Membingkai Ulang Peran Relawan dalam Tata Kelola Publik di Indonesia
Politik | 2025-06-18 11:56:37
Saat kita mendengar kata “sukarelawan” atau “relawan, kita sering mengenal mereka sebagai seseorang yang muncul di tengah krisis, mendistribusikan bantuan, menjaga posko, atau sekadar melakukan penggalangan dana, yang dimana keterlibatan mereka juga bersifat sementara. Pertanyaannya, apakah kita bisa melihat relawan ini bukan hanya dari sisi apa yang mereka lakukan, tetapi juga apakah mereka bisa mengambil bagian dalam sistem pemerintahan kita? Artikel ini ingin mengajak kita semua untuk mulai memikirkan ulang posisi relawan. Mereka bukan sekadar sekumpulan orang yang muncul saat terjadi suatu krisis, namun bagaimana peran mereka dalam membantu pemerintah menjalankan tugas-tugas pelayanan ke masyarakat. Mereka bukan sekadar pelengkap dalam suatu sistem pemerintahan, namun bisa menjadi bagian penting dari tata kelola publik itu sendiri.
Menggeser Paradigma: Relawan Sebagai Bagian dari Reformasi Birokrasi
Dunia birokrasi dan dunia relawan adalah suatu sistem yang dapat berkaitan. Seperti yang dikatakan oleh N. Ertas (2014) bahwa pegawai negeri yang memiliki motivasi pelayanan publik (Public Service Motivation) cenderung lebih aktif untuk menjadi relawan. Artinya, dunia birokrasi dan dunia relawan tidak berjauhan dan dapat saling mendukung. Pegawai pemerintah bisa menjadi bagian dari gerakan sosial, dan sebaliknya. Menariknya lagi, M. Ivonchyk (2019) dalam penelitiannya menemukan bahwa dalam 10 tahun terakhir, jumlah relawan di sektor publik makin naik. Di saat yang sama, pengeluaran pemerintah daerah dan jumlah pegawai tetap justru mengalami penurunan. Sehingga, banyak negara mulai melihat bahwa melibatkan relawan dapat dijadikan strategi untuk efisiensi birokrasi. Namun sayangnya, Penelitian yang dilakukan oleh Tang, Morrow-Howell, dan Choi (2010) menunjukkan bahwa relawan, terutama mereka yang sudah menempuh usia lanjut, sering kali memutuskan untuk berhenti menjadi sukarelawan, bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena sistem pendukung yang kurang memadai. Mereka membutuhkan sarana pelatihan, waktu bekerja yang jelas, atau sekadar dukungan dalam ranah administratif. Sehingga masalah tersebut muncul bukan karena lelah semata, tetapi karena sistem yang tidak mendukung mereka untuk terus terlibat.
Kolaborasi Lintas Sektor dalam Kerelawanan Indonesia
Jika kita melihat ke dalam negeri, sudah banyak contoh kolaborasi yang melibatkan relawan. Misalnya, saat pandemi Covid-19 di Gunungkidul, Evi Nilawati (2022) mengamati bahwa kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta bisa berjalan efektif jikalau ketiganya memiliki prinsip, semangat, dan tujuan yang sama. Di sini, relawan tidak berdiri sendiri, tetapi ikut andil menjadi bagian dari jaringan kerja sama dengan berbagai pihak. Penelitian dari Riyanta dan Kurniati (2019) juga mendukung hal ini. Dalam program pengentasan kemiskinan, mereka melihat bahwa, apabila relawan dilibatkan bersamaan dengan pemerintah dan organisasi non-pemerintah, hasilnya akan lebih terasa. Masyarakat tidak hanya dijadikan sebagai objek bantuan, tetapi juga menjadi subjek agar mereka ikut terlibat langsung dalam perubahan.
Mengapa Posisi Relawan Pelu Diperkuat dalam Sistem Publik?
Ada beberapa alasan kenapa kita harus membingkai ulang posisi relawan
- Membantu Tekanan Anggaran Pemerintah: Seperti yang dikatakan oleh Ivonchyk, relawan dapat membantu mengurangi beban fiskal pemerintah. Misalnya, ketika tenaga kerja terbatas dan anggaran kecil, keterlibatan relawan bisa menambal kekurangan itu, asal mereka dibekali pelatihan dan arahan yang jelas.
- Memperkuat Hubungan antara Birokrasi dan Masyarakat: Temuan Ertas seputar pegawai negeri yang juga aktif menjadi relawan akan membuka peluang untuk menjalin koneksi yang lebih erat antara birokrasi dan masyarakat. Bisa kita bayangkan, jikalau banyak ASN yang juga terlibat aktif dalam kegiatan sosial, komunikasi antara pemerintah dan warga juga akan lebih terbuka.
- Menjaga Keberlanjutan Layanan Publik: Penelitian Tang dkk menunjukkan bahwa, apabila relawan tidak didukung secara administratif, mereka akan merasa “burnout”. Akibatnya, ketika dibutuhkan kembali, mereka sudah tidak bersedia lagi. Padahal, di banyak daerah, pelayanan publik masih sangat terbantu dengan kehadiran mereka.
Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah?
