KDRT sebagai Delik Aduan: Apakah Perlindungan Hukumnya Sudah Cukup?
Hukum | 2025-06-11 20:31:25
Pendahuluan
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan fenomena sosial dan hukum yang kompleks serta berdampak luas, baik secara psikologis, fisik, maupun sosial. Di Indonesia, kasus-kasus KDRT masih sering terjadi, namun banyak yang tidak terungkap ke permukaan. Salah satu alasannya adalah karena sebagian besar bentuk kekerasan ini diproses sebagai delik aduan, yang berarti proses hukumnya baru dapat berjalan jika ada pengaduan langsung dari korban.
Posisi ini tentu menimbulkan sejumlah pertanyaan penting: Apakah status delik aduan justru melemahkan perlindungan terhadap korban? Apakah negara telah cukup hadir dalam memberikan keadilan bagi mereka yang menjadi korban kekerasan di ranah domestik? Dan sejauh mana regulasi yang ada mampu memberikan efek jera kepada pelaku serta jaminan keamanan kepada korban?
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) telah mengatur secara khusus mengenai bentuk-bentuk KDRT serta mekanisme penanganannya. Namun, meskipun secara normatif hukum ini memberikan sejumlah perlindungan, implementasi di lapangan sering kali menemui berbagai kendala mulai dari minimnya pelaporan, ketakutan korban, hingga pendekatan budaya yang cenderung menormalisasi kekerasan dalam rumah tangga sebagai “masalah internal keluarga”.
Melalui artikel ini, penulis akan mengkaji lebih dalam mengenai status KDRT sebagai delik aduan dalam perspektif hukum pidana Indonesia, serta bagaimana hal tersebut berdampak terhadap perlindungan hukum yang seharusnya diberikan kepada korban.
Delik Aduan dalam Perspektif Hukum Pidana
Dalam sistem hukum pidana Indonesia, dikenal adanya klasifikasi tindak pidana berdasarkan cara memulai proses penegakan hukumnya, yaitu delik aduan (klachtdelict) dan delik biasa (gewone delict). Delik aduan adalah jenis tindak pidana yang tidak dapat diproses oleh aparat penegak hukum kecuali atas dasar pengaduan dari korban atau pihak yang dirugikan secara langsung. Hal ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya dalam Pasal 1 angka 24 dan Pasal 72–75.
Tujuan dari konsep delik aduan pada dasarnya adalah memberikan keleluasaan kepada korban untuk menentukan apakah peristiwa pidana tertentu patut dibawa ke ranah hukum atau cukup diselesaikan secara pribadi. Dalam beberapa kasus, pendekatan ini relevan, misalnya dalam perkara pencemaran nama baik atau perzinahan, di mana dimensi privasi dan reputasi sangat dominan.
Namun, dalam konteks kekerasan—terutama dalam lingkup rumah tangga—penerapan delik aduan menjadi problematik. Korban KDRT sering kali berada dalam situasi psikologis yang rentan, terikat secara emosional maupun ekonomi kepada pelaku, dan kerap dihadapkan pada tekanan sosial maupun keluarga. Oleh karena itu, menggantungkan proses hukum hanya pada keberanian korban untuk mengadukan, dapat menghambat terwujudnya keadilan.
Dalam sistem hukum pidana modern yang bertumpu pada perlindungan hak asasi manusia, perlindungan terhadap korban seharusnya menjadi prioritas. Maka, penting untuk mempertanyakan kembali apakah pendekatan delik aduan masih relevan dalam kasus-kasus tertentu seperti KDRT.
KDRT sebagai Delik Aduan dalam UU PKDRT
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) merupakan tonggak penting dalam upaya perlindungan korban kekerasan domestik di Indonesia. Undang-undang ini mengatur secara tegas empat bentuk kekerasan dalam rumah tangga, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Meski begitu, tidak semua bentuk kekerasan dalam UU ini diproses sebagai delik biasa. Beberapa di antaranya tetap diklasifikasikan sebagai delik aduan.
Pasal 26 UU PKDRT menyatakan bahwa tindak pidana kekerasan fisik ringan dalam rumah tangga merupakan delik aduan. Artinya, aparat penegak hukum hanya dapat memproses kasus tersebut jika korban melapor. Sementara itu, jika kekerasan tersebut mengakibatkan luka berat, dilakukan berulang kali, atau dilakukan terhadap anak, maka statusnya berubah menjadi delik biasa, yang dapat diproses tanpa laporan korban.
Ketentuan ini menimbulkan dilema hukum dan sosial. Di satu sisi, delik aduan dianggap memberi ruang otonomi bagi korban untuk memilih jalur hukum atau penyelesaian pribadi. Namun di sisi lain, dalam realitasnya, banyak korban tidak melapor karena tekanan, ketakutan, atau ketergantungan terhadap pelaku. Dengan demikian, proses hukum sering kali tidak berjalan meskipun telah terjadi kekerasan yang nyata.
