Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syafiqul Akbar

Ketimpangan Kesetaraan Gender di Era Modern

Eduaksi | 2025-06-16 12:18:33

Ketimpangan Kesetaraan Gender di Era Modern

Pendahuluan

Gender merupakan konsep sosial yang membedakan peran, perilaku, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Berbeda dari jenis kelamin yang bersifat biologis, gender adalah hasil konstruksi sosial yang dapat berubah seiring waktu dan budaya. Di era modern, perempuan telah mencapai banyak kemajuan dalam pendidikan dan profesi, namun ketimpangan kesetaraan gender masih menjadi isu penting yang belum sepenuhnya terselesaikan. Ketimpangan ini sendiri tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, seperti diskriminasi di dunia kerja, rendahnya representasi perempuan dalam kepemimpinan, serta beban ganda dalam ranah domestik dan publik. Tidak hanya dalam tindakan nyata, bias gender juga tercermin dalam bahasa yang digunakan sehari-hari.

Dalam kajian berjudul Bias Gender dalam Verba Bahasa Inggris, Sri Isnani Setiyaningsih (2025) menjelaskan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga mencerminkan budaya masyarakat. Ia menemukan bahwa verba dalam bahasa Inggris menunjukkan kecenderungan bias terhadap jenis kelamin tertentu. Kata kerja seperti to lead, to manage, dan to decide sering diasosiasikan dengan laki-laki. Sebaliknya, kata seperti to care, to giggle, dan to cry diasosiasikan dengan perempuan.

Analisis ini mengungkapkan bahwa stereotip gender yang ada dalam budaya Barat, secara tidak sadar direproduksi melalui bahasa. Dengan demikian, bahasa menjadi sarana yang mempertahankan peran dominan laki-laki dan memarginalkan peran perempuan.

Pendekatan Teoritis dan Kajian Internasional

Menurut teori Sapir-Whorf atau relativitas bahasa, struktur bahasa memengaruhi cara manusia berpikir. Jika bahasa yang digunakan menunjukkan bias gender, maka pengguna bahasa tersebut cenderung berpikir dan bertindak sesuai dengan bias tersebut, Struktur bahasa sangat memengaruhi cara manusia berpikir artinya cara kita berbicara dan kata-kata yang kita pilih bisa membentuk cara kita melihat dunia. Jika bahasa yang digunakan mengandung bias gender—misalnya selalu menganggap laki-laki sebagai pemimpin atau memakai kata-kata yang merendahkan perempuan—maka orang yang menggunakan bahasa itu cenderung ikut berpikir sesuai dengan bias tersebut. Akibatnya, mereka mungkin menganggap bahwa peran laki-laki lebih penting atau bahwa perempuan hanya cocok di ranah domestik. Karena itu, penting untuk menggunakan bahasa yang adil agar tidak ikut melanggengkan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan.

Penelitian Sczesny dkk. (2018) menunjukkan bahwa penggunaan bahasa netral gender seperti they, chairperson, atau humankind dapat membantu mengurangi persepsi bias gender. Sebuah studi oleh Rutgers University (2022) juga menemukan bahwa selama lebih dari dua dekade, buku teks pelajaran bahasa Inggris masih menunjukkan dominasi karakter laki-laki dibanding perempuan.

Studi NLP global (2025) mengkonfirmasi bahwa dari 22 negara yang dianalisis, mayoritas buku pelajaran masih menggambarkan laki-laki sebagai pemimpin, ilmuwan, dan pengambil keputusan, sementara perempuan cenderung digambarkan dalam peran domestik.

Jika suatu masyarakat terbiasa menggunakan bahasa yang bias, maka masyarakat tersebut juga akan memiliki pola pikir yang bias. Oleh karena itu, bahasa yang inklusif sangat penting dalam membentuk kesadaran sosial akan pentingnya kesetaraan gender.

Ketimpangan Gender di Era Modern

Di era modern, ketimpangan gender masih terlihat nyata. Perempuan masih menghadapi hambatan struktural dalam meraih posisi kepemimpinan. Mereka cenderung dibayar lebih rendah dibanding laki-laki meskipun memiliki kemampuan yang sama. Di sektor pendidikan, bidang-bidang seperti teknik dan teknologi masih didominasi oleh laki-laki karena adanya stereotip maskulinitas. Dalam media dan iklan kerja, kata-kata seperti "ambisius", "tegas", dan "pemimpin" sering kali muncul, yang menurut penelitian membuat perempuan merasa tidak cocok dengan posisi tersebut. Stereotip ini memperkuat peran tradisional dan membatasi ruang gerak perempuan dalam masyarakat modern.

Solusi dan Penutup

Untuk mengatasi ketimpangan ini, reformasi bahasa dan pendidikan sangat diperlukan. Bahasa harus digunakan secara inklusif, netral gender, dan bebas dari stereotip. Lembaga pendidikan dan media juga perlu aktif menyuarakan kesetaraan gender dalam setiap representasinya.

Kesetaraan gender bukan hanya tanggung jawab perempuan, melainkan seluruh lapisan masyarakat. Bahasa memiliki kekuatan untuk membentuk pemikiran, dan dengan menggunakan bahasa yang adil, kita dapat membentuk dunia yang lebih setara. Kesadaran kecil, seperti memilih kata yang netral dan tidak diskriminatif, dapat berdampak besar dalam jangka panjang menuju masyarakat yang adil dan setara.

Daftar Pustaka

Rutgers University. (2022). Gender representation in English language textbooks. Rutgers School of Education.

Sczesny, S., Formanowicz, M., & Moser, F. (2018). Can gender-fair language reduce gender stereotyping and discrimination? Frontiers in Psychology, 9, 1–12.

Setiyaningsih, S. I. (2025). Bias gender dalam verba Bahasa Inggris. Jurnal Bahasa dan Gender, 13(1), 45–58.

Studi NLP Global. (2025). Gender Bias in Educational Materials across 22 Nations. International Computational Linguistics Forum.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image