Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Suci Marina Rumapea

Guru dan Les Privat: Wajah Nyata Ketidakadilan di Ruang Kelas

Eduaksi | 2025-06-12 11:04:21

Di balik dinding ruang kelas yang seharusnya menjadi tempat bertumbuh, seringkali tersembunyi praktik ketidakadilan yang menyakitkan. Salah satunya terjadi dalam dunia penilaian akademik. Sistem yang idealnya mencerminkan usaha dan kemampuan siswa, namun terkadang ternodai oleh relasi dan kepentingan tersembunyi.

Sebuah pengalaman nyata di sebuah SMA negeri di Kepulauan Riau, menunjukkan bagaimana ketimpangan itu berlangsung secara halus namun berdampak besar. Seorang siswa yang aktif, tekun, dan menunjukkan kompetensi dalam mata pelajaran Bahasa Inggris secara konsisten mendapat nilai yang rendah. Bukan karena kurang memahami materi, melainkan karena tidak mengikuti les privat yang diselenggarakan oleh guru mata pelajaran tersebut. Sebaliknya, siswa-siwa yang mengikuti les privat yang diadakan oleh guru yang sama, justru memperoleh nilai tinggi, meski performa mereka di kelas terbilang biasa saja.

Situasi semacam ini menimbulkan pertanyaan serius. Sejauh mana objektivitas penilaian dapat dijaga, ketika guru memegang kendali penuh atas nilai sekaligus menjalankan layanan tambahan yang bersifat komersial terhadap siswanya sendiri. Ketika nilai bergantung pada hubungan transaksional di luar kelas, maka nilai itu bukan lagi cerminan akademik, melainkan simbol ketimpangan. Dampaknya bukan hanya dirasakan secara akademik, tetapi juga emosional. Ketika siswa menyadari bahwa kerja keras mereka tidak dihargai sebagaimana mestinya, semangat belajar pun memudar. Rasa kecewa perlahan tumbuh menjadi ketidakpercayaan terhadap institusi sekolah itu sendiri. Yang lebih memprihatinkan, praktik semacam ini sering dibiarkan begitu saja, seolah menjadi rahasia umum yang tak lagi dianggap sebagai pelanggaran.

Pada titik inilah urgensi untuk membongkar praktik-praktik tidak adil di dunia pendidikan menjadi semakin mendesak. Ketidakadilan seperti ini bukan hanya pelanggaran etika, tetapi cermin dari konflik kepentingan yang nyata dan membahayakan. Ketika guru menggabungkan peran pendidik dan pebisnis tanpa batas etika yang jelas, maka kepercayaan siswa akan runtuh. Pendidikan kehilangan makna sebagai ruang yang memanusiakan dan mulai menjelma menjadi sistem yang bias dan eksklusif.

Diskriminasi dalam pendidikan bukan hanya sekadar kesalahan prosedural. Hal tersebut adalah luka batin yang bisa menetap dalam ingatan siswa seumur hidup. Ketika ruang kelas berubah menjadi arena kepentingan tersembunyi, maka esensi pendidikan sebagai sarana pembebasan pun mulai sirna. Bukan lagi tempat yang menghidupkan harapan, melainkan ruang yang perlahan memadamkan semangat. Sudah saatnya dunia pendidikan tidak hanya bicara soal kurikulum dankelulusan, tetapi juga soal keadilan dan kejujuran. Karena pada akhirnya, nilai akademik yang sejati tidak datang dari angka di rapor, melainkan dari bagaimana siswa merasa dihargai, diperlakukan adil, dan didorong untuk tumbuh bukan dari siapa yang membayar lebih, atau siapa yang lebih dekat dengan pengajar. Jika pendidikan ingin tetap menjadi cahaya di tengah gelapnya tantangan masa depan, maka keadilan harus berdiri paling depan.

  • #ya
  • Disclaimer

    Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

    Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

    × Image