Penerapan delik aduan dalam kasus KDRT menunjukkan adanya ketimpangan antara norma hukum yang ideal dan kenyataan sosial di lapangan. Jika tujuan UU PKDRT adalah memberikan perlindungan maksimal kepada korban, maka penting untuk meninjau kembali kategori delik dalam regulasi ini agar tidak menjadi penghalang dalam upaya penegakan keadilan.
Dampak Psikologis dan Sosial bagi Korban
Kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga tragedi kemanusiaan yang meninggalkan luka mendalam bagi korban. Berbeda dengan tindak kekerasan di ruang publik, KDRT terjadi dalam lingkup privat, di antara orang-orang terdekat yang seharusnya menjadi tempat perlindungan. Oleh karena itu, dampak psikologis dan sosial yang dialami korban kerap kali lebih kompleks dan berkepanjangan.
Secara psikologis, korban KDRT sering mengalami trauma berkepanjangan, depresi, rasa takut yang konstan, rendah diri, bahkan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Banyak korban merasa bersalah atas apa yang mereka alami, karena telah “gagal” menjaga keutuhan keluarga atau karena terpengaruh manipulasi pelaku yang menyalahkan mereka atas tindak kekerasan tersebut.
Dalam banyak kasus, korban juga menghadapi tekanan sosial yang tidak mendukung keberanian mereka untuk melapor. Masyarakat sering kali masih menganggap masalah rumah tangga sebagai urusan pribadi yang sebaiknya tidak dibawa ke ranah hukum. Stigma terhadap korban juga tidak jarang muncul, mulai dari anggapan bahwa korban “terlalu membesar-besarkan masalah” hingga disalahkan karena tidak patuh atau tidak mampu menjaga keharmonisan rumah tangga.
Selain itu, ketergantungan ekonomi terhadap pelaku membuat korban enggan keluar dari situasi kekerasan. Terutama bagi perempuan, relasi kekuasaan yang timpang dalam rumah tangga dapat memperparah kondisi, membuat korban merasa tidak memiliki pilihan selain bertahan.
Dampak-dampak inilah yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam menyusun kebijakan hukum. Korban KDRT tidak hanya membutuhkan perlindungan hukum, tetapi juga dukungan psikososial yang kuat agar dapat keluar dari lingkaran kekerasan.
Analisis Perlindungan Hukum yang Ada
Secara normatif, hukum Indonesia telah menyediakan berbagai instrumen untuk melindungi korban KDRT. UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga secara eksplisit menyatakan bahwa korban berhak atas perlindungan dari pihak berwenang, layanan medis, pendampingan hukum, hingga akses ke rumah aman. Dalam praktiknya, berbagai institusi seperti kepolisian, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi garda depan dalam memberikan perlindungan tersebut.
Namun, efektivitas perlindungan hukum ini masih sangat tergantung pada beberapa faktor kunci. Pertama, keberanian dan kemampuan korban untuk melapor. Karena sebagian bentuk KDRT adalah delik aduan, proses hukum tidak bisa berjalan tanpa laporan resmi dari korban. Akibatnya, banyak korban yang akhirnya tidak mendapatkan perlindungan hanya karena tidak mengajukan aduan, meskipun kekerasan telah nyata terjadi.
Kedua, koordinasi antar lembaga penegak hukum dan penyedia layanan korban sering kali tidak berjalan optimal. Misalnya, dalam beberapa kasus, korban harus berpindah-pindah dari satu instansi ke instansi lain tanpa kejelasan prosedur, yang pada akhirnya membuat mereka menyerah sebelum proses perlindungan benar-benar dimulai.
Ketiga, masih terbatasnya kapasitas rumah aman dan pendamping profesional seperti psikolog, pekerja sosial, dan konselor hukum juga menjadi hambatan. Banyak daerah di Indonesia belum memiliki fasilitas atau sumber daya manusia yang memadai untuk menangani korban secara holistik.
Dengan demikian, meskipun kerangka hukum telah tersedia, implementasi perlindungan hukum terhadap korban KDRT masih menghadapi tantangan besar, terutama jika dikaitkan dengan status delik aduan yang menyaratkan partisipasi aktif dari korban itu sendiri.
Tantangan Implementasi di Lapangan
Meski secara normatif perlindungan terhadap korban KDRT telah diatur dalam UU PKDRT, realitas di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan besar antara hukum yang tertulis dan pelaksanaannya. Tantangan utama dalam implementasi ini tidak hanya berasal dari sistem hukum, tetapi juga dari struktur sosial dan budaya masyarakat Indonesia.
