
Mati Lampu
Sastra | 2025-06-18 16:11:54
Saat hujan deras, semua jendela ditutup rapat agar udara dingin dan rintikannya tidak mengenai lantai, terutama meja belajarku yang dipenuhi dengan buku-buku. Ini sudah memasuki bulan November. Sudah waktunya hujan turun secara terus menerus dan untungnya tanah depan rumahku telah ditimbun usai peristiwa banjir tahun lalu. Malam dengan bayang-bayang pohon saling bersahutan dengan angin untuk melayangkan rintik-rintik hujan secara bergantian. Sehingga walau daun-daun itu tidak sebesar daun pohon mangga depan rumahku, suara rintik yang mengenai tubuhnya terdengar, meski samar dan diselingi dengan kilatan petir menyambar.
Aku hanya berdua dengan ayahku. Ibu sedang berada di luar kota mengurus toko kuenya yang sedang laris manis. Memang secara jadwal seharusnya ibu sudah sampai di rumah saat magrib tadi. Namun karena kawasan yang dilalui ibu juga sedang diguyur hujan deras, pasti ibu mengundur waktu untuk sampai tepat waktu.
Ponsel yang sejam lalu tidak aku sentuh lantaran hujan dan petir terus menggelegar di atas awan membuatku trauma karena kasus kematian tetanggaku dulu di kampung Mahakam akibat lalai selalu menggunakan ponsel di setiap waktu tanpa berhati-hati. Terutama saat ponselnya dicaspun tetap saja ia mainkan walaupun ibunya berungkali memperingatkan.
"Suryo, udah sholat isya?" Tiba-tiba suara ayah terdengar dari balik pintu.
"Eh ayah udah..udah ." Jawabku sambil membuka pintu.
"Awas kamu kalau bohong ya."
"Hehehehe." Aku hanya ketawa kecil dan berbisik dalam hati untung tidak ketahuan.
Aku masih ingin menikmati komik yang baru aku beli. Baru 130 lembar selesai. Sisa 460 halaman lagi. Sambil mengecek luar jendela. Aman dan tidak ada apapun. Baiklah, aku langsung merebahkan tubuh ke atas kasur sambil membaca.
Klek...klek....
Suara dari arah tombol lampu berbunyi. Aku terbangun dari rebahan dan tak lama kemudian lampu padam dan dorrrr kilatan petir memanjang dengan suaranya yang begitu keras menghantam malam. Aku tidak takut, sudah biasa lampu mati memang di kampung ini.
Klek...
Lampu menyala lagi, Alhamdulillah ucapku sambil memulas dada. Saat aku balik, tiba-tiba lampu mati lagi. Aku berhenti, lalu melihat ke belakang. Tapi suara apa itu, seperti ada seseorang yang habis menekan tombol lampu. Aku kembali mengecek jendela, dan di luar terlihat tidak mati lampu. Ada apa? Apakah sakelar listrik sedang bermasalah. Baiklah, aku coba ke bawah. Pasti ayah juga sudah tertidur makanya tidak membangunkanku.
Akupun membuka pintu dan menuruni anak tangga. Saat tiba di tangga ketiga, cahaya lampu yang berasal dari kamarku tiba-tiba hidup. Ada apa ini? Apa yang terjadi. Jantungku mulai berdebar kencang. Pikiranku kalut, ada yang tidak beres. Akhirnya kembali ke kamar, tapi lebih ragu ke bawah. Maka, aku memilih atas dan tepat di tangga pertama, klek....lampu mati kembali. Aku sudah pasrah, apakah ini KUALAT istilah untuk anak-anak pembohong sepertiku. Tanpa ragu, aku menorobos masuk ke kamar dan menuju toilet untuk berwudhu. Tetapi bodohnya aku, lampu mati air dalam bak kotor mana sah untuk wudhu. Akupun keluar dari toilet, dan lihat, itu JEJE si oyen kucing paling bendel. Ngapain dia di belakang pintu, di atas lemari buku, dasar binatang memang, dialah pelaku utama yang membuatku hampir copot jantung. Akhirnya, ketakutan tadi menyadarkanku untuk tidak lagi berbohong dan langsung melaksanakan shalat Isya. Meskipun untuk sementara misteri mati lampu berkali-kali ini belum pasti perbuatan si oyen.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.