Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dr. H. Dana, M.E.

Benarkah Semua yang Berlabel Islam Harus Murah?

Pendidikan dan Literasi | 2025-06-12 16:38:37

Di tengah masyarakat kita, masih terdapat pandangan bahwa segala sesuatu yang berlabel Islam seolah-olah harus murah, namun tetap memberikan pelayanan yang sempurna. Sekolah berbasis pesantren diharapkan murah, tapi di sisi lain kualitas pendidikannya tetap harus unggul. Rumah sakit Islam diminta terjangkau, tapi fasilitas dan pelayanannya setara dengan rumah sakit swasta papan atas. Inilah yang menjadi persoalan, dimana harapan yang tidak seimbang, menginginkan mutu yang tinggi tanpa disertai kesiapan untuk memberikan dukungan biaya yang memadai.

Padahal realitanya, tidak ada layanan berkualitas tanpa dukungan biaya yang memadai. Mengelola sekolah pesantren dengan fasilitas lengkap, guru-guru kompeten, kurikulum unggulan, dan asrama yang layak, jelas membutuhkan sumber daya besar. Demikian pula rumah sakit Islam yang ingin memberikan layanan setara rumah sakit umum papan atas, semuanya membutuhkan alat canggih, tenaga ahli, dan sistem manajemen yang rapi. Semua itu butuh biaya.

Namun ironisnya, ketika lembaga Islam memungut biaya yang sesuai dengan kualitas, tidak jarang langsung dicemooh, “Mengapa mahal? Katanya Islam?” Di sisi lain, masyarakat yang sama berani membayar lima juta rupiah per bulan untuk sekolah internasional, atau rela antri dan membayar mahal di rumah sakit swasta demi mendapatkan pelayanan cepat. Tidak terdengar protes. Ketika berlabelkan Islam, justru ekspektasinya harus murah dengan kualiats sempurna.

Harus kita pahami bersama, bahwa pelayanan yang prima tidak mungkin lahir dari biaya yang murah. Dalam kenyataan, kualitas selalu berjalan beriringan dengan biaya. Tidak ada sekolah unggulan tanpa tenaga pengajar terbaik. Tidak ada rumah sakit modern tanpa alat medis yang lengkap. Semua itu menuntut investasi besar, baik dari sisi infrastruktur, sumber daya manusia, maupun sistem pelayanan.

Sebagian mungkin berargumen bahwa di negara-negara mayoritas Muslim seperti Arab Saudi, Qatar, atau Uni Emirat Arab, ada layanan pendidikan atau kesehatan yang berkualitas tinggi dan gratis. Itu benar. Tapi jangan lupa, kualitas tinggi tetap dihasilkan dari biaya yang tinggi pula, hanya saja biaya itu tidak dibebankan langsung kepada masyarakat. Pemerintahlah yang menanggungnya, sering kali melalui subsidi. Masyarakat memang tidak membayar mahal secara langsung, tapi negara yang membayarnya dalam bentuk lain.

Artinya jelas, kualitas tidak pernah gratis. Ia hanya berpindah tangan siapa yang membayar. Jika bukan masyarakat, maka pemerintah. Jika bukan pengguna, maka sponsor. Tapi selalu ada biaya di balik mutu. Maka tidak adil jika kita berharap lembaga-lembaga Islami di Indonesia menghadirkan layanan sekelas internasional, sementara masyarakat sendiri tidak siap menanggung biaya yang sepadan.

Tentu, kita juga harus jujur bahwa tidak semua keluarga mampu membayar biaya pendidikan yang tinggi. Banyak orang tua dengan penghasilan terbatas ingin menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren agar mendapatkan pendidikan yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak dan kuat secara spiritual. Harapan ini bukanlah sesuatu yang keliru justru mulia. Namun, kebutuhan masyarakat akan pendidikan Islami yang terjangkau tidak seharusnya menjadi alasan untuk menekan lembaga pendidikan agar menurunkan kualitas demi menyesuaikan harga.

Yang perlu dibangun adalah kesadaran kolektif. Bahwa lembaga pendidikan Islami bukan hanya tanggung jawab pengelola atau pendiri saja, tapi juga membutuhkan dukungan umat secara luas. Jika ingin biaya pendidikan bisa lebih terjangkau, maka harus ada sistem subsidi silang, beasiswa, atau dukungan dari para dermawan dan lembaga filantropi Islam. Dengan begitu, anak-anak dari keluarga tidak mampu tetap bisa mendapatkan akses pendidikan berkualitas tanpa harus membebani lembaga secara tidak realistis.

Beban yang diemban oleh sekolah berbasis pesantren tidaklah ringan. Di sekolah umum, pelajaran terbatas pada kurikulum nasional. Tapi di sekolah pesantren, pelajaran umum tetap diajarkan, ditambah lagi dengan pelajaran agama seperti akidah, fikih, tafsir, hadits, bahasa Arab, dan pembinaan akhlak. Belum lagi kewajiban tinggal di asrama, program tahfiz, kegiatan ibadah harian, dan pembinaan mental spiritual. Ini berarti beban kerja guru lebih besar, kebutuhan tenaga pendidik lebih banyak, fasilitas yang dibutuhkan pun lebih kompleks. Maka sangat wajar jika biaya operasionalnya juga lebih besar.

Alhamdulillah kita juga tidak memungkiri terdapat sebagian masyarakat mulai mengalami perubahan pola pikir. Tidak sedikit orang tua yang kini menyadari pentingnya pendidikan Islam yang baik. Mereka rela berinvestasi lebih besar untuk menyekolahkan anak-anaknya di lembaga berbasis pesantren karena meyakini bahwa di sanalah tempat terbaik untuk membentuk akhlak, kedisiplinan, dan pemahaman agama yang kuat. Mereka tidak lagi sekadar mencari sekolah yang murah, melainkan pada pendidikan yang benar-benar membekali anak untuk menghadapi kehidupan dunia dan akhirat.

Islam tidak pernah melarang memungut biaya yang wajar. Islam justru menekankan keadilan dalam memberi upah, kewajaran dalam transaksi, dan pentingnya keberlangsungan usaha. Lembaga Islam bukan hanya perlu survive, tapi juga perlu berkembang, dan itu hanya bisa terjadi jika masyarakat tidak sekadar menuntut, tapi juga ikut menopang.

Sudah saatnya mengubah pola pikir. Bahwa murah bukan satu-satunya ukuran Islami atau tidak. Islami tidak selalu identik dengan gratis. Jika kita ingin layanan pendidikan, kesehatan, dan kehidupan publik yang berlandaskan nilai-nilai Islam, maka kita juga harus siap membayar harga yang pantas. Membayar harga yang pantas bukan berarti kehilangan nilai-nilai Islamnya. Justru itulah bentuk tanggung jawab masyarakat untuk menjaga mutu, kelayakan, dan keberlangsungan lembaga-lembaga yang membawa misi Islam di tengah masyarakat.

Wallahu a’lam bish-shawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image