Penyegelan Minimarket di Surabaya dan Urgensi Skema Parkir yang Berkeadilan
Kebijakan | 2025-06-15 21:50:37
Oleh: Prof. Rossanto Dwi Handoyo Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga
Penyegelan lahan parkir sejumlah minimarket oleh Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menyita perhatian. Alasannya jelas: praktik parkir liar yang dikeluhkan masyarakat. Pemerintah ingin merespons tegas. Namun, penyegelan ini mengundang pertanyaan: adilkah menutup tempat usaha karena masalah parkir?
Penegakan hukum tak bisa lepas dari kejelasan regulasi dan proporsionalitas tindakan. Jika yang dilanggar adalah ketentuan parkir, maka sanksi semestinya menyasar aspek perparkiran. Bukan langsung menyegel unit usaha. Di sini, pendekatan hukum terlihat tergesa dan minim refleksi tata kelola.
Minimarket adalah salah satu dari banyak bangunan usaha dengan lahan parkir terbuka. Jika pendekatan represif hanya menyasar mereka, maka muncul kesan tebang pilih. Ketertiban yang diharapkan justru berubah menjadi ketidakadilan yang terasa. Ini mencerminkan lemahnya desain kebijakan, bukan sekadar penegakan yang lemah.
Kewajiban menyediakan juru parkir resmi dan parkir gratis tentu ideal. Namun pelaksanaannya tidak sesederhana itu. Minimarket harus menyediakan tenaga kerja tambahan, menanggung beban biaya, dan pada saat yang sama memenuhi kewajiban pajak parkir. Ironisnya, mekanisme pajak itu sendiri masih tidak transparan dan tidak berbasis sistem yang jelas.
Selama ini, pengelolaan pajak parkir di minimarket belum memiliki formula yang terstandar. Pemerintah memungut, tetapi tidak ada sistem yang bisa memastikan jumlah kendaraan masuk atau nilai transaksi parkir secara akurat. Hal ini membuka celah ketidakefisienan dan potensi ketidakadilan antarpelaku usaha.
Solusi seharusnya tidak hanya berupa larangan dan sanksi. Pemerintah kota bisa menggandeng penyedia jasa parkir profesional untuk membangun sistem parkir resmi. Di banyak pusat perbelanjaan, skema seperti ini berhasil. Penggunaan teknologi membuat pelaporan lebih transparan dan penghitungan pajak lebih akurat.
Alternatif lain adalah menjadikan area parkir minimarket sebagai titik retribusi yang dikelola langsung pemerintah. Pemerintah menunjuk juru parkir resmi, memberikan tiket retribusi, dan menarik biaya dari pengguna. Tapi konsekuensinya, masyarakat harus membayar parkir, meski dalam tarif resmi dan lebih rendah.
Opsi retribusi memang membuka peluang kontrol langsung. Tapi pemerintah harus memilih: ingin menjamin parkir gratis bagi warga atau ingin menarik penerimaan dari perparkiran? Kebijakan tidak bisa mengakomodasi keduanya secara penuh dalam satu waktu. Di sinilah perlunya kejelasan arah.
Persoalan juru parkir liar tidak bisa dilepaskan dari dimensi sosial. Banyak di antara mereka bekerja karena kebutuhan ekonomi. Tidak sedikit yang menjadikan ini satu-satunya sumber penghasilan. Menertibkan tanpa memberi alternatif hanya akan memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.
Sikap tegas memang diperlukan untuk memberi efek jera. Namun, konsistensi jauh lebih penting. Penindakan tanpa pembaruan sistem hanya akan jadi wacana musiman. Ketika perhatian publik surut, jukir liar bisa muncul kembali. Tanpa skema yang sistemik, kota akan terus sibuk dengan siklus penertiban yang tak berujung.
Pemerintah perlu duduk bersama pelaku usaha dan masyarakat. Solusi tidak bisa bersifat satu arah. Dibutuhkan tata kelola kolaboratif, bukan koersif. Jika pemerintah ingin parkir gratis, maka harus mendesain insentif dan skema teknis bagi pelaku usaha. Jika ingin menarik pajak parkir, maka sistem pelaporannya harus transparan dan adil.
Tidak semua minimarket punya skala usaha besar. Banyak yang kecil dan beroperasi secara mandiri. Menyeragamkan perlakuan pajak atau kewajiban tambahan justru berisiko menambah beban dan mengancam keberlanjutan usaha kecil. Dalam kebijakan publik, keadilan tidak boleh dikorbankan demi ketertiban semu.
Penyegelan juga berisiko menciptakan preseden. Jika pelanggaran kecil disanksi dengan penutupan usaha, maka ke depan pelaku usaha akan berada dalam ketakutan. Hal ini bisa menghambat investasi dan menurunkan kepercayaan pada tata kelola kota.
Surabaya adalah kota jasa dan perdagangan. Tata kelola parkir seharusnya mendukung iklim usaha, bukan memperumitnya. Kebijakan publik harus menjawab kebutuhan warga, melindungi pelaku usaha, dan menjamin hak atas ruang kota yang tertib dan adil.
Tindakan cepat memang menarik simpati publik. Tapi kebijakan yang baik lahir dari proses panjang: mendengar, mengkaji, dan merancang. Penyegelan minimarket menunjukkan satu hal penting bahwa kita belum memiliki sistem yang matang untuk mengatur ruang kota secara berkeadilan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