Supaya relawan benar-benar menjadi bagian dari sistem tata kelola, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan:
- Membuat Sistem dan Aturan Formal: Pemerintah bisa merancang kebijakan yang secara resmi mengakui peran relawan. Misalnya, membuat semacam District Volunteer Registry atau daftar relawan resmi di tiap daerah. Mereka akan mendapatkan deskripsi tugas yang jelas, seperti membantu pelayanan publik, menjadi fasilitator pengaduan warga, atau membantu mengelola data partisipatif.
- Memberikan Insentif dan Pelatihan: Agar dapat bekerja dengan baik, relawan perlu dibekali pelatihan awal, kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya, dan sedikit insentif sebagai penyemangat. Tidak harus dalam bentuk uang, insentif tersebut bisa berupa sertifikat, rekomendasi pekerjaan, atau kesempatan untuk mengikuti seminar. Hal-hal ini penting untuk menjaga semangat mereka agar dapat bekerja dengan maksimal.
- Membangun Mekanisme Kolaboratif yang Terukur: Organisasi relawan atau komunitas masyarakat bisa dilibatkan dalam proyek-proyek publik secara resmi, misalnya proyek bantuan bencana, pengentasan kemiskinan, atau program kesehatan masyarakat. Namun hal tersebut harus mempertimbangkan indikator kinerja yang jelas, misalnya berapa banyak warga yang terbantu, seberapa cepat respon yang diberikan, dan seberapa besar pengaruhnya. Membuka Peluang Karier untuk Relawan Aktif Pemerintah dapat dijadikan batu loncatan untuk jenjang karier informal relawan. Misalnya, kenaikan jabatan relawan senior menjadi koordinator atau pelatih. Ini penting untuk menjaga kesinambungan dan dijadikan motivasi bagi relawan-relawan muda agar tetap aktif kedepannya.
Tantangan dan Solusi
Tentu saja, membingkai ulang peran relawan dalam sektor publik bukanlah hal tanpa tantangan. Salah satu kendala utama adalah belum adanya payung hukum yang secara khusus mengatur tentang relawan publik. Selain itu, sering kali terjadi tumpang tindih tugas antara relawan dan aparatur sipil negara (ASN), yang dapat menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaan kerja di lapangan. Tidak semua relawan pun siap menjalankan tugas-tugas administratif yang membutuhkan keterampilan teknis tertentu. Namun, tantangan-tantangan tersebut dapat diatasi melalui sejumlah langkah strategis. Pemerintah dapat mendorong pembentukan Undang-Undang Relawan Publik yang secara tegas mengatur ruang lingkup kerja, hak, dan perlindungan bagi para relawan. Selain itu, sistem pengawasan dan pelaporan sebaiknya berfokus pada hasil kerja, bukan kehadiran semata. Upaya ini perlu didukung dengan pelatihan yang memadai serta pembagian tugas yang selaras dengan kapasitas dan latar belakang relawan, sehingga peran mereka dapat dijalankan secara optimal dan berkelanjutan.
Menuju Pemerintahan Kolaboratif: Relawan sebagai Mitra Strategis
Untuk memperkuat sistem pelayanan publik, keterlibatan berbagai pihak menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindari, termasuk peran aktif para relawan. Namun, sudah saatnya relawan tidak lagi diposisikan sekadar sebagai "bala bantuan" sementara, melainkan diintegrasikan ke dalam sistem pemerintahan secara resmi. Keterlibatan mereka dapat mendorong terciptanya pemerintahan yang lebih terbuka, partisipatif, dan kolaboratif. Dalam model ini, pemerintah tidak lagi bersifat hierarkis yang "melayani dari atas," melainkan hadir sebagai mitra yang berjalan berdampingan dengan masyarakat. Relawan dapat berperan sebagai penghubung, fasilitator, hingga inovator yang menjembatani kebutuhan warga dan institusi publik. Relawan merupakan sumber daya yang sangat potensial, namun selama ini belum dikelola secara optimal. Dengan pendekatan yang lebih serius, meliputi regulasi yang jelas, pelatihan yang memadai, pemberian insentif, serta sistem kerja yang terorganisasi, relawan dapat menjadi kekuatan yang strategis dalam mewujudkan pelayanan publik yang lebih inklusif dan efisien. Oleh karena itu, sudah saatnya kita beralih dari paradigma “pemerintah untuk rakyat” menuju “pemerintah bersama rakyat,” di mana relawan menjadi jembatan utama dalam membangun tata kelola pemerintahan yang responsif dan berdaya saing.
Referensi:
Tang, F., Morrow-Howell, N., & Choi, E. (2010). Why Older Adults Stop Volunteering. Journal of Gerontological Social Work.
Ertas, N. (2014). Public service motivation theory and volunteerism: A research note. Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly.
Ivonchyk, M. (2019). Volunteering and Efficiency in Local Governments. Government Information Quarterly.
Nilawati, E. (2022). Kolaborasi Penanganan Covid-19 di Gunungkidul. Jurnal Ilmu Administrasi.
Riyanta, S., & Kurniati, R. (2019). Governance Kolaboratif dalam Pengentasan Kemiskinan. Jurnal Analis Kebijakan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
