Lisan Nir Empati, Kebijakan Asal Kutip (lagi)
Politik | 2025-11-01 08:22:57
Menteri dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian mengajak masyarakat yang tinggal di daerah penghasil pangan lokal untuk meninggalkan konsumsi beras putih. Terlebih, di wilayah Indonesia Timur atau zona tiga (Papua dan pulau-pulau) yang harga berasnya kerap tinggi karena masalah distribusi (merdeka,com,27-10-2025).
Tito menyampaikan kebijakannya usai Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah yang dirangkaikan dengan Program Koperasi Desa Merah Putih dan Program Tiga Juta Rumah di Kampus IPDN jatinangor, Jawa Barat, Senin, 27 oktober 2025. Beras, menurut Tito juga lebih berbahaya dari pangan lainnya karena mengandung banyak gula. Tito mengimbau pemerintah daerah turut ambil peran melakukan peralihan konsumsi beras ke pangan lokal di wilayah masing-masing. Tito juga menyayangkan masih adanya anggapan konsumsi pangan lokal merupakan kebiasaan masyarakat kelas bawah, Sementara masyarakat yang tinggal di kota justru mengikuti tren meninggalkan makan beras putih demi kesehatan. titopun meminta siapapun untuk cek di rumahnya ia sudah rutun konsumsi keladi hingga talas rebus sebagai pengganti nasi.
Lisan Nir Impati, Kebijakan Asal Kutip
Terulang kembali lisan pejabat negeri ini nir empati kepada kesulitan rakyatnya. Melarang stop konsumsi beras dan beralih kepada pangan lokal selain beras. Dahulu saat cabe mahal, rakyat diminta tanam cabe, telor mahal diminta beralih ikan dan lainnya. Hanya karena menghadapi persoalan harga beras tinggi dan tidak meratanya distribusi.
Dalam sistem hari ini seolah kita tidak memiliki pejabat yang pandai, profesionalitas dan benar-benar ada untuk menyelesaikan persoalan masyarakat sekaligus menjamin kesejahteraannya. Benarlah pejabat spek demikian langka di negeri ini? jawabnya tentu tidak, setiap tahunnya perguruan tinggi negeri ini meluluskan banyak sarjana di berbagai bidang, mereka berjubel di pintu job fair atau bahkan berebut formulir di Program Magang Berbayar, semua karena negara tidak bersungguh-sungguh memberi mereka lahan pekerjaan.
Sistem Kapitalisme yang hari ini diterapkan memang meminimalisir peran negara. Asas sekulerisme (pemisahaan agama dari kehidupan) yang mendasarinya menjadikan sistem ini condong menjadikan pendapat manusia sebagai aturan, sesuai istilahnya "Kapital" maka dalam hal ini mereka yang bermodal yang berkuasa.
Maka bisa kita lihat penguasa negeri ini getol mencari investasi, menjajakan kekayaan negeri yang berlimpah ke berbagai negara. Dengan harapan semakin banyak yang tertarik, maka investasi masuk pun semakin banyak dan boom! perekonomian naik, pendapatan negara dari pajak pun meningkat. Perkara apakah rakyat mampu mengakses peningkatan ekonomi hingga tingkatan individu per individu samasekali tidak menjadi perhatian besar kecuali ala kadarnya.
Bisa kita lihat bagaimana kebijakan penguasa yang lain dengan penyaluran BLT, KIP, bansos, pasar sembako murah dan lainnya yang sifatnya populis dan temporal. Hanya sekadar memantik daya beli masyarakat meningkat, tidak berkelanjutan. Sebab berkelanjutan itu mahal, APBN tidak akan sanggup menanggung dan yang terpenting negeri ini sudah kehilangan kedaulatannya.
Berbagai kekayaan alam yang menjadi kepemilikan umum sejatinya mampu memenuhi kebutuhan rakyat jika dikelola dengan benar oleh negara. Demikian pula dengan kebijakan tanah, muamalah syari dan pengaturan aspek lainnya yang berbasis riayah (pengurusan) akan mengembalikan keadaan menjadi lebih baik. Pembukaan lahan dengan alasan Proyek Strategis nasional (PSN) dan ketahanan pangan hangus begitu saja meninggalkan kerusakan ekosistem. di sisi lain kebijakan impor tetap dibuka, tanpa memperhatian nasib petani.
Islam Solusi Hakiki Sejahterakan Umat
Dari Uqbah bin Amir ia berkata," Rasulullah bersabda, Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka" (HR.Ibnu Asakir Abu Nu'aim). Sangatlah jelas apa yang dimaksud dalam hadis, mereka yang hari ini akan dimintai pertanggungjawaban Allah atas apa yang mereka urusi dan layani. Seorang pemimpin dalam Islam sangatlah berat, tak cukup ia mengatakan bersedia menjadi pemimpin dan berharap bayaran yang tinggi dan hidup enak di atas rakyat namun dipastikan ia orang bertakwa, takut kepada Allah dan yang kenyang terakhir setelah rakyatnya.
Persoalan pokok ada pada Sistem Kapitalisme yang memang memainkan jalur distribusi dan monopoli ketahanan pangan dalam makna komoditas semata. Para pengusaha kelas kakap, kartel besar yang melibatkan banyak modal dan stakholder seringkali menjadi tuan sebenarnya dari pemerintah.
Islam memiliki politik pangan yang berpihak kepada rakyat, Negara diwajibkan tidak kalah dengan para pedagang yang hanya mengejar keuntungan semata dan kemudian menghasilkan politik pertanian dan pangan yang buruk. Maka pertama, negara wajib menjamin pemenuhan pangan bagi setiap individu tanpa terkecuali. Dengan mengoptimalkan penyediaan pasokan pangan dari dalam negeri dengan melaksanakan konsep pertanian Islam. Kedua, memaksimalkan potensi pertanian dalam negeri dengan modernisasi pertanian dan melakukan sindergi antar wilayah sehingga tidak perlu impor beras,
Kita bisa melihat sejarah bagaimana Khalifah Umar bin Khathab, saat kekeringan dan kelaparan parah melanda di madinah pada tahun ke-18 setelah hijrah. tahun itu masyhur disebut Ar-Ramadah karena angin menerbangkan debu seperti abu (ar-ramad). Banyak kematian, hingga Umar melakukan berbagai usaha untuk membantu rakyatnya, termasuk mendistribusikan pangan dari Dar ad-Daqeeq. Khalifah Umar pun berdoa memohon ampunan dan rezeki dari Allah hingga turunlah hujan dan berakhirlah bencana, Wallahualam bissawab,
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
