihak swasta atau kelompo ktertentu. Islam melarang negara memberikan hak kepemilikan atau konsesi kepada individu atau perusahaan, terutama asing, atau menjualnya. Jika negara perlu melibatkan pihak lain, perusahaan swasta misalnya, mereka hanya boleh menjadi pelaksana teknis, bukan pemilik. Negara berakad ijarah dengan perusahaan tersebut untuk mengelola sumberdaya tertentu. Dan hasil pengolahan tambang ini nantinya akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pengelolaanyang sesuai syariah ini diyakini akan memastikan keadilan distribusi kekayaandan kesejahteraan bagi seluruh umat.
Ⓦ
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
