Ketika Tambang Hadir, Alam dan Warga Menjadi Korban
Eduaksi | 2025-06-16 16:32:34
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, termasuk sektor pertambangan yang menjadi penopang utama perekonomian nasional. Dengan cadangan batu bara, nikel, emas, tembaga, dan bauksit yang besar, Indonesia telah menjadi pemain utama dalam pasar komoditas global. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi batu bara Indonesia pada tahun 2023 mencapai sekitar 775 juta ton, meningkat dari tahun sebelumnya yang berada di angka 687 juta ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 500 juta ton diekspor ke berbagai negara, terutama India, Tiongkok, dan Jepang, sementara sisanya digunakan untuk kebutuhan domestik, termasuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Indonesia tercatat sebagai negara penghasil nikel terbesar di dunia, dengan produksi pada tahun 2022 mencapai lebih dari 1,6 juta ton. Aktivitas tambang banyak tersebar di berbagai wilayah seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Papua, dengan melibatkan ribuan perusahaan dan jutaan tenaga kerja baik formal maupun informal.
Masifnya aktivitas pertambangan di Indonesia tidak selalu diiringi dengan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip keberlanjutan. Salah satu persoalan yang mencolok adalah banyaknya perusahaan tambang yang tidak melaksanakan kewajiban reklamasi dan pascatambang, meninggalkan lahan rusak, lubang-lubang bekas tambang yang berbahaya, dan pencemaran lingkungan yang tak terkendali. Data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyebutkan bahwa hingga 2022 terdapat lebih dari 3.000 lubang tambang batu bara di Kalimantan Timur saja, dan hanya sebagian kecil yang ditutup atau direklamasi secara benar. Bahkan, beberapa lubang berada sangat dekat dengan permukiman dan sekolah, menimbulkan risiko tinggi bagi keselamatan masyarakat, terutama anak-anak.
a. Dampak tambang ilegal bagi lingkungan
Tambang ilegal atau penambangan tanpa izin (PETI) menjadi salah satu masalah lingkungan terbesar di Indonesia. Kegiatan ini umumnya dilakukan tanpa standar keamanan, tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), dan tanpa memperhatikan daya dukung ekosistem. Penambangan emas ilegal misalnya, banyak dilakukan di sepanjang aliran sungai di Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, hingga Sulawesi Utara, dengan menggunakan merkuri dan sianida yang sangat beracun. Zat berbahaya ini tidak hanya mencemari sungai, tetapi juga masuk ke rantai makanan, memengaruhi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan secara jangka panjang. Di Kalimantan Barat, penambangan bauksit ilegal di kawasan hutan lindung menyebabkan hutan gundul, tanah longsor, dan kerusakan tata air yang menyebabkan banjir bandang. Karena PETI tidak memiliki kewajiban pemulihan lingkungan, maka setelah sumber tambang habis, wilayah tersebut ditinggalkan dalam kondisi rusak parah tanpa pemulihan.
Selain itu, tambang ilegal secara langsung memperburuk kualitas lingkungan hidup dan mempercepat hilangnya keanekaragaman hayati. Di banyak daerah, hutan yang sebelumnya menjadi rumah bagi berbagai spesies langka kini telah berubah menjadi bukit-bukit gersang atau lubang-lubang besar penuh air limbah. Di kawasan Papua dan Kalimantan, deforestasi akibat tambang ilegal turut mendorong perubahan iklim mikro, mempercepat pemanasan lokal, dan memicu kekeringan di musim kemarau. Mirisnya, banyak dari kerusakan ini terjadi di luar radar negara karena lokasi tambang tersembunyi di pedalaman atau karena adanya keterlibatan aktor-aktor berpengaruh yang melindungi aktivitas ilegal tersebut. Dengan demikian, PETI tidak hanya menjadi masalah lingkungan, tetapi juga masalah tata kelola sumber daya alam yang serius dan membutuhkan pendekatan lintas sektor untuk mengatasinya secara menyeluruh.
b. Hambatan dan tantangan dalam mengatasi tambang yang merusak lingkungan serta solusi demi masa depan
Mengatasi tambang yang merusak lingkungan di Indonesia menghadapi berbagai hambatan struktural, politis, dan teknis. Salah satu hambatan utama adalah lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum. Banyak perusahaan tambang besar yang melanggar ketentuan lingkungan tetap beroperasi tanpa sanksi karena memiliki hubungan dekat dengan aktor politik dan penguasa lokal. Aparat penegak hukum pun sering tidak netral atau bahkan terlibat dalam melindungi aktivitas ilegal. Di sisi lain, kapasitas pemerintah daerah untuk mengontrol tambang sering terbatas, baik dari sisi anggaran, sumber daya manusia, maupun teknologi. Tambang ilegal yang tersebar di kawasan terpencil dan sulit dijangkau juga membuat proses penindakan menjadi sangat sulit. Selain itu, data dan informasi yang tidak transparan memperburuk situasi, karena masyarakat tidak memiliki akses untuk memantau status izin, lokasi tambang, atau rencana reklamasi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
