Aceh dan Papua Menjerit: Dua Ujung Tanah Air yang Disayat oleh Pusat
Kebijakan | 2025-06-17 08:33:22
Dari ujung barat hingga ujung timur negeri ini, gemuruh suara rakyat tak kunjung reda. Di timur, bentang surga bernama Raja Ampat hendak ditambang, dijarah nikel dari perut buminya demi transisi energi yang katanya hijau–padahal air mata dan luka yang mengalir. Sementara di barat, Aceh, tanah yang pernah mengangkat senjata demi kata "merdeka", kembali diguncang. Bukan oleh gempa, bukan pula tsunami, melainkan oleh keputusan negara yang enteng memindahkan empat pulau dari pangkuannya–tanpa perundingan, tanpa kejelasan, hanya satu tanda tangan dari Jakarta.
Aceh kembali berduka, dan kemarahan itu kini menyala. “Gerakan Aceh Melawan” menggema. Mahasiswa turun ke jalan, para tokoh adat bersuara, dan sang gubernur pun ikut berdiri di garis perlawanan. Yang mengejutkan: bendera Bulan Bintang kembali dikibarkan. Bukan sebagai simbol separatisme seperti dulu dituduhkan, melainkan simbol peringatan. Bahwa luka Aceh belum sembuh, dan negara sekali lagi mengorek bekas jahitan yang belum kering.
Ironisnya, pemindahan pengelolaan Pulau Panjang, Pulau Lipan, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil ke Sumatera Utara dilakukan hanya berdasarkan kesalahan koordinat peta tahun 2008. Bayangkan: karena titik yang salah di layar komputer, empat pulau itu kini bukan lagi bagian dari Aceh. Seolah-olah batas wilayah bisa digeser seperti folder di desktop.
Padahal, menurut penelitian geospasial Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, keempat pulau itu hanya berjarak 4,7 kilometer dari bibir pantai Aceh, dan lebih dari 22 kilometer dari daratan Sumut. Tapi nyatanya, logika kartografi lebih dipercaya ketimbang jejak sejarah dan lidah masyarakat pesisir yang saban hari melihat pulau-pulau itu dari beranda rumahnya.
“Negara hanya cinta Aceh kalau dia diam. Tapi begitu bersuara, Aceh dianggap pembangkang,” ujar seorang aktivis muda dari Lhokseumawe, dalam satu video di media sosial. Kalimat itu merangkum luka kolektif. Karena Aceh bukan sekali ini saja diperlakukan semena-mena. Otonomi khusus yang dijanjikan dalam perjanjian Helsinki 2005 kini mulai terasa semu. UU Pemerintahan Aceh banyak yang dikebiri pelan-pelan. Dana otsus terus dikurangi. Bahkan bendera daerah hasil qanun sendiri tak kunjung disahkan pusat. Lalu sekarang, wilayah pulaunya pun diambil.
Sementara itu, di ujung seberang, Raja Ampat–tempat di mana Tuhan sedang tersenyum saat menciptanya–dihantui deru alat berat dan dokumen perizinan tambang nikel. Greenpeace Indonesia melaporkan bahwa ada 8.940 hektare lahan yang telah dialokasikan untuk konsesi tambang di kawasan Waigeo Barat, sebuah pulau yang menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati laut kelas dunia. Bahkan, 4.000 hektare di antaranya masuk dalam kawasan hutan lindung dan cagar biosfer. Jika Aceh dibelah karena alasan batas administratif, maka Papua dibelah karena isi perut buminya terlalu menggiurkan.
Dua ujung negeri yang sama-sama dianaktirikan. Satu dipinggirkan karena sejarah perlawanan, satu lagi diperas karena kekayaan alamnya. Jakarta tampak sibuk membangun Ibu Kota Nusantara, tapi seakan lupa menjaga ujung-ujung republik ini agar tidak patah. Negeri ini memang besar, tapi tidak sepatutnya dikelola dengan tangan birokrat yang gemar menekan tombol dan meneken dokumen tanpa menyapa suara rakyat.
Kini benar kata Sukarno bahwa ada masanya negeri ini akan melawan negaranya sendiri. “Kalau negara ini ingin merampas, ia tidak datang dengan senjata, tapi dengan peta, SK, dan aparat.” Satire yang getir dari salah satu cuitan di media sosial, tapi nyata. Pulau bukan lagi sebatas tanah, ia menjadi komoditas. Siapa yang punya akses ke ruang perizinan dan pengambilan keputusan, dialah yang berkuasa. Rakyat yang hidup di sekitarnya? Mereka hanya jadi catatan kaki, seperti anak-anak kampung yang mendengar dongeng bahwa tempat tinggalnya telah dipindah ke provinsi tetangga.
Di tengah situasi ini, rakyat Aceh dan Papua sama-sama tahu: mereka tidak punya banyak pilihan selain bersuara. Tapi sayangnya, suara dari pinggiran seringkali hanya dianggap gaduh oleh pusat. Bendera Bulan Bintang yang dikibarkan, lalu dimaknai sebagai ancaman; padahal itu hanyalah tanda bahwa kesabaran mulai habis. Raja Ampat yang menolak tambang, dituduh anti kemajuan. Padahal mereka hanya ingin laut tetap biru, dan karang tetap hidup.
Indonesia, negeriku yang katanya Bhineka. Tapi hari ini, keanekaragaman bukanlah yang dijaga, melainkan yang dikorbankan atas nama kesatuan semu. Di barat, pulau hilang dari pangkuan. Di timur, alam digerus demi logam mulia. Di tengah, Jakarta menonton dari gedung-gedung pencakar langit, seraya terus bicara tentang “visi 2045”.
Suatu hari nanti, mungkin kita akan sadar bahwa kita tidak sedang membangun negara, tapi membongkarnya perlahan, dari pinggir ke pusat.
Dan sejarah akan mencatat: dari bulan bintang hingga nikel dan beton, kita pernah lupa pada makna rumah bersama.
Catatan Tambahan:
- SK Mendagri No. 300.2.2-2138/2025 menetapkan 4 pulau masuk Sumatera Utara.
- Menurut riset Geospatial Universitas Syiah Kuala, pulau-pulau tersebut lebih dekat ke Aceh daripada ke Sumut.
- Di Papua Barat, Raja Ampat menghadapi ancaman dari 6 izin tambang nikel di pulau Waigeo Barat.
- Greenpeace menyatakan konsesi tambang itu berada dalam kawasan hutan lindung dan cagar biosfer UNESCO.
- Dana otonomi khusus Aceh dikurangi sejak 2023, dari Rp8 triliun menjadi Rp2 triliun per tahun.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