Salah satu tantangan terbesar adalah budaya patriarki yang masih mengakar kuat di berbagai daerah. Banyak masyarakat masih memandang bahwa urusan rumah tangga tidak seharusnya dibawa ke ranah hukum. Nilai-nilai seperti “aib keluarga”, “malu pada tetangga”, atau “istri harus patuh pada suami” sering menjadi alasan korban enggan melapor, bahkan ketika mengalami kekerasan berulang.
Tantangan lainnya adalah minimnya pemahaman aparat penegak hukum mengenai pendekatan berbasis gender dan korban. Masih terdapat kasus di mana petugas kepolisian menolak laporan korban dengan alasan “masalah keluarga bisa diselesaikan secara damai” atau bahkan menyarankan korban untuk berdamai tanpa penilaian risiko lebih lanjut. Padahal, perdamaian dalam situasi ketimpangan kekuasaan seperti KDRT sering kali tidak menjamin keamanan korban.
Selain itu, keterbatasan anggaran, fasilitas, dan tenaga ahli seperti konselor, psikolog, serta pendamping hukum di banyak daerah membuat proses pendampingan dan perlindungan tidak berjalan optimal. Beberapa rumah aman hanya tersedia di kota-kota besar, sementara di wilayah terpencil, korban sering kali tidak tahu harus ke mana mencari bantuan.
Semua tantangan ini menunjukkan bahwa pelaksanaan perlindungan hukum terhadap korban KDRT membutuhkan upaya lintas sektor, tidak hanya dari sisi hukum, tetapi juga dari sisi budaya, pendidikan masyarakat, dan infrastruktur pendukung.
Rekomendasi dan Solusi
Untuk mengatasi berbagai tantangan dalam perlindungan hukum terhadap korban KDRT, diperlukan pendekatan menyeluruh yang tidak hanya bersifat legal-formal, tetapi juga mencakup dimensi sosial, kultural, dan struktural. Beberapa rekomendasi dan solusi yang dapat dipertimbangkan antara lain:
1. Revisi Terkait Delik Aduan
Pemerintah dan legislator perlu meninjau ulang ketentuan dalam UU PKDRT yang mengklasifikasikan sebagian bentuk kekerasan sebagai delik aduan. Dalam kasus kekerasan fisik ringan sekalipun, potensi eskalasi ke kekerasan berat tetap ada. Oleh karena itu, menjadikan seluruh bentuk KDRT sebagai delik biasa dapat memperkuat posisi korban dan mendorong penegakan hukum tanpa harus menunggu laporan korban.
2. Peningkatan Kapasitas Aparat dan Layanan
Aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, dan pekerja sosial perlu mendapatkan pelatihan berkelanjutan terkait penanganan korban kekerasan berbasis gender. Layanan pendampingan psikologis dan hukum juga harus diperluas hingga ke tingkat desa dan kelurahan.
3. Pemberdayaan dan Perlindungan Ekonomi Korban
Korban KDRT sering tidak berani melapor karena tergantung secara ekonomi kepada pelaku. Program pemberdayaan ekonomi perempuan dan bantuan sosial bagi korban sangat penting untuk memutus ketergantungan ini dan membuka jalan menuju kemandirian.
4. Kampanye Edukasi Publik
Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa KDRT bukanlah persoalan privat, tetapi pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Edukasi sejak dini melalui kurikulum sekolah, media massa, dan komunitas lokal dapat membantu membentuk budaya yang tidak mentoleransi kekerasan dalam bentuk apa pun.
Penutup
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah persoalan serius yang membutuhkan perhatian dan penanganan komprehensif dari berbagai pihak. Status KDRT sebagai delik aduan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga memang memberikan ruang bagi korban untuk menentukan sendiri langkah hukum yang ingin diambil. Namun, kenyataannya, mekanisme ini seringkali menjadi penghalang utama bagi perlindungan korban, mengingat banyaknya faktor psikologis, sosial, dan ekonomi yang membuat korban sulit untuk melapor.
Perlindungan hukum yang efektif harus didukung dengan regulasi yang responsif, aparat penegak hukum yang peka dan profesional, serta dukungan sosial yang memadai. Pendekatan yang holistik — menggabungkan aspek hukum, sosial, dan budaya — sangat diperlukan untuk memutus rantai kekerasan dalam rumah tangga.
Negara dan masyarakat memiliki tanggung jawab bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi korban agar mereka dapat keluar dari kekerasan tanpa rasa takut dan stigma. Perbaikan regulasi, pelatihan aparat, pemberdayaan korban, dan edukasi publik adalah langkah penting menuju tujuan tersebut.
Dengan demikian, meski KDRT sebagai delik aduan memberikan ruang bagi korban, perlindungan hukum yang maksimal hanya bisa terwujud jika sistem hukum mampu beradaptasi dengan realitas sosial dan kebutuhan korban. Hanya dengan cara itu, keadilan dan keamanan bagi korban KDRT dapat benar-benar ditegakkan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
